Pada tahun 2019, masyarakat Jawa Timur sempat digegerkan oleh temuan beberapa telur ayam yang mengandung senyawa berbahaya dioksin. Tepatnya, di Desa Bangun, Kabupaten Mojokerto dan Desa Tropodo, Kabupaten Sidoarjo. Ray, dkk (2019) melaporkan di BBC News, “Jika dikonsumsi dalam jangka panjang, dioksin dapat menyebabkan kanker, merusak sistem kekebalan tubuh dan pertumbuhan.”
Usut punya usut, senyawa tersebut merupakan hasil dari pembakaran sampah plastik. Masyarakat di kedua desa menggunakannya sebagai bahan bakar pabrik tahu. Sebetulnya, rantai permasalahan ini juga bermula dari banyaknya sampah plastik yang di-‘selundupkan’ ke Indonesia oleh negara-negara maju. Mereka mengirimkannya di antara sampah-sampah kertas yang sengaja diimpor untuk memenuhi kebutuhan pabrik kertas di Indonesia.
Fenomena ini diamati oleh seorang gadis yang saat itu masih berusia 12 tahun, bernama Aeshnina Azzahra Aqilani atau yang akrab disapa Nina. Ia berinisiatif menuliskan surat kepada berbagai pemimpin negara, di antaranya Perdana Menteri Australia, Kanada, Italia, Inggris, Belanda, juga Kanselir Jerman, Presiden Amerika Serikat, serta Presiden Indonesia Joko Widodo.
Resep 3A Ala Nina
Dalam wawancara pada Selasa (7/11), Nina menyampaikan bahwa permasalahan lingkungan memang begitu kompleks. Namun, ia mengatakan, “Saya punya resep, yaitu Resep 3A.” Pertama, Analisis. Ketika melihat permasalahan lingkungan di sekitar, seseorang perlu mengamati dan mempelajari sampai ke akar masalahnya.
Kedua, Ambisi, yaitu tujuan yang ingin dicapai atau kondisi yang ingin diubah. Nina menyampaikan bahwa undang-undang telah banyak mengatur soal lingkungan, tapi belum terimplementasi. “Makanya, ini adalah tugas kita sebagai anak muda untuk mem-viral-kan, mengangkat berita-berita, dan mengangkat undang-undang itu,” serunya.
Ketiga, Aksi. Wujud aksi bisa beraneka ragam, baik dalam pribadi maupun kolektif. “Nggak usah yang susah-susah. Zaman sekarang kan sudah dimudahkan dengan social media, kita manfaatkan dengan melakukan aksi, menyuarakan suara hak iklim,” serunya lagi.
Nina mencontohkan aksinya mengirimkan surat kepada pemimpin dunia, meminta mereka mengurangi ekspor sampah plastik ke Indonesia. Ia melampirkan foto-foto yang diambilnya secara langsung di lapangan. Masalah itu menurutnya begitu krusial karena tidak hanya menyebabkan tercemarnya telur-telur ayam yang dikonsumsi warga, tapi juga karena partikel-partikel plastik bisa masuk ke tubuh lewat udara dan air yang dikonsumsi warga.
Baca Juga: Eco Enzyme: Cairan Multifungsi dari Sampah Organik
Upaya tersebut perlahan membuahkan hasil. Dilaporkan Media Indonesia (2023), Dirjen Pengendalian Sampah Limbah dan B3 KLHK, Rosa Vivien Ratnawati, menyampaikan bahwa pada 2019 impor sampah plastik mencapai 17,1 juta kilogram. Kemudian terjadi penurunan menjadi 16,4 kilogram (2020), 3,5 kilogram (2021), serta 1,4 kilogram (2022). Meski begitu, gadis itu menegaskan bahwa perubahan tersebut bukanlah berkat upayanya sendiri, melainkan berkat upaya kolektif bersama pemerintah, media, maupun para aktivis lainnya.
Saatnya Anak Muda Bergerak
Perjalanan Nina memyelamatkan lingkungan tidaklah melalui jalan tol yang mulus. Gadis yang saat ini duduk di bangku SMA itu tidak jarang diremehkan karena dianggap masih terlalu muda. Meski begitu, ia tetap tidak mau bungkam. “Kalau kita biarkan sungai terus tercemar, kita biarkan lingkungan terus dirusak oleh generasi sekarang, maka yang akan merasakannya kan generasi muda, generasi selanjutnya, yaitu kami,” serunya gemas.
Bersama anak muda lainnya, Nina menggerakkan komunitas “River Warrior Indonesia” yang berkomitmen untuk menjaga sungai dari polusi plastik. Pada tahun 2021, ia membuat petisi online yang ditujukan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia untuk mendorong pengurangan penggunaan plastik di sekolah. Lebih dari 22.000 orang menandatangani petisi tersebut. Pada tahun yang sama, ia pun diundang menjadi pembicara termuda dalam Plastic Health Summit di Belanda.
Sebagaimana buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, semangat Nina untuk menyelamatkan lingkungan juga merupakan warisan dari orang tuanya. Ayah dan Ibunya, Prigi Arisandi dan Daru Setyorini, ialah Founder dan Executive Director lembaga kajian ekologi dan konservasi lahan ECOTON. Dalam liputan CNN, Daru menyampaikan bahwa keduanya tidak pernah memaksakan putrinya menjadi aktivis lingkungan, sebab bagi mereka, setiap anak memiliki minat dan bakatnya masing-masing.
Justru, Nina-lah yang menentukan jalan perjuangannya sendiri. “Orang tua dari kecil sering kali mengajak ke sungai, ke hutan, ke gunung, ke pantai,” ungkapnya. Mengingat momen saat masih sering bermain di sungai yang bersih, ia merasa sedih melihat banyaknya sungai yang hari ini kotor dan bau karena sampah. Oleh karenanya, ia tergerak menyuarakan perbaikan lingkungan. Pada tahun 2022, dirinya menjadi salah satu dari pemain film Girls for Future garapan DW Documentary yang menggambarkan cerita empat gadis di berbagai negara memperjuangkan bumi.
Selain itu, Nina bersyukur karena sekolahnya, SMA Muhammadiyah 10 GKB Gresik, juga mendukung banyak aksinya, misalnya untuk menolak penggunaan plastik sekali pakai. “Alhamdulillah, sekolah pun mengizinkan, bahkan memfasilitasi,” ujarnya ketika menceritakan saat harus berulang kali izin kelas untuk mengisi acara atau menggalakkan aksi. (Ahimsa W. Swadeshi)
1 Comment