
Remaja dan Gaya Hidup (foto: shutterstock)
Oleh: Muhbib Abdul Wahab
Dewasa ini kita semua, termasuk anak-anak kita, hidup di era digital yang ditandai cepat dan derasanya arus informasi dalam berbagai aspek kehidupan. Anak-anak zaman now tumbuh dan berkembang dalam suasana kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang sangat canggih. Dengan smartphone berbasis android, mereka seolah menggenggam dunia. Akses internet dan bermedosos ria kini telah menjadi kebutuhan utama mereka. Tanpa HP (handphone) dan akses internet, mereka merasa seolah “mati gaya”. Dengan kata lain, ketagihan akses internet merupakan fenomena anak-anak muda (bahkan juga orang dewasa) saat ini.
Sebuah riset tentang perilaku pengguna internet yang dilakukan Branner, Kraut Eggar, dan Young (1999), peneliti Amerika, menyimpulkan bahwa mayoritas remaja pengguna internet di Amerika itu mengalami penurunan frekuensi komunikasi dengan anggota keluarganya, menurunnya penerimaan diri, dan kesehatan jiwa, Akibatnya, pengguna internet sering terlibat pertengkaran dan konflik dalam rumah tangga, konsentrasi belajar menurun (gagal fokus), dan remaja cenderung mencari dan berafiliasi dengan komunitas yang sehobi dan segaya hidup.
Sesaat sebelum gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi (fenomena tanah yang melumpur atau membubur dan bergerak cepat sehingga menelan apa yang ada di atas tanah) di Palu, Donggala, Sigi, dan Petobo, publik dikagetkan oleh banyaknya pengikut sebuah komunitas LGBT yang mencapai lebih dari 2000 orang. Para ulama menilai bahwa banyaknya komunitas remaja (dan dewasa) yang menyukai sesama jenis, pergaulan dan seks bebas (free sex), peredaran Narkoba dan Miras, perjudian, dan aneka kemaksiatan lainnya dapat mengundang dan mempercepat turunnya azab Allah swt.
Baca Juga: Mencegah dan Mewaspadai Anak Terpapar LGBT
Dengan kata lain, dewasa ini dekadensi moral dan degradasi nilai-nilai akhlak sedang melanda warga bangsa ini. Tidak sedikit generasi muda (dan generasi tua) yang berperilaku amoral, menyimpang dari nilai-nilai agama dan budaya. Dalam beberapa kasus, orang tua membiarkan anak remajanya berpacaran dan melakukan hubungan intim di rumahnya, dengan alasan supaya anak gadis segera dinikahi pacar yang telah menyetubuhinya.
Kasus penyalahgunaan narkoba sama gawatnya. Sudah tidak terhitung berapa banyak remaja mati sia-sia karena menenggak miras oplosan. Daftar penyimpangan perilaku sosial dan gaya hidup hedonis akibat pergaulan yang salah dan keranjingan internet di kalangan remaja masih sangat panjang.
Mengapa terjadi dekadensi akhlak dan moral pada generasi muda bangsa? Bagaimana kita sebagai pendidik dan aktivis organisasi sosial keagamaan berkontribusi konstruktif dalam mengatasi persoalan krusial tersebut? Persoalan akhlak dan integritas moral merupakan persoalan yang sangat krusial bagi masa depan umat dan bangsa. Bukankah misi utama kerasulan Nabi Muhammad saw. adalah mendidik dan menyempurkan akhlak mulia umatnya?
Tujuan Pembumian Syariat
Tujuan pembumian syariat melalui para Nabi dan Rasul itu sangat penting dipahami dan dijadikan sebagai kerangka acuan pendidikan informal (dalam keluarga), pendidikan formal di pesantren, madrasah, dan sekolah, maupun pendidikan nonformal (di masyarakat dan media). Menurut para ulama, antara lain as-Syathibi dan al-Ghazali, tujuan pembumian syariat itu ada lima, yang biasa disebut dengan azh-zharuriyyat al-khams, yaitu memelihara agama, akal, jiwa (keturunan), kehormatan, dan harta.
