Oleh: Hamim Ilyas
Diriwayatkan dalam sebuah hadis sahih tingkat tertinggi bahwa Rasulullah saw bersabda:
إذا دعا الرجل امرأته إلى فراشه فأبت فبات غضبان عليها لعنتها الملائكة حتى تصبح
Artinya, “Apabila seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya dan sang istri menolak sehingga semalaman sang suami marah, maka para malaikat melaknat istri tersebut sampai pagi” (H.R. Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Abu Hurairah r.a.).
Makna lahir (literal) hadis ini dapat menunjukkan bahwa melayani keinginan seksual suami merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan istri kapan pun sang suami menghendaki sehingga sang istri boleh dipaksa jika menolaknya.
Makna literal di atas tidak sesuai dengan Islam Rahmatan Lil ‘Alamin (IRLA) yang ditegaskan dalam al-Anbiya [21]: 107,
وَمَآ أَرْسَلْنَٰكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَٰلَمِينَ
Rahmah menurut al-Ashfahani adalah riqqah taqtadli al-ihsan ila al-marhum, perasaan lembut (cinta) yang mendorong untuk memberikan kebaikan yang masuk akal kepada yang dikasihi. Adapun menurut al-Mawardi, rahmah adalah an-ni’mah ‘ala al-muhtaj, anugerah kepada pihak yang membutuhkan.
Berdasarkan pengertian yang diberikan dua ulama ini, maka Islam diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad untuk memenuhi kebutuhan seluruh makhluk Allah. Kebutuhan mereka dalam pengertian yang paling luas adalah hidup baik yang dalam an-Nahl [16]: 97 disebut hayah thayyibah dan hanya dapat diwujudkan dengan amal saleh dan menjadi orang beriman (mukmin).
Dalam tafsir sabahat, hayah thayyibah memiliki 3 kriteria: rezeki halal (Ibn Abbas dalam satu riwayat), qana’ah atau kepuasan (Ali bin Abi Thalib), dan kebahagiaan (Ibn Abbas dalam riwayat yang lain). Tafsir sahabat ini sejalan dengan perolehan iman dan amal saleh yang disebutkan dalam al-Baqarah [2]: 62 dan menjadi kriteria hayah thayyibah yang diajarkan al-Quran: pertama, lahum ajruhum ‘inda rabbihim (sejahtera sesejahtera-sejahteranya atau ar-rafahiyyah kulluha); kedua, wa la khaufun ‘alaihim (damai sedamai-damainya/as-salamu kulluha); ketiga, wa la hum yahzanun (bahagia sebahagia-bahagianya/as-sa’adatu kulluha) di dunia dan di akhirat.
Baca Juga: Kepemimpinan Perempuan dalam Pandangan Islam Wasathiyah
Oleh karena itu, hadis tersebut harus dipahami berdasarkan kedudukan hadis dalam IRLA sebagai hikmah dan ilmu yang diajarkan Nabi Muhammad saw. sebagaimana ditegaskan dalam al-Baqarah [2]: 151,
كَمَآ أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولًا مِّنكُمْ يَتْلُوا۟ عَلَيْكُمْ ءَايَٰتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ ٱلْكِتَٰبَ وَٱلْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُم مَّا لَمْ تَكُونُوا۟ تَعْلَمُونَ
Artinya, “Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu rasul diantara kamu yang membacakan ayatayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu al-Kitab dan hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui”.
Juga sebagai mizan yang ditegaskan dalam al-Hadid [57]: 25,
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِٱلْبَيِّنَٰتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ ٱلْكِتَٰبَ وَٱلْمِيزَانَ لِيَقُومَ ٱلنَّاسُ بِٱلْقِسْطِ ۖ وَأَنزَلْنَا ٱلْحَدِيدَ فِيهِ بَأْسٌ شَدِيدٌ وَمَنَٰفِعُ لِلنَّاسِ وَلِيَعْلَمَ ٱللَّهُ مَن يَنصُرُهُۥ وَرُسُلَهُۥ بِٱلْغَيْبِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ قَوِىٌّ عَزِيزٌ
Artinya, “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan timbangan (al-mizan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa”.
