Ro’fah*
Kekerasan terhadap anak -dalam berbagai bentuknya- merupakan salah satu masalah penting yang kita hadapi dewasa ini, tidak saja dalam konteks nasional tetapi juga internasional. Data terbaru dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) melaporkan bahwa sepanjang tahun 2022 ada sedikitnya 21.241 anak yang dilaporkan menjadi korban berbagai bentuk kekerasan, tidak hanya secara fisik, tapi juga psikis, seksual, penelantaran, perdagangan orang, hingga eksploitasi. Sementara data dari World Health Organization (WHO) menunjukan bahwa pada kurun waktu yang sama, terlaporkan lebih dari 1 miliar anak usia 2-17 tahun di dunia yang mengalami kekerasan fisik, emosional, seksual, dan penelantaran.
Kekerasan dan penelantaran anak bukanlah masalah ringan. Dampak fisik dan psikologis yang ditimbulkan bersifat seumur hidup, tidak hanya pada anak yang menjadi korban, tetapi juga untuk keluarga dan masyarakat secara luas. Beberapa dampak yang kerap dilaporkan adalah kematian, luka serius, bahkan sampai pada disabilitas, rusaknya perkembangan syaraf dan otak, tumbuhnya perilaku kesehatan dan mekanisme koping yang buruk pada anak, aborsi, gangguan kesehatan reproduksi dan penyakit kelamin, munculnya penyakit degenerative seperti jantung bahkan kanker, dan dalam konteks yang lebih luas adalah memengaruhi masa depan anak dan juga generasi mendatang.
Kekerasan terhadap anak merupakan isu yang kompleks dan menyentuh berbagai dimensi. Banyak penelitian menunjukan bahwa faktor pemicu (risk factors) terjadinya kekerasan dan penelantaran terhadap anak sangat beragam, mulai pada level individu sampai level sosial. Pada konteks sosial inilah norma-norma sosial, termasuk praktik budaya dan penafsiran agama bisa menjadi faktor risiko yang memicu dan melanggengkan praktik kekerasan terhadap anak. Isu hukuman fisik (corporal punishment), pernikahan anak, dan sunat perempuan atau dikenal dalam istilah internasional dengan female genital mutilation merupakan beberapa isu kekerasan anak yang diakibatkan oleh budaya dan pemahaman agama.
Dalam Islam, berbagai teks al-Quran dan lainnya menekankan pentingnya kedudukan anak. Namun pada saat yang sama, terdapat pula teks al-Quran, hadis, dan penafsiran yang melahirkan pemahaman bahwa Islam menjustifikasi atau membolehkan kekerasan dan memicu praktik kekerasan di negara-negara Muslim.
Salah satu dalil yang kerap dianggap menjustifikasi kekerasan adalah hadis tentang kebolehan memukul anak. Untuk itu, upaya telaah dan penafsiran ulang terhadap hadis ini penting dilakukan untuk menghilangkan pemahaman yang keliru dari Muslim, dan dalam konteks yang lebih luas, memastikan relevansi Islam dengan perubahan nilai dan rasa keadilan masyarakat.
Hadis tentang Pemukulan Anak
Penting untuk dijadikan catatan awal bahwa hadis tentang pemukulan anak diturunkan dalam konteks pendidikan, yakni perintah kepada orang tua untuk melakukan dua hal, yakni mengajarkan tentang salat dan mendisiplinkan anak untuk menjalankannnya. Salah satu riwayat yang banyak dikutip tentang ini adalah hadis riwayat Abu Dawud, sebagai berikut:
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ
Dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Perintahkan anak-anak kalian untuk salat pada saat berusia tujuh tahun, pukullah mereka karenanya pada saat sudah berusia sepuluh tahun, juga pisahkan ranjang mereka (pada usia sepuluh tersebut)” (Sunan Abu Dawud, 495).