Visi dan misi pendidikan Islam secara umum perlu dikaitkan dengan lima substansi tujuan pembumian syariat tersebut, agar semua proses pendidikan dan pembelajaran mengantarkan peserta didik menjadi hamba Allah (Abdullah) dan duta Allah di muka bumi (khalifatullah) yang sukses menjaga ajaran agamanya untuk terus diamalkan; mengoptimalkan daya akal (nalar) intelektual untuk pengembangan sains dan teknologi; menjaga dan menghargai jiwa manusia, nilai kehidupan, hak-hak asasi manusia (HAM); menjaga harkat dan martabat kemanusiaan dengan menurut aurat, memuliakan sesama, melakukan pergaulan sosial dengan penuh adab dan sopan santun, dst; serta menjaga dan memastikan bahwa harta benda dan semua yang dikonsumsi itu diperoleh secara halal dan legal.
Baca Juga: Islam Rahmatan Lil ‘Alamin: Konsepsi dan Manifestasi
Tujuan pembumian syariat meniscayakan kemaslahatan, kedamaian, keselamatan, dan kebahagiaan umat manusia. Peserta didik yang belajar agama lalu memahami dan mengamalkan ajaran agamanya dengan baik dan benar pasti hatinya tenteram dan damai. Peserta didik yang mempelajari ilmu pengatahuan alam dengan visi pembumian syariat niscaya akan sampai pada kesimpulan: “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.” (QS. ali-Imran [3]: 191).
Peserta didik yang mempelajari thaharah (bersuci) mestinya tidak hanya mengetahui tata cara bersuci dari hadas kecil dan besar, berwudhu, dan bertayamum, tetapi juga terbiasa menjaga kesucian diri dan kebersihan lingkungan. Dengan memahami tujuan pembumian syariat Islam, pendidikan Islam yang dikembangkan di pesantren, madrasah, sekolah dan institusi lainnya berparadigma holistik integratif dan interkonektif, tidak parsial dan temporal.
Oleh karena itu, dekadensi moral, penyimpangan perilaku seksual, pergaulan bebas, dan orientasi gaya hidup remaja yang tidak sehat harus dilihat dan dicarikan solusinya, antara lain, dengan pendidikan kehormatan. Pendidikan kehormatan merupakan proses edukasi dan internalisasi nilai-nilai Islam (akhlak mulia) pada diri peserta didik atau remaja agar memahami tugas perkembangan hidup dan peran sosial dengan baik, sehingga dapat menjaga kehormatan diri dan integritas moralnya kapanpun dan di manapun berada. Menjaga kesucian diri (‘iffah), kehormatan, marwah, harkat, martabat, dan integritas moralnya merupakan bagian integral dari tujuan pembumian syariat itu sendiri.
Pendidikan Kehormatan
Salah satu jenis pendidikan dalam buku Tarbiyat al-Awlad fi al-Islam karya Abdullah Nasih Ulwan adalah pendidikan seksual (at-tarbiyah al-jinsiyyah). Namun istilah ini terkadang menimbulkan miskonsepsi dan misorientasi. Pendidikan seksual seolah-seolah mengenalkan hal-hal yang berbau seks, padahal tujuan, orientasi, dan substansinya adalah bagaimana peserta didik dan para remaja mampu menjaga dirinya dari pergaulan bebas, penyimpangan dan akibat perilaku seksual pranikah, berafiliasi dalam komunitas LGBT, prostitusi atau perzinahan, dan aneka penyimpangan sosial lainnya dengan menutup aurat, mengendalikan syahwat seksual, berpenampilan wajar dan tidak berlebihan, bertutur kata dan berperilaku dengan sopan santun.
Oleh karena itu, pendidikan kehormatan (at-tarbiyah al-‘irdhiyyah) sejatinya merupakan proses penyadaran diri (tau’iyat an-nafs) bahwa peserta didik atau remaja itu memiliki kesucian diri dan kehormatan yang harus dijaga, dipertahankan, dan diproteksi agar tidak dinodai dan dihancurkan (kehormatan dan harga dirinya itu) dengan sikap, perilaku, orientasi dan gaya hidup yang tidak Islami. Jadi, pendidikan kehormatan itu bersifat informatif, protektif, konsultatif, dan preventif, agar masa depan dan kehormatan remaja dapat terjaga dengan baik, atau tidak menjadi generasi yang hilang akibat salah pergaulan, hamil di luar nikah, salah orientasi dan gaya hidup yang serba hedonis, permisif, dan materialistis.
