Oleh: Hana Mufidatul Roidah*
Fenomena broken home bukan lagi hal asing di tengah masyarakat modern. Perceraian atau ketidakharmonisan keluarga sering kali meninggalkan luka mendalam bagi anak-anak.
Mereka menghadapi kerentanan emosional, penurunan prestasi akademik, hingga risiko perilaku menyimpang. Namun, di balik luka itu, terdapat peluang untuk menumbuhkan resiliensi, yakni kemampuan seseorang untuk bertahan, bangkit kembali, dan bahkan tumbuh lebih kuat setelah mengalami kesulitan hidup.
Dalam bahasa sederhana, resiliensi dapat dimaknai sebagai “ketangguhan.” Seperti bola karet yang dipantulkan, anak dengan resiliensi mampu kembali ke bentuk terbaiknya meski sempat terhempas keras.
Inilah kemampuan yang sangat penting bagi anak-anak broken home agar mereka tidak terjebak dalam luka, melainkan bisa menemukan kekuatan baru.
Dalam perspektif keislaman, anak merupakan amanah yang harus dijaga, dibimbing, dan dicintai tanpa syarat. Karena itu, mendampingi anak broken home bukan sekadar tanggung jawab keluarga, tetapi juga masyarakat.
Nilai-nilai pendidikan, kasih sayang, serta dukungan komunitas berperan penting agar anak tidak merasa kehilangan arah.
Luka yang Tak Boleh Diabaikan
Perceraian atau keretakan rumah tangga kerap memunculkan perasaan ditinggalkan, tidak berharga, hingga marah pada diri sendiri.
Penelitian menunjukkan, anak dari keluarga broken home memiliki potensi lebih tinggi mengalami gangguan kecemasan dan kesulitan membangun relasi sosial yang sehat. Jika luka ini dibiarkan, anak bisa kehilangan kepercayaan diri bahkan putus asa.
Namun, penting disadari bahwa luka bukanlah akhir. Anak membutuhkan ruang aman untuk mengekspresikan emosi mereka. Keterbukaan komunikasi dalam keluarga, guru yang peduli di sekolah, dan lingkungan sosial yang ramah menjadi kunci untuk mencegah luka semakin dalam.
Dalam konteks budaya kita, sering kali stigma melekat pada anak broken home. Padahal, mereka justru membutuhkan penerimaan, bukan penghakiman.
Pendidikan dan Kasih Sayang sebagai Obat
Pendidikan dan kasih sayang memiliki peran strategis dalam membangun resiliensi anak. Pendidikan tidak hanya sebatas pengajaran di sekolah, tetapi juga pembentukan karakter yang menumbuhkan rasa percaya diri, optimisme, dan kemampuan memecahkan masalah.
Baca Juga: Mempersiapkan Anak Agar Tidak Takut Menikah
Guru, teman sebaya, serta tokoh masyarakat perlu menghadirkan ekosistem yang menumbuhkan harapan bagi anak-anak dengan latar belakang keluarga yang tidak utuh.
Kasih sayang pun menjadi faktor utama. Islam menekankan pentingnya rahmah (kasih sayang) dalam relasi keluarga. Meski kedua orang tua berpisah, anak tetap berhak mendapatkan cinta yang utuh.
Perhatian kecil, seperti mendengarkan keluh kesah anak, menemani mereka belajar, atau memberikan pelukan hangat, dapat menjadi obat yang menenangkan.
Organisasi perempuan seperti ‘Aisyiyah telah menunjukkan peran nyata dalam membangun ketahanan keluarga melalui berbagai program pendidikan anak, konseling keluarga, hingga layanan psikososial.
Prinsip yang diusung adalah bahwa setiap anak, tanpa memandang latar belakang keluarganya, berhak mendapatkan kesempatan tumbuh dengan sehat, bahagia, dan percaya diri.
Masyarakat Peduli, Generasi Tangguh
Resiliensi anak broken home tidak hanya ditopang keluarga inti, tetapi juga lingkungan sosial. Dukungan masyarakat memiliki pengaruh signifikan dalam proses penyembuhan luka dan pembangunan karakter anak.
Di sinilah pentingnya kepekaan sosial: tetangga, teman, guru, hingga komunitas keagamaan dapat berfungsi sebagai “lingkaran kedua” yang melindungi anak.
Dalam sejarah gerakan perempuan di Indonesia, termasuk ‘Aisyiyah, nilai kebersamaan dan kepedulian sosial menjadi fondasi utama. Keterlibatan masyarakat dalam memberi dukungan emosional, pendidikan, dan ruang kreatif bagi anak-anak broken home menciptakan ekosistem yang menumbuhkan ketangguhan.
Resiliensi anak tidak lahir dengan sendirinya, melainkan dibentuk melalui interaksi positif yang berkesinambungan. Jika masyarakat hadir dengan empati, stigma dapat dihapus, dan anak-anak broken home akan tumbuh sebagai generasi yang kuat serta siap menghadapi tantangan zaman.
Luka akibat broken home memang nyata, tetapi bukan akhir dari segalanya. Anak-anak memiliki potensi untuk bangkit, asalkan mereka dikelilingi kasih sayang, pendidikan yang inklusif, dan dukungan masyarakat yang peduli. Inilah saatnya melihat anak broken home bukan dari sisi kekurangannya, melainkan dari potensi yang bisa tumbuh menjadi kekuatan.
Dengan semangat gotong royong, nilai kasih sayang, dan kepedulian yang menjadi bagian dari ajaran Islam serta gerakan sosial di Indonesia, resiliensi anak broken home dapat dibangun. Karena pada akhirnya, luka bukanlah akhir, melainkan jalan menuju kekuatan baru.
*Mahasiswa Ilkom UNISA Yogyakarta dan Jurnalis Magang Suara ‘Aisyiyah