Pemahaman Hadis sebagai Hikmah
Hikmah (al-hikmah) yang diajarkan Nabi dalam al-Baqarah [2]: 151, menurut Ibu Katsir, adalah sunnah (Ibn Katsir, t.t.: I, 196). Sedangkan menurut Abu as-Su’ud adalah al-Quran sebagai anugerah risalah juga mencakup sunnah yang berisi syariat dan hukum (Abu as-Su’ud, 1999: I, 219).
Pembicaraan tentang al-hikmah dalam ayat tersebut terkait dengan umat Islam sebagai masyarakat memiliki identitas menjadi ummatan wasatha, masyarakat pilihan, yang bertugas menjadi pelaku sejarah (syuhada’ ‘ala an-nas) berjiwa besar (ghair as-sufaha’), dan berkepribadian unggul “berada di depan dalam semua kebaikan” (fastabiqu al-khairat) (al-Baqarah [2]: 142-148). Munasabah ini menunjukkan bahwa hikmah dalam ayat tersebut adalah kebenaran-kebenaran yang membuat umat Islam menjadi masyarakat pilihan yang unggul.
Pengajaran hikmah oleh Nabi juga ditegaskan dalam al-Jumu’ah [62]: 2. Pembicaraan tentang hikmah dalam ayat ini terkait dengan keadaan bangsa Arab sebagai umat ummiyun, belum menerima kitab suci, yang peradabannya tertinggal dari Ahli Kitab, Yahudi, dan Kristen yang telah menerima kitab suci. Munasabah ini menunjukkan bahwa hikmah adalah kebenaran-kebenaran yang membuat masyarakat terentas dari keterbelakangan.
Dari penjelasan di atas jelas bahwa hikmah yang diajarkan Nabi kepada umat adalah kebenaran yang mengentaskan masyarakat dari keterbelakangan sehingga menjadi masyarakat pilihan yang unggul. Hikmah dalam pengertian kebenaran demikian sudah barang tentu merupakan kebenaran yang sangat fungsional.
Karena itu dalam al-Baqarah [2]: 269 disebutkan bahwa orang yang diberi hikmah menjadi orang yang diberi banyak kebaikan. Hal ini berarti bahwa hikmah membuat siapapun yang memilikinya, baik pribadi maupun kelompok, memiliki banyak kebaikan, termasuk menjadi masyarakat pilihan dan unggul. Berdasarkan hal tersebut maka sunnah sebagai maksud dari hikmah yang dikemukakan Ibnu Katsir dan Abu as-Sa’ud adalah kebenaran-kebenaran yang menjadi isi sunnah, bukan bentuk verbalnya.
Kebenaran yang menjadi isi hadis tentang laknat malaikat di atas adalah kebenaran dalam menentukan hubungan sebab dan akibat (kausalitas). Di kalangan para sahabat pada zaman Nabi masih kuat budaya pantang ghilah yang berasal dari masyarakat Arab sebelum Islam. Ghilah adalah menyebadani istri yang sedang hamil atau menyusui. Mereka memandang ghilah sebagai tabu (Hamid al-Faqi, t.t.: 214). Ada hadis yang memberi kesaksian tentang kuatnya budaya ini di kalangan mereka:
لقد هممت أن أنهى عن الغيلة، حتى ذكرت أن الروم وفارش يصنعون ذلك، فلا يضر أولادهم
Artinya, “Saya benar-benar bermaksud untuk melarang ghilah sampai saya menyadari bahwa bangsa Romawi dan Persia mempraktikkannya dan tidak menimbulkan madlarat terhadap anakanak mereka” (H.R. Imam Muslim dari Judamah binti Wahb al-Asadiyah r.a.)