Hadis tersebut dimaknai sebagai perintah atau kebolehan kepada orang tua untuk memukul anak yang meninggalkan salat ketika sudah berumur sepuluh tahun. Merujuk pada kata bi al-ṣalāh (agar menunaikan salat) dalam hadis tersebut, Allah swt. memerintahkan orang tua untuk mengajarkan kepada anak segala hal tentang salat: syarat, rukun, kemudian diikuti dengan perintah untuk menunaikan. Dengan kata lain, hadis ini menyatakan pentingnya pendidikan tentang salat diberikan kepada anak terlebih dahulu sebelum mereka dituntut untuk menunaikannnya. Kemudian dari kalimat atau redaksi dalam hadis ini tujuannya adalah perintah kepada orang tua untuk mengajarkan syarat dan rukunnya salat dan juga melakukan upaya-upaya pendisiplinan agar anak melaksanakan ibadah salat secara konsisten.
Reinterpretasi Hadis
Peradaban manusia, termasuk di dalamnya nilai, tradisi, budaya, dan hukum selalu berkembang seiring dengan perkembangan manusia. Praktik dan nilai yang tiga puluh atau bahkan sepuluh tahun lalu dianggap wajar dan diterima oleh masyarakat, dalam konteks kekinian boleh jadi sudah tidak lagi relevan. Dalam kaidah ushul fikih dikenal bahwa hukum itu berubah sesuai dengan perubahan waktu dan tempat.
Penggunaan kekerasan, termasuk pemukulan terhadap anak sebagai bentuk kedisiplinan dulu mungkin dianggap sebagai metode pendisiplinan yang bisa diterima. Namun dalam konteks kekinian, segala bentuk kekerasan kepada anak dilarang dalam undang-undang nasional maupun internasional.
Baca Juga: Pengajian Tarjih, Ro`fah Sampaikan Fikih Perlindungan Anak Sebagai Upaya Pemenuhan Hak Anak
Pasal 76C Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak meyebutkan “Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak”. Pasal ini menegaskan bahwa siapapun dilarang melakukan kekerasan terhadap anak; tidak hanya orang tua kepada anaknya, bahkan membiarkan terjadinya kekerasan yang terjadi kepada anak siapapun merupakan tindakan yang melanggar undang-undang. Dalam konteks perubahan nilai dan undang-undang inilah teks agama yang rentan untuk menjustifikasi terjadinya kekerasan –sebagaimana hadis di atas– perlu dilihat dan ditafsirkan kembali.
Ada banyak cara yang ditawarkan oleh para ulama dan akademisi Muslim agar pemahaman atau penafsiran ulang dapat dilakukan. Salah satu metode adalah keluar dari pemahaman teks secara tekstual atau literal, dan menekankan pada konteks sebagaimana sudah disinggung pada bagian sebelumnya pada tulisan ini.
Masih terkait dengan konteks, ada ulama yang memberikan argumen bahwa hadis Nabi hendaknya tidak dipahami dalam bentuk satuan-satuan yang terpisah satu sama lain, tetapi merupakan kesatuan dengan konteks-konteks yang berbeda. Metode semacam ini ditawarkan oleh Yusuf al-Qaradawi, yakni ghāyah (tujuan) dan wasīlah (sarana). Menurutnya, untuk memahami hadis harus dapat membedakan antara tujuan yang tetap dan sarana yang berubah, karena hadis bersifat tidak hanya normatif tapi juga historis.
Sisi normatif hadis terletak pada tujuan, sedang yang historis adalah sarana. Jika diaplikasikan dalam hadis pemukulan anak ini, maka itu berarti tujuan hadis adalah mendidik dan mendisiplinkan, tetapi sarana mendidik bisa disesuaikan dengan konteks waktu atau nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat dengan tetap mempunyai tujuan sama, yakni agar anak menjalankan salat. Metode pendisiplinan sekarang, seperti pembiasaan dan penerapan hukuman yang menekankan konsekuensi negatif pada anak, seperti pengurangan uang jajan bisa dijadikan sebagai sarana yang lebih relevan dengan perkembangan zaman.
