Beberapa kasus kekerasan terhadap anak mengguncang nurani. Ada anak yang baru pulang sekolah, diperkosa dan kemudian dibunuh serta dibuang dengan hanya dimasukkan ke kardus. Ada anak yang diadopsi namun kemudian disiksa dan dibunuh. Tragisnya, bocah tersebut kemudian dikubur hanya dibungkus sprei, di belakang rumah. Kian terasa pilu ketika di sebuah panti, anak-anak ditelantarkan. Di tempat lain, di halaman sekolah, seorang anak dikeroyok, pingsan dan kemudian tewas. Atau juga anak-anak yang disodomi, justru di kawasan sekolah.
Ada apa dengan anak-anak? Kemana anak-anak mesti berada? Karena bukan hanya di luar rumah dalam arti di masyarakat namun juga di rumah bahkan di sekolah yang seharusnya menjadi tempat berlajar secara normative, tempat bersemainya kehidupan penuh kasih sayang ternyata terjadi kekerasan yang bahkan sampai mengakibatkan kematian. Tidak adakah tempat yang aman bagi anak-anak Indonesia?
Kisah sedih anak, tidak seharusnya terjadi. Anak adalah permata. Pasangan suami isteri dalam sebuah rumahtangga akan mengupayakan pelbagai cara demi hadirnya anak, buah hati. Dan yang pasti, tidak satu pun agama mengajarkan untuk menzalimi anak, apalagi bahkan sampai membunuhnya. Bahkan di dalam Islam dengan Alquran sebagai kitab sucinya juga banyak menyebut anak. “Al-Qur’an sering menggunakan kata “al-walad” untuk menyebut anak. Kata “al-walad” dengan segala derivasinya terulang dalam al-Qur’an sebanyak 65 kali,” ungkap Dr Alimatul Qibtiyah, Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) PP Muhammadiyah yang juga Ketua LPPA PP Aisyiyah ketika menjadi moderator dalam Seminar Nasional ‘Fikih Anak’.
***
Realita memrihatinkan ini tidak bisa dianggap sebagai sebuah fenomena kemajuan. Ada sesuatu yang perlu dirunut untuk disikapi secara arif, dengan berlandaskan norma-norma keagamaan. Dan sebagai sebuah gerakan Islam Berkemajuan, Muhammadiyah tidak bisa diam saja. Sebagai organisasi sosial kemasyarakatan, Muhammadiyah merasa berkepentingan merumuskan fikih anak guna mengoptimalkan perlindungan anak dari tindak kekerasan termasuk kejahatan seksual. Dengan dirumuskannya Fikih Anak diharapkan masyarakat akan mempunyai acuan yang jelas terkait dengan perlindungan anak dilihat dari berbagai aspek.
Karena itulah Ketua PWM Jawa Timur, Dr. Saad Ibrahim, menilai perlu ada konsep besar untuk perlindungan anak. Apalagi diakui Ketua MTT Dr. Syamsul Anwar, bila persoalan anak ini sudah menjadi isu nasional. Mengingat yang dihadapi adalah masalah riil, di dalamnya ada aspek sosial, kriminal, kekerasan yang terjadi pada anak. “Dan bagaimana melindungi anak, mengingat negara kita termasuk yang cukup abai terhadap perlindungan anak,” ujar Ketua PP Muhammadiyah, Prof Dr Yunahar Ilyas, bernada tanya.
Rumit dan kompleksnya problematika yang dihadapi dan menimpa anak-anak inilah yang mengusik Muhammadiyah. Apalagi mengingat, ribuan sekolah dan juga jutaan anak-anak berada dalam naungan entah di sekolah, di panti atau bahkan juga di rumah. Dan setelah merumuskan fikih bencana, fikih air beberapa waktu lalu, Muhammadiyah menugaskan Majelis Tarjih dan Tajdid yang kali ini bekerja dengan PP ‘Aisyiyah untuk membahas dan merumuskan Fikih Anak di Universitas Muhammadiyah Surabaya, akhir Januari lalu.
Meski konsep dari buku Fikih Anak sudah dibuat draftnya, namun kompleksitasnya permasalahan yang dihadapi anak adalah hal yang tidak mudah untuk diurai. Sehingga seminar juga dimaksudkan untuk menambah masukan yang bisa melengkapi sekaligus memperkaya khasanah permasalahan. Apalagi seperti disebut Yunahar, masih banyak yang tidak tahu bagaimana melindungi anak, bahkan di rumah sekali pun. “Masih ada yang tidak tahu bagaimana melindungi anak dari kekerasan. Karena itulah masih banyak terjadi kekerasan terhadap anak di dalam rumah. Harus diakui, rumahtangga masih rentan terhadap anak,” tambah Ketua PP Muhammadiyah.
Tingginya kasus kekerasan terhadap anak disebut Yunahar mencerminkan lemahnya perlindungan dari sistem masyarakat, negara bahkan pemahaman yang kurang dari orangtua. “Di AS, anak-anak sudah dipahamkan untuk menghubungi 911 bila terjadi kekerasan, dan petugas dengan cepat datang dan memberikan perlindungannya. Sehingga orangtua pun akan berpikir dua kali jika melakukan kekerasan terhadap anak,” ucapnya.
Realita ini semakin tidak mudah, karena peraturan soal anak yang ditetapkan di negeri ini belum mengikuti satu ketentuan. Seperti disebut Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang juga pengurus PP Aisyiyah, Dr Rof’ah, jka kita merunut ketentuan PBB yang disebut anak adalah mereka yang manusia yang berusia di bawah 18 tahun dan belum menikah. Namun ketentuan ini menjadi berbeda dalam satu contoh saja, jika dengan melihat UU Perkawinan bahwa usia minimal di dalam pernikahan adalah 16 tahun dan anak laki-laki 19 tahun. Dan kita ketahui bersama, lanjutnya, upaya melakukan judicial review mengenai usia pernikahan ini ke Mahkamah Konstitusi telah gagal.
Problem-problem seperti ini memang masih terasa semakin tidak mudah untuk melindungi anak, di tengah kompleksnya persoalan yang dihadapi anak. Meski diakui Dosen UIN Sunan Kalijaga sudah ada kesadaran aparat penegak hukum untuk kemudian menggunakan UU Perlindungan Anak dalam menghadapi perbagai persoalan anak baik sebagai korban maupun pelaku, yakni berpatokan pada usia 18 tahun. “Bisa dikatakan, salah satu isu krusial adalah ketidaktahuan antara perlindungan dan hak. Sehingga untuk mengatasi kompleksitas permasalahan yang melibatkan anak, bagaimana relasi anak dalam keluarga terutama orangtua perlu dibicarakan lagi dan menjadi ruh dalam melakukan perlindungan anak,” tandas Rof’ah. Menjadikan relasi dalam keluarga antara orangtua dan anak sebagai ruh dalam perlindungan anak, bukanlah sesuatu hal yang sulit untuk dilaksanakan. Pola asuh berlandaskan norma dan ketentuan agama Islam, sudah mencakup secara luas dalam melakukan pendidikan anak. Mengingat anak seperti diakui pakar UIN Sunan Kalijaga yang juga Anggota MTT PP Muhammadiyah, Dr Hamim Ilyas, tujuan perlindungan anak adalah untuk menjadikan anak dzuriyah thayibbah, anak yang menjadi hiasan kehidupan keluarga. “Anak itu permata keluarga, bukan menjadi fitnah apalagi musuh keluarga,” ucapnya.
Bersambung ke Relasi Keluarga, Ruh Perlindungan Anak (2)