Melalui majalah Al-‘Urwatul Wutsqa, ide pembaruan Islam yang digaungkan Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh menggema luas ke berbagai penjuru dunia muslim. Tema besar yang menjadi perhatian al-Afghani dan Abduh adalah problem ketertinggalan umat, argumentasi keselarasan Islam dan akal, serta pentingnya persatuan umat Islam. Salah satu tokoh yang terkena gelombang pembaruan itu adalah Rasyid Ridha.
Lahir pada 1282 H/1865 M di Qalamun, Lebanon, Rasyid Ridha tumbuh di tengah keluarga dengan tradisi Sunni yang kuat. Mulanya, ia belajar al-Quran di madrasah lokal, kemudian melanjutkan ke Madrasah al-Wathaniyah al-Islamiyah di Tripoli di bawah didikan Syaikh Husayn al-Jisr (w. 1909 M).
Madrasah ini memadukan antara pendidikan agama dan sains. Di madrasah ini Ridha memperdalam pengetahuannya tentang bahasa Arab dan agama, serta belajar matematika, logika, dan ilmu alam, juga bahasa Prancis dan Turki. Salah satu kitab yang memengaruhi alur kehidupan Ridha adalah Ihya’ Ulūmiddīn karya Abu Hamid Al-Ghazali (w. 1111 M).
Di bawah pengaruh al-Ghazali, Ridha memutuskan untuk menjadi bagian dari tarekat Naqsabandiyah. Tetapi, lambat laun ia menyadari adanya bahaya spiritual (spiritual danger) dari ajaran sufi; mereka melalaikan tugas kemanusiaan dan mengajarkan ketundukan pasif dalam beragama. Salah satu titik balik yang menyadarkan Ridha tentang arti penting pembaruan Islam (al-ishlāh al-Islāmy) adalah ide-ide al-Afghani dan Abduh.
Perkenalan Ridha dengan ide pembaruan al-Afghani dan Abduh terjadi ketika keduanya menerbitkan majalah Al-‘Urwatul Wutsqā pada 1884 di Paris. Mula-mula ia hanya mengetahui sebagian isi artikel yang dibacakan keras-keras oleh eksil politik Mesir yang saat itu tinggal bersama keluarganya. Ia baru mendapatkan versi utuh Al-‘Urwatul Wutsqā sekitar tahun 1892-1893.
Di dalam bukunya, Tārīkh al-Ustādz al-Imām asy-Syaikh Muhammad ‘Abduh, Ridha mengaku bahwa hati dan pikirannya tergugah ketika membaca untaian kata yang dituliskan al-Afghani dan Abduh di majalah tersebut. “Pengalaman saya dan orang-orang lain, serta sejarah, mengajarkan pada saya bahwa tidak ada diskursus Arab, baik pada masa saat ini maupun masa-masa sebelumnya, yang mampu menyentuh hati dan menggugah pikiran sekaligus” (Ridha, 1905: 303).
Tali Pengikat Guru dan Murid
Keinginan Ridha untuk bertemu dengan al-Afghani tidak pernah terwujud, sebab tokoh yang menggaungkan ide Pan-Islamisme itu terlebih dahulu wafat pada 1897 di Istanbul, Turki. Sementara itu, hubungan Ridha dan Abduh berlangsung dengan intens, terutama sejak pertemuan keduanya di Tripoli pada 1894.
Albert Hourani dalam Arabic Thought in The Liberal Age 1798-1939 mencatat, sejak saat itu, Ridha menjadi penyambung lidah, penjaga nama baik, dan penulis biografi Abduh (Hourani, 1983: 226). Setahun setelah meninggalkan Suriah untuk menuju Kairo, tepatnya pada 22 Syawal 1315 H/Maret 1898 M, Ridha dan Abduh menerbitkan majalah Al-Manār.
Selain memuat pemikiran dan tulisan Abduh, Ridha juga menuliskan pandangannya tentang isu keagamaan, sosial, politik, dan laporan tentang perkembangan yang terjadi di dunia Islam. Di Al-Manār pulalah ia melawan segala bentuk kebencian dan kecurigaan yang dialamatkan kepada Islam. Tidak cukup di situ. Kepada gurunya, Ridha mengusulkan agar disusun tafsir Al-Qur’an yang mengusung spirit pembaruan Islam. Sempat menolak, Abduh akhirnya menyanggupi permintaan tersebut dengan memberikan kuliah tafsir di Al-Azhar selama rentang tahun 1899 hingga 1905.