Baca Juga: Kemerdekaan Belajar dan Pendidikan ‘Aisyiyah Berkemajuan
Sebagai proses penyadaran, pendidikan kehormatan tidak instan dan temporal, tetapi harus dilakukan secara terus-menerus dan terintegrasi pada semua mata pelajaran, dan bukan semata-mata tugas guru agama dan akhlak. Pendidik diharapkan dapat mengintegrasikan (menyelipkan) proses penyadaran tersebut dalam proses pembelajaran mapelnya. Misalnya, guru Biologi tidak hanya mengajar seputar biologi, tetapi idealnya juga dapat meninternalisasikan nilai akhlak dalam rangka menjaga organ-organ seks agar tidak salah digunakan. Bahkan kampanye anti-AIDS pun bisa dilakukan dengan sedikit humor bahwa pengidap virus HIV itu akibat AIDS (Alatnya Itu Digunakan Semaunya).
Esensi pendidikan kehormatan adalah pemberian informasi yang benar, pemahaman nilai-nilai akhlak, terutama dalam bermedsos, dan pembiasaan positif antara lelaki dan perempuan dalam bersikap, berpenampilan, berperilaku, dan bermuamalah (bergaul) agar sesuai dengan fitrah atau jati diri remaja, baik sebagai lelaki maupun perempuan. Pendidikan kehormatan ini penting dikembangkan, agar masa depan remaja tidak menjadi lemah dan gagal menjadi penerus bangsa.
Dalam Islam, anak remaja juga harus dididik perilaku sesuai dengan karakter jenis sejak dini. Karena itu, Islam melarang anak laki-laki bergaya atau menyerupai perempuan, dan sebaliknya. “Nabi saw. melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki,” (HR. al-Bukhari). Di saat usia akil baligh, orang tua harus memisahkan tempat tidur anak laki-laki dengan anak perempuan agar tidak terjadi penyimpangan seksual.
Pendidikan kehormatan diorientasikan kepada proteksi diri remaja dengan menutup aurat sejak dini, menjaga pandangan mata dan menjaga kemaluannya, serta melarang mereka menampakkan perhiasan kecuali yang biasa tampak (QS. an-Nur [24]: 31). Allah swt. memerintahkan Nabi-Nya untuk menyuruh anak-anak perempuan dan istri-istri beliau sendiri serta kaum Mukminat pada umumnya untuk memakai jilbab/hijab (menutup aurat) (QS. al-Ahzab [33]: 59). Pendidik dan orang tua harus mampu meyakinkan anaknya bahwa menutup aurat dapat menjaga kehormatan dan kesucian dirinya dari gangguan lelaki yang berhati jahat dan bernafsu bejat.
Dengan demikian, pendidikan kehormatan mengharuskan orang tua, para pendidik, institusi pendidikan, dan media massa berperan penting dalam memberikan penyadaran kepada para remaja akan pentingnya kesucian dan kehormatan diri, menjauhkan mereka dari pengaruh negatif internet, bahaya pornografi, pornoaksi, penyimpangan seksual LGBT, prostisusi on-line, kekerasan, dan hedonisme.
Pendidikan kehormatan juga menghendaki partisipasi aktif semua pihak dalam menjauhkan mereka dari ketagihan gadget untuk akses internet, games, media sosial (medsos), agar mereka tidak terpapar dampak negatif yang dapat mengancam masa depan mereka. Dengan pendidikan kehormatan, intelektualisasi, motivasi, spiritualisasi berupa pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah) melalui ibadah seperti: shalat, mengaji al-Quran, berzikir, berdoa, habituasi perilaku berakhlak mulia, dan bergaul dengan orang-orang shaleh.
Pendidikan kehormatan akan efektif dan berhasil, apabila semua pihak dapat memberikan keteladanan terbaik (uswah hasanah) agar mereka dapat tumbuh dan berkembang menjadi warga negara yang shalih (good citizen) sekaligus muslih (yang berkomitmen untuk bergaya hidup Islami dan mulia. Remaja yang shalih dan shalihah pasti bisa menjadi kesucian, kehormatan dan harga dirinya di manapun dan kapanpun karena telah memiliki antivirus untuk menangkal serangan kemaksiatan, kemungkaran, dan gaya hidup masa kini yang cenderung glamour, hedonis, egois, sekuler, materialistis, dan permisif.
1 Comment