Oleh: Uswatun Chasanah
Romlah Aziz merupakan sosok perempuan yang gigih dan teguh dalam berkiprah di bidang pendidikan, politik, dan dakwah amar ma‘ruf nahi mungkar. Ia dilahirkan di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, pada 22 Desember tahun 1922. Ayahnya bernama H. M. Kasim, seorang hakim agama dan ibunya Lebba adalah Pimpinan ‘Aisyiyah di Ponre.
Siti Romlah sejak gadis giat menimba ilmu tanpa ada rasa takut kemana ia harus pergi. Vervolgschool (SD) dan Standartschool Muhammadiyah diselesaikan di Bulukumba dengan waktu yang lebih singkat. Gadis yang masih terhitung remaja ini berani meninggalkan kampung halaman menuju ke Majene. Suatu wilayah yang saat itu tak ada jalan darat. Ia harus menyeberang dengan kapal seadanya, dan berani terkatung-katung di tengah lautan menghadapi berbagai resiko. Dengan gigih dan semangatnya seorang diri ia lakukan untuk menempuh pendidikan Madrasah Tsanawiyah dan hanya dalam jangka waktu 2 tahun bisa tamat. Dua tahun kemudian ia menamatkan Madrasah Mu‘alimin Muhammadiyah Makassar.
Pulang ke Kampung Halaman
Romlah Aziz kemudian mengamalkan ilmunya di Bulukumba. Ia menjadi guru di Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah Bulukumba, dan menjadi muballighat. Di kota kelahirannya inilah kemudian ia mendapat pasangan hidupnya, pemuda muslim yang tergolong masih keturunan bangsawan, yakni Andi Abdul Aziz dari keluarga Paturusi. Pasangan ini dinikahkan oleh Penghulu Karaeng Gantarang gelar Sultan Daeng Raja pada tahun 1943. Pasangan ini tetap menekuni profesi sebagai guru agama di Madrasah Tsanawiyah Bulukumba.
Baca Juga: Dawiesah dalam Sejarah Pendidikan Kesehatan ‘Aisyiyah
Di masa Revolusi mempertahankan kemerdekaan, suami istri aktif ikut berjuang. Siti Ramlah Aziz menjadi Ketua Laskar Wanita Merah Putih. Demikian pula sang suami, ia bergabung dengan Kesatuan Gerilya Sulsel. Perjuangan ini menuntut pengorbanan besar yakni Andi Aziz suaminya Siti Romlah tertembak dalam sebuah pertempuran mempertahankan kemerdekaan hingga gugur sebagai syahid pada tahun 1946. Bersyukur ia telah dikaruniai seorang anak bernama M. Syamil Aziz Paturusi.
Kiprah di Makassar
Pada tahun 1952 Siti Romlah Aziz menjejakkan kakinya di kota Makassar. Kata pepatah “tangan kanan mendayung sampan tangan kiri meraih ikan”, sambil mengamalkan ilmunya, Siti Romlah sekaligus menimba ilmu. Berturut-turut karirnya terus meningkat. Mulai dari Pimpinan Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Makassar, Pegawai Kantor Inspeksi Pendidikan Masyarakat, kemudian meloncat ke Kantor Penerangan Agama RI hingga tahun 1969.
Perjalanan karir tersebut dibarengi dengan giatnya menimba ilmu dengan mengikuti Kursus Aplikasi Penerangan, pendidikan BI Tata Negara di Universitas Saweru Gading Makassar, Kuliah Agama di UMI Makassar, hingga tingkat Sarjana Muda pada tahun 1954.
Merantau ke Yogyakarta
Bagi Romlah Aziz mendulang ilmu itu tak ada batasnya, kemana saja ia “lakoni” (melaksanakan meskipun berat dan prihatin). Di Yogyakarta ini, ia meraih gelar Sarjana Muda IAIN Sunan Kalijaga pada tahun 1965. Kolektor ijizah dan sertifikat pendidikan ini masih belum puas.
Selama di Yogya, ia sempatkan kuliah di Akademi Meta Fisik. Perempuan muda yang juga aktivis ‘Aisyiyah sejak dini ini, tentu memanfaatkan keberadaannya di Yogyakarta untuk mendalami kemuhammadiyahan dan berkomunikasi dengan tokoh-tokoh ‘Aisyiyah di Yogyakarta.
Kiprah di Parpol Masyumi
Masyumi sebagai Parpol elit dan berjaya di awal kemerdekaan telah menerjunkan Srikandi-srikandi Muslimah di berbagai bidang. Sekitar tahun 1954-1956, Siti Romlah Aziz terpilih mewakili Sulsel duduk sebagai Anggota Dewan Konstituante (Dewan Penyusun Undang-Undang Dasar) yang bertempat di kota Bandung.
Selama ia tinggal di Bandung untuk mengikuti sidang-sidang Dewan, ia sempat pula menghubungi para Menteri/Pejabat terkait untuk mencari dukungan dana hingga berhasil membangun gedung-gedung sekolah, masjid, mushola, dan amal usaha lainya di daerah Bulukumba dan Majekne maupun untuk daerah Makassar. Warga Muhammadiyah saat itu bersemboyan “Masyumi tempat berjuang, Muhammadiyah tempat beramal.” Demikian itulah para pejuang, sambil terus beramal di Muhammadiyah.
Kiprah dalam Organisasi ‘Aisyiyah
Perempuan dari Sulsel ini sejak remaja sudah mampu mendirikan Ranting Ranting Nasyiatul ‘Aisyiyah di Ponro Bulukumba. Berturut-turut juga menjadi Bendahara ‘Aisyiyah Majene, Pimpinan Daerah di Bulukumba, Pimpinan Daerah di Makassar, hingga dipercaya sebagai Ketua PWA SulselTenggara (saat itu masih bergabung dengan Sulawesi Tenggara) selama dua periode, yaitu periode tahun 1971-1975 dan periode tahun 1975-1978.
Demikian Romlah Aziz sambil menekuni profesinya sebagai Dosen IAIN Sultan Alauddin hingga masa Pensiun tahun 1979. Selama itu masih sempat pula ia menjadi dosen di UMMI Makassar dan Universitas Muhammadiyah Makassar. Profesi ini tidak menyurutkan semangat dan tenaganya di Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah.
Baca Juga: Sejarah ‘Aisyiyah: Kelahiran Perempuan Muslim Berkemajuan
Ada dua buah Monumen ‘Aisyiyah Wilayah Sulsel peninggalan Romlah Aziz. Pertama Gedung Serba Guna di Jl. Jendral H.M. Yusuf. Monumen kedua adalah berdirinya Pesantren Putri Ummul Mu`minin yang berdiri megah diatas tanah seluas dua hektar wakaf dari Ibu Atirah Kalla, ibunda Wapres Yusuf Kalla. Kedua amal usaha kebanggaan PWA Sulsel ini melibatkan jasa para pejabat setempat yakni, Ibu Rifa`I istri Gubernur Sulsel, Walikota Daeng Patompo, dan lain-lainnya.
Demikian pula dukungan dan bantuan para staf beliau Ibu Hj Watoweng, Ibu Hj. Wafiah Malaik, Musyawaroh Musa, Hartinah Ajeng, dan lain-lainnya. Demikian perjuangan Romlah Aziz di `Aisyiyah hingga tutup usia pada tahun 1988.