Kesaksian hadis ini jelas menunjukkan bahwa dalam menetapkan ajaran tentang ghilah, Nabi menggunakan pertimbangan pengalaman empiris bangsa Persia dan Romawi yang mempraktikkan ghilah dan tidak menimbulkan akibat buruk bagi anak-anak mereka. Karena itu ketika ada masalah dengan ghilah, Nabi tidak menjadikannya sebagai tabu di kalangan umat yang berasal dari bangsa yang menjadikannya sebagai tabu. Perubahan ini sudah barang tentu berat. Supaya mereka mau menerimanya, Nabi menggunakan pernyataan keras dengan menyebutkan pelaknatan oleh malaikat terhadap mereka yang menolak perubahan tersebut.
Pamahaman Hadis sebagai Ilmu
“Apa yang belum kamu ketahui (ma lam takunu ta’lamun)” yang diajarkan Nabi dalam al-Baqarah [2]: 151, sesuai dengan arti bahasa dari yu’allim dan ta’lamun yang dibentuk dari ‘ilm adalah ilmu. Menurut al-Mawardi, ilmu yang beliau ajarkan adalah ilmu tentang “ketentuan-ketentuan agama dan urusan-urusan dunia” (al-Mawardi, 2012: I, 208). Terkait dengan ilmu-ilmu yang beliau ajarkan, dalam sebuah hadis Nabi menegaskan bahwa penyampaian ilmu merupakan tugas kenabian:
إن الله لم يبعثني معنِّتاً ولا متعنتاً ولكن بعثني معلماً ميسراً
Artinya, “Sesungguhnya Allah tidak mengutusku sebagai orang yang mempersulit urusan sehingga berat dikerjakan dan ditanggung dan sebagai orang yang menjerumuskan kepada ketidaknyamanan, tetapi Dia mengutusku sebagai penyampai ilmu (pengajar-pendidik) yang memberikan kemudahan” (H.R. Muslim dari ‘Aisyah, Ummil Mukminin, r.a.)
Pemahaman yang utuh terhadap hadis ini menunjukkan bahwa tugas kenabian Nabi adalah menyampaikan ilmu atau ajaran yang membuat semua urusan hidup menjadi mudah dan tidak membuat para pengikutnya mengalami ketidaknyamanan dalam melaksanakannya. Urusan itu tentunya tidak hanya menyangkut bidang agama, tetapi juga bidang-bidang lain termasuk keluarga, politik, dan ekonomi.
Baca Juga: Kesetaraan Laki-laki dan Perempuan dalam Beribadah Menuju Keluarga Sakinah
Ilmu yang diajarkan Nabi dalam hadis tentang laknat malaikat di atas adalah ilmu untuk menjalani hidup dengan mudah. Hal ini terkait dengan budaya pantang ghilah yang bagi masyarakat Arab di zaman Jahiliyah tidak menimbulkan masalah karena mereka diperbolehkan melakukan poligami tanpa ada pembatasan jumlah maksimal istri yang boleh dikawini.
Aturan atau praktik poligami yang seperti itu kemudian diubah oleh Islam. Dalam an-Nisa [4]: 3 ditegaskan bahwa poligami itu hanya boleh maksimal dengan empat istri, dan untuk pelaksanaannya suami disyaratkan harus bisa berlaku adil terhadap istri-istrinya. Dengan adanya pembatasan poligami ini, memantang ghilah dirasakan berat oleh umat Islam ketika itu.
Surat an-Nisa yang mengatur pembatasan poligami itu merupakan surat Madaniyah yang turun pada awal tahun ke-4 H di Madinah. Dengan mengabaikan kemungkinan hadis di atas sebagai mursal shahabi, sabda Nabi itu paling awal dikemukakan pada tahun ke-7 H. Hal ini karena Abu Hurairah, periwayat hadis tersebut, baru masuk Islam pada tahun itu, yakni antara Perjanjian Hudaibiyah dan Perang Khaibar (M. as-Siba’i, 1978: 292). Dengan sabdanya itu, Nabi bermaksud untuk mengatasi “kesulitan” yang dirasakan oleh lelaki Arab Muslim dan untuk menghilangkan budaya pantang ghilah yang masih diikuti oleh perempuan Arab.