Baca Juga: Etika Politik Natsir, Sebuah Refleksi Sejarah #2
Materi tafsir yang memuat tafsir surat al-Fatihah sampai an-Nisa` ayat 125 itu disusun kembali oleh Ridha, lalu dinamai Tafsīr Al-Manār. Abduh wafat pada 1905 di Aleksandria, Mesir. Setelah kepergian gurunya, Ridha melanjutkan penulisan Tafsīr Al-Manār dari surat an-Nisa` ayat 126 sampai surat Yusuf. Sayangnya, ia juga tidak berhasil menyelesaikan proyek tafsir itu karena terlebih dahulu menghadap Sang Kuasa pada 1935 di Kairo, Mesir.
Meski punya hubungan intelektual yang dekat, jalan intelektual dan aktivisme yang ditempuh Abduh dan Ridha tidak benar-benar sama. Sebagai contoh, jika Abduh aktif menjalin hubungan antarumat beragama, pandangan dan sikap Ridha dapat disebut ambivalen. Umar Ryad dalam Islamic Reformism and Christianity: A Critical Reading of the Works of Muhammad Rashid Rida and His Associates (1898-1935) mengamati, terutama setelah wafatnya Abduh, Ridha menjadi mudah terprovokasi ketika menyaksikan dekadensi sosial dan politik umat Islam (Ryad, 2009: 5, 307).
Ridha memang melihat ada dua problem besar yang menghambat kemajuan umat Islam, yakni: (a) problem internal, berupa maraknya praktik takhayul dan bidah, keengganan melakukan tajdid dan ijtihad, dan kecenderungan bersikap taklid; serta (b) problem eksternal, berupa ekspansi militer banga Eropa, derasnya arus Kristenisasi, dan tergerusnya moral umat Islam karena pengaruh budaya Barat.
Terlepas dari perbedaan tersebut, apa yang dilakukan Ridha sejatinya adalah upaya untuk menjawab pertanyaan yang mengusik para tokoh pembaharu muslim, yakni “kenapa dunia Islam tertinggal di semua lini peradaban?” Sebagaimana al-Afghani dan Abduh, Ridha dengan tegas menyatakan bahwa jalan untuk membangun (kembali) peradaban Islam yang maju adalah umat Islam harus memahami dan mengamalkan ajaran agamanya dengan benar.
Selain itu, tali persatuan umat Islam harus disimpul kokoh. Dalam konteks inilah Ridha menyerukan agar perempuan harus diberi peran sebagaimana mestinya; sebagai manusia yang mendapatkan amanah menjadi khalifah di muka bumi. Di banyak tempat, khususnya dalam Nidā`u Al-Jinsi Al-Lathīf, Ridha dengan tegas menyatakan bahwa perempuan punya kewajiban dan peran yang sama seperti laki-laki, baik dalam konteks iman, ibadah, maupun amal saleh.
Jangkauan Pengaruh
Ide pembaruan Rasyid Ridha tidak hanya menggema di kawasan Timur Tengah. Pada akhir abad kesembilan belas hingga awal abad kedua puluh, jangkauan pembaca karyanya membentang begitu luas. Di Rusia, Tunisia, India, Eropa, Amerika, Asia Tenggara, dan banyak tempat lainnya. Ide-idenya tidak hanya dibaca dan didiskusikan, tetapi juga memengaruhi banyak kehidupan intelektual muslim.
Lahirnya gerakan pembaruan Islam di Indonesia juga tidak lepas dari pengaruh Ridha –selain tentu saja al-Afghani dan Abduh. Penelitian Azyumardi Azra dalam “The Transmission of Al-Manar’s Reformism to the Malay-Indonesian World: The Cases of Al-Imam and Al-Munir” menunjukkan bahwa majalah Al-Manār tidak hanya memengaruhi alam pikir umat Islam di Indonesia, tetapi juga menginspirasi lahirnya majalah serupa (Azra, 1999: 79).
Majalah Suara Muhammadiyah adalah bukti nyata keterpengaruhan itu. Dalam Covering Muhammadiyah, Muarif mengungkap adanya keserupaan antara majalah yang terbit pada 1915 itu dengan majalah Al-Manār, mulai dari desain rubrik hingga isi majalah (Muarif, 2020: 22-23). Berbeda dengan Al-Manār yang berhenti terbit seiring wafatnya Rasyid Ridha, Suara Muhammadiyah tetap eksis melintasi zaman meski tokoh perintisnya sudah wafat. Demikian halnya dengan “saudara perempuannya”, Suara ‘Aisyiyah, yang sampai saat ini konsisten menyuarakan suara kaum perempuan. Akan tetapi, lebih dari sekadar kerja eksistensial, saat ini umat Islam punya PR besar untuk menjawab pertanyaan klasik yang belum juga ditemukan jawabannya: kenapa dunia Islam (masih) tertinggal di berbagai lini peradaban? [10/23] (Sirajuddin)