Kehadiran Rasulullah saw. di muka bumi membawa cahaya hati, meningkatkan harkat dan martabat manusia.
Dunia delap dan suram dari tuntunan Ilahi karena pudarnya ajaran suci yang dibawa para Rasul sebelumnya. Perilaku manusia menjadi hina dan nista, bunuh membunuh sesama suku, bahkan anak-anak perempuan dikubur hidup-hidup. Nilai moral yang dibawa para Rasul dan para filosuf berabad-abad sebelumnya telah lenyap ditelan zaman.
Diutusnya Muhammad saw. sebagai Nabi adalah dalam rangka meningkatkan (kembali) derajat manusia. Beliau mengajarkan dan memberi contoh perilaku yang terkenal dengan sebutan akhlaqul karimah. Dunia mengakui bahwa Nabi Muhammad adalah pembangun moral manusia. Beliau memulai dari negerinya sendiri, kemudian para pengikutnya dengan taat dan setia menyebarkannya ke seluruh pelosok dunia.
Akhlaqul Karimah
Kejujuran dan kebenaran merupakan tonggak pertama yang dicanangkan dalam akhlaqul karimah. Bertolak dari sifat ini dijauhilah kebohongan dan kedustaan dalam perkara besar maupun kecil. Tak pandang bulu orang besar atau orang kecil, tua atau muda, semua harus berlaku jujur, lurus, dan benar, tak ada tersamar dalam menegakkan kebenaran.
Kebenaran itu satu dan selalu jelas adanya. Apabila kita menengok sejarah masa lalu, betapa indahnya perilaku-perilaku para pengikut Rasulullah saw. Kini zaman telah berubah, dunia telah semakin maju karena kecerdasan dan kecanggihan otak manusia. Sayang iman tidak meyertainya; agama dan iman terpinggirkan.
Sifat selanjutnya yang diajarkan Rasulullah saw. adalah amanah, artinya bisa dipercaya. Dalam surat al-Mu’minun [23]: 8, amanah merupakan identitas orang mukmin. Dalam bahasa yang mendunia adalah ‘trust’. Betapa ngerinya dunia apabila manusia satu sama lain tidak saling percaya. Dikatakan, timbulnya kegelisahan manusia karena satu terhadap yang lain tidak bisa percaya lagi. Manusia hidup dalam ketidaktenangan, hingga timbul penyakit stres.
Ada tiga hal yang menjadi amanah, yakni harta, anak, dan jabatan. Semuanya akan dimintai pertanggungjawaban. Selanjutnya semua yang dipercayakan manusia kepada yang lain adalah menjadi tanggung jawabnya.
Realitasnya, sebagian manusia lebih suka memikul amanah di luar kemampuannya. Setumpuk jabatan dirangkapnya. Mereka merasa bangga. Seakan tak ada orang lain yang mampu atau ada juga yang dengan sengaja tak memberi kesempatan pada orang lain. Gejala semacam ini telah merusak sistem kepemimpinan.
Keteladanan
Sidiq Fadil dalam suatu kesempatan mengatakan bahwa sudah cukup lama bangsa Indonesia menderita penyakit rendah diri. Menurut orang banyak, semuanya gelap. Sekarang saatnya kita membuka mata menyadari betapa tinggi nilai khazanah budaya kita dan kekayaan sejarah kita sendiri. Banyak idola pada masyarakat kita, tetapi sedikit teladan.
Bukankah Rasul kita cukup menjadi teladan sepanjang zaman? Mengapa kita silau dengan ketokohan orang lain. Semua para sahabat adalah teladan. Para istri Rasulullah dan sahabat dan tabi’in pantas jadi idola dan teladan kaum perempuan masa kini. Keteladanan tersebut tetap relevan dan bisa diterjemahkan di setiap zaman. Yang seringkali terjadi, orang-orang mencemooh khazanah, kebijaksanaan, dan teladan masa lalu dengan kata-kata bahwa itu masa lalu, kemudian membuangnya begitu saja.
Seorang Psikolog, Arif Rahman mengatakan bahwa pendidikan tanpa keteladanan hanya menjadi ‘transfer of knowledge’, tetapi tidak menjadi ‘transfer of value’. Dunia mengakui Nabi Muhammad saw. adalah teladan nilai-nilai yang luhur, yang mencakup segala aspek kehidupan, seperti kemiliteran, kenegaraan, perdagangan, dan kehidupan dalam rumah tangga. Amat langka manusia mampu menjadi teladan dalam berbagai bidang.
Konon, Napoleon dan Hitler memungut kebijakan perang Rasulullah saw. dalam salah satu strategi mereka. Ajaran dan falsafah Mahatma Gandhi juga mengandung nilai-nilai ajaran Muhammad. Gandhi simpati dan senang membaca “khutbah di atas bukit” (Haji Wada’ Rasulullah). Hal ini tersebut dalam The Light of Asia karya Arnold. Masih banyak lagi tokoh-tokoh dunia lain yang sangat menghargai keteladanan Rasulullah saw.
Lemahnya Hasrat Menteladani
Bangsa Indonesia yang santun dan tulus telah banyak yang tertipu dengan bujuk rayu bangsa asing. Kita semua lengah sehingga kurang mensyukuri khazanah dan kebijaksanaan negara kita. Kita banyak mencerca diri kita sendiri. Kita pandai mengkritik bangsanya sendiri. Lalu kapan kita mengkritisi diri pribadi kita masing-masing?
Lebih parah lagi, hasrat kita untuk menteladani Rasulullah saw. terbilang lemah. Pun meneladani para sahabat dan para pendahulu pemimpin kita. Pemimpin-pemimpin kita saat ini tidak sehebat pemimpin masa lalu dalam perilaku. Merupakan kewajiban umat untuk taat, menghormati, serta meneladani hal-hal yang memang patut kita tiru. Bukan dihilangkan semuanya sehingga tidak mempunyai pegangan lagi. (UG)
Sumber: Majalah Suara ‘Aisyiyah Edisi 2 Tahun 2010