Hikmah

Rukhshah Puasa Ramadan bagi Ibu Hamil dan Menyusui

Oleh: Evi Sofia Inayati*

Kehamilan dan proses menyusui merupakan kondisi yang membahagiakan bagi seorang perempuan. Namun ada kalanya kondisi itu dapat membawa rasa tidak nyaman, bahkan cukup berat, baik secara fisik maupun psikis.

Ibu hamil akan mengalami perubahan fisik dan kesehatan. Tiga bulan pertama ibu akan merasa mual, lebih sensitif terhadap rasa sehingga mudah muntah, dan cepat lelah. Semakin tua umur kehamilan, maka ibu akan semakin cepat lelah, gerakan makin lamban, dan merasakan nyeri pinggang. Ibu dan janin juga memerlukan asupan nutrisi yang baik.

Di samping itu, ibu hamil khususnya, juga akan mengalami perubahan psikis karena pengaruh perubahan hormon estrogen dan progesteron, meskipun tidak selamanya akan memberi dampak pada kondisi psikis. Perubahan psikis ini akan memengaruhi suasana hati, penerimaan, dan sikap. Ibu hamil kadangkala mengalami perubahan emosional, seperti depresi dan khawatir tentang penampilannya dan kesehatan bayinya, cemas, takut menjelang persalinan, dan khawatir tidak dapat menjalankan perannya sebagai ibu. Perasaan ibu hamil akan lebih sensitif sehingga perlu dimengerti oleh keluarga, khususnya suami.

Puasa Ramadan bagi Ibu Hamil dan Menyusui

Sejatinya, setiap mukmin wajib melaksanakan puasa Ramadan sebagaimana perintah Allah swt. dalam Q.s. alBaqarah [2]: 183. Meskipun demikian, terdapat kondisi tertentu yang dialami oleh seseorang yang mengakibatkan ia berat, kesulitan, atau uzur untuk melaksanakan puasa Ramadan dengan sempurna, bahkan bisa jadi menambah berat kondisinya jika ia memaksakan puasa. Di ayat berikutnya, Allah swt. berfirman,

“(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka, siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, itu lebih baik baginya dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Q.s. al-Baqarah [2]: 184)

Orang yang sedang melakukan perjalanan atau sakit, ia boleh tidak berpuasa, tetapi wajib menggantinya (meng-qadha) di hari lain. Akan tetapi, bagaimana jika seseorang mengalami kondisi tertentu sehingga dirasa berat untuk menjalankan puasa, di antaranya adalah perempuan yang sedang hamil dan menyusui? Q.s. Lukman [31]: 14 telah mengisyaratkan bahwa perempuan hamil itu sebenarnya dalam kondisi rentan/ lemah.

ًا ع ن ْ َه ٗ و ه ُّ م ُ ُ ا ه ْ ت َ ل مََ ۚهِ ح ْ ي َ َ دِال ِو َ ب َ ان س ْ ِن اْ َا ال ن ْ َّ ي َص َو و ۗ َ ْك ي َ َ دِال لِو َ ْ و يِ ل ْ ر ُ ْك ِن اش َ ِ ا نْ َي اَ م ْ ع ٗ يِ ف هُ َ ال فِص َّ ٍ و ْن َه و رُْ َ ِصي م ْ َّ ال يَ اِل

“Kami mewasiatkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. (Wasiat Kami,) “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu.” Hanya kepada-Ku (kamu) kembali.”

Demikian pula, Q.s. al-Ahqaf [46]: 15 menjelaskan hal yang sama. “Kami wasiatkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandung sampai menyapihnya itu selama tiga puluh bulan…”

Terkait dengan puasa Ramadan, perempuan yang hamil dan menyusui diperbolehkan tetap berpuasa sepanjang ia kuat, tidak membahayakan kehamilannya dan anak yang disusui, serta atas pertimbangan ahli/dokter. Itupun tidak ada paksaan untuk sempurna, apalagi harus satu bulan penuh, karena tentu hal ini akan memberatkan. Sebab kondisi setiap perempuan hamil berbeda. Menurut catatan kesehatan, perempuan yang tengah hamil, misalnya, memerlukan kurang lebih 2.000 kalori setiap hari dan memerlukan banyak air agar tetap terhidrasi. Selain itu, perlu protein agar mengurangi ancaman anemia.

Selanjutnya, terdapat pertanyaan dari sebagian kalangan, jika perempuan hamil kemudian menyusui tidak berpuasa Ramadan, apakah ia wajib qadha puasa, hanya membayar fidyah saja, atau dua-duanya?

