Oleh: Siti ‘Aisyah
Beberapa waktu terakhir, media sosial dihebohkan dengan promosi pernikahan siri dan perkawinan anak. Masyarakat menjadi resah. Bagaimana ‘Aisyiyah menyikapi hal ini?
Landasan Normatif Al-Quran
Artinya, “dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya” (QS. an-Nisa’ [4]” 6).
Ayat ini, meskipun konteksnya terkait hak-hak anak yatim, namun secara eksplisit menegaskan usia perkawinan. Kata ‘rusydan’ dalam konteks ayat tersebut bermakna usia kematangan anak yatim yang dipandang cakap dalam mengelola harta warisan orang tuanya. Meskipun demikian, secara eksplisit ayat tersebut menyebut usia matang untuk nikah, yaitu usia ‘rusydan’.
Para mufasir berbeda pendapat terkait makna rusydan. Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manar mengutip beberapa pendapat; Mujahid mengartikannya sebagai akal; Qatadah memaknainya sebagai baik akal dan agamanya; ibn Abbas memaknai dengan baik kondisi diri dan hartanya.
Sementara Rasyid Ridha sendiri lebih memilih makna husnut-tasharruf wa ishābatul-khair (mampu mengelola harta dan menggunakannya dengan baik), serta shihhatul-‘aql wujūdatur-ra’yi (sehat akal dan matang dalam berpikir). Selanjutnya, ia menegaskan bahwa usia nikah (usia ketika seseorang sudah siap untuk menikah) adalah usia dewasa.
Dalam usia ini (dewasa), seseorang memiliki kecenderungan ingin membangun rumah tangga dan memiliki keturunan. Seorang laki-laki ingin menjadi seorang suami dan ayah bagi anak-anaknya. Sementara seorang perempuan ingin menjadi istri dan ibu bagi anak-anaknya.
Dengan demikian, secara eksplisit, al-Quran menegaskan adanya usia dewasa dalam pernikahan, yaitu mereka yang telah memiliki kematangan dalam berpikir, berilmu, serta mampu mengelola harta. Begitu pula berlaku sebaliknya, bagi yang belum mampu (termasuk usia dini), tidak dianjurkan untuk menikah, tetapi dianjurkan berpuasa, artinya mengendalikan diri dari pergaulan bebas.
Pernikahan ‘Aisyah
Hadits yang seringkali dijadikan rujukan bagi orang yang melegalkan atau menganjurkan pernikahan anak adalah usia pernikahan Rasulullah saw. dengan ‘Aisyah ra. Disebutkan dalam hadits tersebut, bahwa usia ‘Aisyah ketika dinikahi Nabi saw. adalah 6 (enam) tahun (tazawwajahā wa hiya bintu sitti sinīn) dan mulai hidup bersama ketika berusia 9 (sembilan) tahun (wa banā bihā wa hiya bintu tis’i sinīn).
Hadits ini perlu dibaca dan dipahami secara holistik-komprehensif. Pembacaan tersebut berguna untuk meraih maqashid dari ajaran Islam, yang sebenarnya tidak menganjurkan perkawinan anak.
Dari aspek sanad, hadits yang diriwayatkan Bukhari ini banyak menuai kritik. Pasalnya, riwayat tersebut hanya melalui jalur Hisyam bin ‘Urwah. Bahkan, Hisyam bin ‘Urwah baru meriwayatkan hadits tersebut pada usianya yang ke-71, ketika ia berada di Irak. Tentang Hisyam, Ya’qub bin Syaibah melakukan penilaian, “apa yang dituturkan Hisyam sangat terpercaya, kecuali yang diceritakannya saat menetap di Irak”. Hal ini mengingat usia Hisyam yang tidak dimungkiri mempengaruhi kualitas ingatannya. Dengan begitu, usia pernikahan ‘Aisyah yang diriwayatkan Hisyam patut dikritik atau setidaknya dipertanyakan validitasnya.
