
riya beragama (foto: techno.id)
Oleh: Tri Hastuti Nur R.
Sebagian besar orang tidak dapat melepaskan kehidupan sehari-harinya dari media sosial, baik untuk melakukan update status, membaca status orang lain, membagikan berita, maupun motif lainnya. Media sosial telah mengubah sikap dan perilaku seseorang dalam kehidupannya. Berbagai media sosial dimanfaatkan, antara lain Facebook, Instagram, WhatsApp, Line, maupun Twitter. Hadirnya media sosial telah mendorong orang menunjukkan eksistensi dirinya melalui media sosial.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika orang mengabadikan setiap momen dalam hidupnya melalui media sosial. Eksistensi seseorang diperoleh tidak hanya melalui kehidupan nyata melalui interaksi langsung dengan orang lain, tetapi juga dibangun dan didapatkan melalui media sosial. Eksistensi diri ditandai dengan seberapa besar orang yang like dan follow atas beragam foto dirinya atau status yang diunggah melalui media sosial. Melalui media sosial inilah orang ingin mengabarkan pada publik segala hal yang dilakukan.
Sebenarnya tidak ada yang salah ketika orang meng-upload (mengunggah) ataupun melakukan update status atas berbagai momen, kejadian, peristiwa ataupun kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam kesehariannya. Namun, hal ini ada catatannya, yaitu asalkan update status, sharing (membagi) status atau berita-berita yang dikirimkan tersebut tidak melanggar aturan, misalnya mengandung unsur hoaks, ujaran kebencian, unsur kekerasan, pornografi, penipuan, isu SARA (suku, agama, ras, dan antar-golongan) maupun merendahkan kelompok lain. Beragam motif orang melakukan update status atau berbagi informasi di media sosial, salah satunya adalah pamer diri dan pencitraan dirinya. Salah satu fenomena yang tampak saat ini adalah munculnya kecenderungan orang menuju riya’ atau pamer diri dalam hal beribadah.
Pada dasarnya, keberagamaan seseorang ditunjukkan dalam dua hubungan, yaitu hubungan seseorang sebagai manusia dengan manusia lain dan hubungannya dengan Allah swt. Hubungan manusia dengan Sang Khalik, Sang Pencipta sebenarnya merupakan hubungan yang sangat pribadi yang tidak seharusnya atau tidak lazim jika kemudian ditunjukkan atau dipamerkan kepada publik, dalam hal ini menggunakan media sosial. Namun kenyataannya, media sosial telah menjadi sarana seseorang untuk menunjukkan perilakunya dalam beribadah yang cenderung menuju riya’, yaitu melalui update status termasuk melalui selfie, wefie, maupun berbagai informasi kepada orang lain.
Sering kita lihat di media sosial berbagai bentuk update status atau membagikan informasi, misalnya ketika seseorang sedang beribadah umrah atau bahkan sedang haji di tanah suci, ia mengunggah dengan beragam foto dan kata-kata. Bahkan ada pula yang sedang melakukan shalat jamaah di masjid ataupun shalat Jumat menyempatkan diri untuk berfoto dan melakukan update status. Tidak jarang juga foto-foto ketika putra-putrinya atau keluarganya sedang shalat jamaah kemudian difoto dan diunggah di media sosial. Lain waktu, ketika seseorang sedang mengikuti pengajian atau bahkan sedang tadarus, ia kemudian berfoto dan mengunggah ke media sosial dengan caption ‘sedang pengajian di suatu tempat’ atau ‘semoga terus dapat mendekatkan diri pada Allah’.
Fenomena yang lain ialah cara seseorang memamerkan dirinya “religious” dengan mengunggah status di media sosial yang bentuknya adalah doa-doa. Mereka ingin menunjukkan citra dirinya bahwa ia adalah seorang yang religious atau bahkan sedang mempunyai masalah, namun berdoanya melalui media sosial. Semua yang dilakukan tersebut menjadi artifisial karena seharusnya berdoa secara diam-diam dan khusyuk hanya ditujukan kepada Allah swt.
Dalam Islam, amal ibadah dilakukan hanya ditujukan kepada Allah swt, tidak perlu dipertontonkan kepada orang lain apalagi melalui media sosial sehingga publik akan mengetahuinya. Salah satu ajaran Islam yang kita dilarang untuk melakukannya adalah riya’ (pamer), termasuk dalam hal ini adalah beribadah. Jika amal ibadah kita pamer-pamerkan, dikhawatirkan akan menuju kesombongan, berkurangnya nilai keikhlasan, berkurangnya nilai ibadah, atau bahkan hilang karena niatnya menjadi berubah. Apalagi perbuatan riya’ merupakan salah satu bentuk syirik yang paling kecil. Semoga kita dimasukkan dalam golongan orang-orang yang tidak suka riya’ atas berbagai amal ibadah yang telah kita lakukan.