Pandangan Ulama terhadap Qadha dan Fidyah

Para ulama mempunyai pandangan yang berbeda tentang qadha dan fidyah bagi perempuan hamil dan menyusui yang tidak berpuasa Ramadan. Imam Nawawi menyatakan setidaknya ada 4 (empat) pendapat mengenai persoalan ini, yang garis besarnya adalah sebagai berikut: Pendapat pertama, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Said bin Jubair berpendapat bahwa boleh keduanya tidak berpuasa dan ada kewajiban fidyah, tetapi tidak ada qadha untuk keduanya.

Pendapat kedua, Atho bin Abi Rabbah, Al-Hasan, Adh-Dhohak, AnNakha’i, Az-Zuhri, Rabi’ah, Al-Awza’i, Abu Hanifah, Ats-Tsauri, Abu Ubaid, dan ulama Zhahiri berpendapat bahwa keduanya boleh tidak berpuasa, tetapi harus meng-qadha tanpa membayar fidyah. Keadan keduanya disamakan dengan orang sakit.

Baca Juga: Tips Agar Tubuh Tetap Bugar Saat Ber-I’tikaf

Pendapat ketiga, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat behwa keduanya boleh tidak berpuasa, namun wajib meng-qadha dan sekaligus membayar fidyah. Pendapat keempat, Imam Malik berpendapat bahwa perempuan hamil boleh tidak berpuasa dan harus mengqadha tanpa membayar fidyah. Namun, untuk perempuan menyusui, ia boleh tidak berpuasa, namun harus mengqadha sekaligus membayar fidyah.

Pendapat Muhammadiyah yang tergambar pada Fatwa maupun Keputusan Tarjih berpandangan bahwa salah satu prinsip syariat Islam adalah menghilangkan kesulitan, tidak memberatkan, atau membebani. Allah swt. berfirman dalam Q.s. alBaqarah [2]: 185 dan Q.s. al-Hajj [22]:

78, ُ رْ َس ع ْ ُ ال ُ م ِك ُ ب د ْ ي ِ ر ُ اَ ي َل ُ رْ َس و ي ْ ُ ال ُ م ِك هُّٰ ب ُ الل د ْ ي ِ ر ُ ۖ ي

“…Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran…” (Q.s. al-Baqarah [2]: 185)

ْ ِ ِ من ْن ِي ّ ىِ ف ادل ْ ُ م ْك ي َ ل َ َ ع َل َع َا ج َم ْ و ُ م ٰىك ب َ ت ْ َ اج و ُ ه ۗ ٍج َ َر ح…

“Dia telah memilih kamu dan tidak menjadikan kesulitan untukmu dalam agama…” (Q.s. al-Hajj [22]: 78)

Yang dimaksud dengan kata alladzīna yuthī-qū-nahu dalam Q.s. AlBaqarah [2]: 184 adalah orang-orang yang mampu mengerjakan puasa tetapi dengan susah payah atau sangat berat. Perempuan hamil dan menyusui (disertai bernifas pasca persalinan) berada pada kondisi berat jika dipaksa untuk berpuasa, karena boleh jadi akan membahayakan diri dan anak yang disusuinya.

Oleh karena itu, keduanya boleh meninggalkan puasa. Hadis riwayat Imam Lima dari Anas bin Malik menyatakan:

اهللِ | | َ َ عن أنس بن مالك الكعيب أن رسول م ْ َّ و ِ الص َ افِر ُس م ْ ْ ال َن َ ع َ ع َض ىَ و َال ع َ هََّ ت َّ الل ِن َ قال: إ م ْ َّ و ْ ِضِع الص ُر م ْ ِ وال َ ِ امل حْ ْ ال َن َع ةِ و اَ َّ ل َ الص ْر َ ط َش و

“Dari Anas bin Malik al-Ka’bi bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sungguh Tuhan Allah Yang Maha Besar dan Maha Mulia telah membebaskan puasa dan separuh shalat bagi orang yang bepergian serta membebaskan puasa dari orang yang hamil dan menyusui”. (H.r. Lima Ahli Hadis)

Keduanya kemudian termasuk golongan yang mendapatkan rukhshah (keringanan) untuk tidak berpuasa. Jika keduanya meninggalkan puasa, cukup menggantinya dengan membayar fidyah dengan memberikan makanan setiap hari kepada seorang miskin sebagaimana hadis dari Ibnu Abbas ra.,

ْلى: ب ُ ٍ له ح ُ ٍ عباس ُ يقول ِّ ألم ولَد وكان ابن ُ وال ، ِ فعليك الفداء ُ ُه ُطيق ِ اليت ال ت مِ ِنزلَة ِ أنت ِب ْ ِك َ علي قضاء

“Ibnu Abbas berkata kepada jariyahnya yang hamil, “Engkau termasuk orang keberatan berpuasa, maka engkau hanya wajib berfidyah dan tidak usah mengganti puasa”.