Metode lainnya adalah mengaitkannya dengan teks al-Quran. Dalam sistematika hukum Islam, hadis menempati posisi kedua setelah teks al-Quran. Dengan kata lain, fungsi hadis adalah menjelaskan prinsip-prinsip dalam al-Quran, tetapi tentu saja tidak boleh bertentangan dengan nilai al-Quran sebagai rujukan awal. Dalam hal mendidik anak tentang salat, al-Quran menjelaskan petunjuk yang berkaitan dengan dorongan kepada anak agar menjalankan salat, yaitu firman Allah tentang wasiat Luqman kepada putranya dalam Q.s. Luqman [31]: 17,
يٰبُنَيَّ اَقِمِ الصَّلٰوةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوْفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلٰى مَآ اَصَابَكَۗ اِنَّ ذٰلِكَ مِنْ عَزْمِ الْاُمُوْرِ
Hai anakku, dirikanlah salat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).
Beberapa mufasir, seperti Ibn Katsir dan al-Saʻdi menjelaskan, ayat tersebut memberikan pengajaran bahwa salat harus dilakukan, di samping memerintahkan salat. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana pengajaran dan pendidikan salat –serta pendidikan agama lainnya– seharusnya dilakukan oleh orang tua? Dalam hal ini, metode mendidik yang dilakukan oleh Rasulullah perlu dijadikan rujukan.
Rasulullah saw. selalu menekankan akhlak mulia dan sifat yang lemah lembut. Oleh karenanya, mendidik anak juga harus dilakukan secara lemah lembut dan bertahap sesuai dengan usianya. Penyebutan angka tujuh dan sepuluh tahun dalam hadis pemukulan di atas juga menunjukkan tahapan pendidikan anak secara usia. Pendidikan dimulai dari usia tujuh tahun dengan cara pengenalan rukun dan syaratnya, kemudian diikuti dengan pembiasaan. Maka pemukulan ketika anak berusia sepuluh tahun menjadi tanda bagi batasan akhir dari masa pelatihan (training) anak terkait kewajiban salat dan karena metode yang lebih keras bisa diaplikasikan, meski bukan berarti pemukulan fisik.
Hal lain yang perlu dikaji dalam upaya penafsiran ulang hadis pemukulan anak adalah menengok aturan fikih. Menurut Faqihuddin Abdul Qadir, teks hadis yang sementara dipahami sebagai dalil kebolehan memukul anak ini secara literal tidak menyertakan kualifikasi dan syarat-syarat yang jelas tentang memukul anak. Namun dalam fikih dijelaskan tentang syarat, batas, cara, dan tanggung jawab dari orang tua atau wali ketika mempraktikkan hal tersebut.
Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama fikih mengenai tujuan hadis pemukulan dan tata caranya. Imam Malik, misalnya, berpendapat bahwa kalimat amr (perintah) yang ada di dalam redaksi hadis, yaitu “perintahkanlah mereka” memang ditujukan kepada orang tua agar memerintahkan anaknya untuk melaksanakan salat. Namun Imam Malik berpendapat bahwa tidak mungkin hadis itu bermakna pukulan fisik yang menyakitkan, sedangkan menyakiti orang tidak diperbolehkan.
Sementara itu, dalam Syarh al-Jam’u al-Shaghir, al-Alaqi mengatur cara bagaimana pukulan itu harus dilakukan, yakni tidak di seputar muka anak, karena muka identik mental dan kehormatan seseorang. Lebih lanjut, ia berargumen bahwa pukulan juga hanya dimaksudkan sifatnya untuk mendidik anak agar mengakui kesalahanya dan mau memperbaikinya, bukan untuk menjatuhkan mental atau kehormatan anak yang akan berdampak negatif terhadap perkembangan piskologis anak.
Dengan kata lain, mayoritas ulama, termasuk ulama kontemporer, sepakat dengan pandangan bahwa pemukulan anak yang dibolehkan itu adalah pemukulan yang tidak membuat cedera (dlarban ghaira mubarrihin), dan kerap digambarkan dengan pemukulan menggunakan ujung kain yang tidak dilipat-lipat, tidak di muka, dan tidak menyebabkan luka fisik maupun psikis.
*Majelis Kesejahteraan PP `Aisyiyah
*Baca selengkapnya di Rubrik Hikmah Majalah Suara `Aisyiyah edisi Juli 2023