Pembacaan Multi-Perspektif
Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam membaca hadits tersebut, seperti aspek sosio-antropologis, al-ahwal asy-syakhsyiyyah, tarikh tasyri’, historis, kesehatan, psikis, sosial, ekonomi, dan sebagainya. Sebagai contoh, dengan mempertimbangkan aspek historis, kita akan mampu melihat realitas bahwa usia ‘Aisyah ketika menikah tidaklah 6 (enam) tahun.
Ibn Jarir ath-Thabari mengatakan bahwa keempat anak Abu Bakar dilahirkan istrinya pada zaman jahiliyah, artinya mereka, termasuk ’Aisyah, dilahirkan sebelum tahun 610 M. Berapa persisnya usia ’Aisyah? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan memperhatikan usia Asma binti Abu Bakar, kakak perempuan ’Aisyah. Menurut Abdurrahman bin Abi Zinad, usia Asma 10 tahun lebih tua dari ’Aisyah. Menurut ibnu Hajar al-Asqalani, Asma hidup hingga usia 100 tahun dan meninggal tahun 73 atau 74 Hijriyah. Ini berarti bahwa saat hijrah terjadi usia Asma sekitar 27 atau 28 tahun (100-73). Dengan demikian, usia ’Aisyah saat pertama kali satu rumah dengan Nabi adalah antara 17 dan 18 tahun (usia Asma 27 [atau 28] -10).
Jika mempertimbangkan aspek kesehatan reproduksi, pernikahan anak tidak dianjurkan karena perempuan pada usia anak belum memiliki kesiapan untuk menikah. Secara biologis, perempuan yang sudah haid memang memiliki kemungkinan untuk hamil karena ia telah mampu mengeluarkan ovum yang siap dibuahi. Meskipun demikian, fungsi reproduksi rahim anak perempuan belum cukup siap untuk menerima terjadinya pembuahan. Untuk itu, pernikahan anak akan menyebabkan perempuan hamil dan melahirkan dalam kondisi kesehatan yang rentan.
Sementara secara psikis, anak usia dini relatif belum dewasa sehingga belum memiliki kematangan jiwa untuk bertanggung jawab sebagai ayah atau ibu. Dampak-nya, pernikahan anak dapat mengurangi keharmonisan dalam keluarga. Hal ini terjadi karena emosi suami atau istri yang cenderung masih labil maupun hilangnya masa kanak-kanak dan remaja akibat pernikahan. Akibatnya, permasalahan berat akibat pernikahan pada anak yang secara psikis belum matang dapat menyebabkan depresi berat atau neuritas depresi yang akan merongrong kesehatan dan kehidupannya.
Bagaimana Sikap Majelis Tarjih?
Tentang batas usia perkawinan, Tarjih Muhammadiyah dalam Fikih Anak menyarankan, “usia ideal menikah adalah 21 tahun, dan tidak menganjurkan anak usia 18 tahun ke bawah menikah”. Umur 21 tahun sebagai usia minimal ideal yang disarankan Tarjih Muhammadiyah untuk menikah sejatinya sejalan dengan spirit UU Perkawinan dalam Pasal 6 ayat (2) yang dijelaskan bahwa ”untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.” Dengan demikian, spirit UU dimaksud sebenarnya usia matang dalam perkawinan adalah mulai usia 21 tahun.
Mencermati rumusan konsep Keluarga Sakinah tentang usia perkawinan dan Fikih Anak tentang usia ideal menikah pada usia 18 tahun, praktik nikah anak yang biasa merujuk pada pernikahan ‘Aisyah r.a. patut ditinjau ulang. Islam tidak menganjurkan pernikahan anak-anak karena tidak sejalan dengan maqāṣid at-tasyri’ dalam mewujudkan kemaslahatan serta menghindari kemadaratan dan kerusakan.
Simak juga pemaparan Shoimah Kastolani di https://www.instagram.com/tv/CLIqpidgziG/?igshid=tlke8yb7wgy