Pemahaman Hadis sebagai Mizan
Timbangan (al-mizan) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dan nabi-nabi lain yang disebutkan dalam al-Hadid 57: 25 (juga asy-Syura 42: 17), menurut Mujahid dan Qatadah, adalah keadilan dan moderasi (al-‘adl wal inshaf) (Ibn Katsir, t.t.: I, 110). Senada dengan dua ulama Salaf terkemuka ini, Abu as-Su’ud memberi pengertian: sifat adil, syariat untuk menimbang hak dan mewujudkan kesetaraan manusia, dan keadilan untuk mengatur kehidupan (siyasah) dan mencegah permusuhan (Abu as-Su’ud, 1999: VI, 14 dan 208).
Pembacaan ayat al-Hadid terkait dengan keadilan terhadap mereka yang berbeda keyakinan dan pandangan tentang hal-hal yang mendasar sekalipun. Sedangkan pembicaraan ayat asy-Syura terkait dengan menegakkan keadilan secara umum.
Munasabah kedua ayat itu menunjukkan bahwa yang dimaksudkan dengan al-mizan adalah timbangan untuk mewujudkan keadilan dalam kehidupan manusia dalam semua bidangnya tanpa memperhatikan perbedaan yang ada di antara mereka. Hal ini menunjukkan bahwa timbangan dalam kedua ayat itu adalah perangkat untuk mewujudkan keadilan, bukan keadilan itu sendiri. Perangkat ini dalam perspektif sistem hukum adalah aturan, struktur, dan kultur (nilai). Berhubung dalam keduanya timbangan disebutkan sebagai diturunkan Allah bersama kitab suci dan dalam kenyataan struktur dibangun oleh Nabi dan nabi-nabi yang lain, maka timbangan tersebut adalah aturan dan kultur yang benar.
Baca Juga: Bolehkah Perempuan Safar Tanpa Mahram?
Dengan demikian, dua unsur sistem ini merupakan pengertian dari al-mizan dan secara subtantif bukan makna baru karena pada dasarnya hanya menjadi sebutan lain dari isi tafsir Abu as-Su’ud yang disebutkan di atas. Secara teologis perangkat itu juga dapat dipahami dari perspektif risalah para nabi yang mengemban misi sebagai basyir dan nadzir dengan melaksanakan pembangunan peradaban dan perdamaian. Dari perspektif ini perangkat tersebut berarti timbangan pilihan terbaik (al-ashlah) untuk mewujudkan kesejahteraan, perdamaian, dan kebahagiaan umat manusia di dunia dan akhirat yang menjadi spirit risalah mereka.
Timbangan dalam hadis tentang laknat malaikat di atas adalah timbangan pilihan terbaik dalam mewujudkan tujuan perkawinan. Penolakan istri untuk “melayani” suami yang hasrat seksualnya sudah sangat kuat dapat mengakibatkan tidak tercapainya tujuan perkawinan untuk menjaga kehormatan diri (an-Nisa’ 4: 24 dan al-Maidah 5: 5) dan tujuan membentuk keluarga sakinah (ar-Rum 30: 21).
Berdasarkan pemahaman ini berarti bahwa Nabi menyabdakan hadis di atas untuk mendorong supaya suami dan istri saling menolong dalam kebajikan dan ketakwaan dengan mewujudkan kehormatan diri dan keluarga sakinah. Dengan demikian mereka dapat mencapai tujuan risalah Islam mewujudkan hayah thayyibah dengan tiga ukuran sebagaimana disebutkan di depan.
Dengan reinterpretasi berdasarkan kedudukan hadis dalam IRLA ini maka yang dilaknat oleh malaikat karena tidak bersedia memenuhi hasrat seksual pasangan suami-istri bukan hanya istri saja. Suami yang tidak mau memenuhi hasrat seksual istri sehingga sang istri tidak terjaga kehormatan dirinya dan keluarga sakinah gagal terbentuk, maka sang suami juga dilaknat para malaikat.
1 Comment