(H.r. Al-Bazar dishahihkan al-Daraquthni) Hadis Nabi Muhammad saw. yang lain menyatakan:

َى ل ْ ب ُ ْلح ِ ِ َت ل ْب َ َال أُث ُ ق ه َّ ٍ اس أنَّ ب َ ِن ع ْ ْ اب َن ٍ ع م ْ و َ ْ ُ ك ِّل ي َ يِ ا ف ِم ْع ُط َ ي َا و ِر ْط ف ُ ِضِع أَ ْن ي ْ ر ُ ْم ال َ و ا ً ن ْ ي ِ ْك ِس م

(Diriwayatkan) dari Ibnu Abbas bahwa ia berkata, ditetapkan bagi perempuan yang mengandung dan menyusui berbuka (tidak berpuasa) dan sebagai gantinya memberi makan kepada orang miskin setiap harinya.” (H.r. Abu Dawud)

Fidyah boleh dibayarkan secara sekaligus sejak hari tidak berpuasa di bulan Ramadan atau setelah selesai seluruh bulan Ramadan karena lebih memudahkan. Fidyah tidak dapat dibayarkan sebelum masuk bulan Ramadan karena posisinya sebagai pengganti puasa. Fidyah dapat diwujudkan berupa makanan siap saji (nasi kotak, lauk pauk) dan bahan pangan (beras, gandum, sagu, dan lain-lain) sebesar satu mud (0,6 kg makanan pokok), diberikan kepada satu orang miskin sehari satu atau sekaligus 30 orang miskin dalam satu hari.

Keterangan ini dipahami dari makna umum (‘am) kata tha’am (makanan) yang terdapat dalam Q.s. alBaqarah [2]: 184. Selain itu, fidyah juga dapat diwujudkan berupa uang tunai senilai makanan atau bahan pangan yang diberikan kepada orang miskin, meskipun terdapat perbedaan di antara para ulama. Lembaga Fatwa Arab Saudi tidak memperkenankan fidyah dengan uang tunai.

Sementara itu, Lembaga Fatwa al-Azhar dan Komisi Fatwa Kuwait membolehkan fidyah uang tunai sebagai pengganti makanan siap santap dan bahan pangan. Terkait dengan ini, Fatwa Tarjih membolehkan fidyah dengan uang tunai dengan memperhatikan dan mempertimbangkan aspek likuid dan lebih luwes penggunaannya, sehingga lebih leluasa dimanfaatkan oleh si penerima fidyah.

Meskipun demikian, karena kondisi ekonomi, apabila membayar fidyah memberatkan bagi perempuan hamil atau menyusui karena harus mengeluarkan biaya, sementara keduanya termasuk golongan orang yang kurang mampu, maka mereka tidak wajib membayar fidyah dan dapat mengganti puasanya dengan berpuasa di hari lain di luar bulan Ramadan sesuai jumlah hari yang ditinggalkannya, sepanjang tidak menimbulkan kemudaratan baginya dan anak yang disusuinya, serta atas pertimbangan ahli/dokter.

Apabila itupun masih terasa berat untuk dilakukan, maka agama membebaskannya dari taklif (beban), sebagaimana firman Allah swt. dalam Q.s. al-Baqarah [2]: 286 dan Q.s. ath-Thalaq [65]: 7

, ا َ ه َ ْع ُس اَّ و ً ا اِل ْس ف َ هُّٰ ن ِف ُ الل ّ ل َ ُك اَ ي ل

Allah tidak membebani seseorang, kecuali menurut kesanggupannya… (Q.s. al-Baqarah [2]: 286)

َاۗ ٰىه ت ٰ ا ٓ ا َ اَّ م ً ا اِل ْس ف َ هُّٰ ن ِف ُ الل ّ ل َ ُك اَ ي ل

…Allah tidak membebani kepada seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang dianugerahkan Allah kepadanya… (Q.s. ath-Thalaq [65]: 7).

*Ketua Majelis Tabligh dan Ketarjihan PP ‘Aisyiyah Periode 2022-2027

Related posts
Berita

Muhammadiyah Tetapkan Maklumat Hasil Hisab Ramadan, Syawal, dan Zulhijah

Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah telah menetapkan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah 1446 H berdasarkan hasil hisab hakiki wujudul…
Finansial

Efek Positif Ramadan dan Lebaran bagi Ekonomi Umat

Oleh: Leonita Siwiyanti* Selama bulan Ramadan, pasar tradisional menjadi pusat aktivitas pedagang dalam menjajakan berbagai makanan khas untuk berbuka puasa. Hal ini…
Berita

Santunan Keluarga Aisyiyah Digelar MKS PCA Kotagede

Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Pada Jumat (5/4) di rumah keluarga Ari, Majelis Kesejahteraan Sosial (MKS) Pimpinan Cabang ‘Aisyiyah (PCA) Kotagede  menggelar Taawun…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *