Keluarga

Saat Rumah Terasa Sepi Setelah Anak Pergi

Saat Rumah Terasa Sepi Setelah Anak Pergi

Oleh: Suko Wahyudi*

Kehidupan manusia laksana sebuah perjalanan panjang yang berawal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Di dalamnya terdapat aneka fase, babak demi babak, yang harus dilalui dengan kesabaran, kesadaran, dan kesyukuran.

Setiap fase memiliki hikmah, setiap perubahan membawa pesan, dan setiap perpisahan menyimpan makna. Demikianlah ketika seorang ayah dan ibu yang selama bertahun-tahun merawat, membimbing, dan menemani anak-anaknya, pada akhirnya harus menerima kenyataan bahwa mereka pergi meninggalkan rumah.

Tempat tinggal yang dahulu riuh oleh tawa, tangis, dan hiruk pikuk keseharian, kini perlahan berangsur hening. Sunyi itu kerap menimbulkan rasa kehilangan, kekosongan, bahkan kegelisahan. Suasana batin inilah yang pernah tergambar indah dalam puisi Jhony Ngateman :

Pernah ada masa,

dinding-dinding rumah ini bergetar oleh tawa,

lantai menjadi saksi jejak-jejak kecil berlarian,

dan udara penuh dengan riuh doa serta harapan.

Kini, yang tersisa hanyalah hening,

kursi menatap kosong tanpa cerita,

meja makan hanya menghidangkan sepi,

dan malam terasa lebih panjang daripada biasanya.

Fenomena ini dikenal dengan istilah empty nest syndrome atau sindrom sarang kosong. Dalam psikologi dipahami sebagai gejala emosional berupa kesedihan, kesepian, atau kegamangan identitas ketika anak-anak beranjak dewasa dan hidup mandiri.

Dimensi Psikologis Empty Nest Syndrome dalam Perspektif Para Ahli

Para ahli telah mengamati fenomena ini. American Psychological Association menyebutnya sebagai perasaan kehilangan yang menimpa orang tua saat anak-anak meninggalkan rumah.

Daniel Levinson melihatnya sebagai masa transisi dalam kehidupan dewasa yang menuntut adaptasi emosional. Papalia, Olds, dan Feldman menjelaskan bahwa kondisi ini bukan sekadar kesedihan, tetapi juga krisis peran karena orang tua merasa kehilangan identitas yang melekat selama bertahun-tahun.

Reiss dan Oliveri menegaskan bahwa sindrom sarang kosong bukanlah penyakit. Ia adalah respon emosional karena kedalaman ikatan orang tua dengan anak, kesiapan menghadapi perubahan, dan ketersediaan dukungan sosial.

Nancy Schlossberg menambahkan bahwa ia adalah salah satu bentuk transisi hidup yang bisa bermakna positif atau negatif, bergantung pada cara memaknainya. Dengan demikian, sarang kosong dapat menjerumuskan pada kesedihan, tetapi juga dapat menjadi pintu menuju pembaruan hidup.

Baca Juga: Ketika Pasangan Pergi

Islam memandang kehidupan sebagai amanah dari Allah. Anak-anak yang hadir ke dunia melalui orang tua hanyalah titipan, bukan milik abadi. Mereka akan menjalani jalan takdirnya sendiri, dan orang tua harus siap melepaskan, dengan hati yang ikhlas.

Allah berfirman: “Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati. Dan hanya pada hari kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh dia memperoleh kemenangan. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdaya” (Ali Imran [3]: 185).

Ayat ini menjadi cermin bagi setiap insan bahwa dunia hanyalah persinggahan, sementara kebersamaan dengan anak-anak hanyalah episode yang suatu saat selesai. Dengan menyadari hal ini, hati terlatih untuk menerima kepergian mereka dengan rida.

Sarang Kosong sebagai Ruang Spiritual dan Kesempatan Beribadah

Kesepian orang tua, bila dilihat dengan mata batin, sejatinya adalah ruang untuk kembali mendekatkan diri kepada Allah. Shalat malam yang dahulu terlewat karena kesibukan mengasuh anak dapat ditegakkan dengan khusyuk.

Alunan Al-Qur’an yang dulu hanya dibacakan kepada buah hati kini dapat dibaca dengan penuh tadabbur. Dzikir dan doa menjadi pengisi keheningan. Firman Allah menjadi pegangan: “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram” (Ar-Ra’d [13]: 28).

Dengan mengingat Allah, kesepian tidak lagi menakutkan, tetapi menjadi sahabat jiwa. Doa orang tua adalah jembatan kasih sayang yang tak terputus oleh jarak dan waktu. Rasulullah SAW bersabda: “Tiga doa yang mustajab, tidak ada keraguan padanya: doa orang yang terzalimi, doa orang yang bepergian, dan doa orang tua untuk anaknya” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).

Hadits ini menjadi peneguh, bahwa meski anak-anak pergi jauh, doa orang tua akan senantiasa mengiringi langkah-langkah mereka. Maka, sarang yang kosong tidak berarti hubungan yang terputus; justru doa menghadirkan keterhubungan yang lebih dalam, spiritual, dan abadi. Waktu yang kosong lebih baik untuk memperbanyak amal saleh.

Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain” (HR. Ahmad, Thabrani, dan Daruquthni). Setelah anak-anak mandiri, orang tua memiliki kesempatan untuk memperluas manfaatnya kepada masyarakat, menjadi teladan, pengayom, atau penggerak kebajikan. Dengan begitu, rasa hampa berubah menjadi berkah, dan kesepian bertransformasi menjadi energi untuk memberi.

Meneguhkan Ikatan Suami Istri

Dalam keheningan sarang kosong, pasangan hidup menjadi teman sejati. Suami dan istri kembali meneguhkan ikatan yang mungkin terabaikan oleh kesibukan membesarkan anak.

Firman Allah menjadi pengingat: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” (Ar-Rum [30]: 21). Ayat ini menuntun kita bahwa kasih sayang pasangan adalah tiang penyangga rumah tangga.

Kesedihan akan berkurang bila hati penuh syukur. Anak yang tumbuh sehat, berilmu, dan mandiri adalah nikmat besar dari Allah. Allah berfirman: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih” (Ibrahim [14]: 7). Syukur mengubah kacamata batin: dari kehilangan menjadi keberlimpahan, dari kesepian menjadi kesempatan, dari air mata menjadi cahaya.

Akhirnya, refleksi hakikat hidup menuntun kita pada tujuan sejati: beribadah kepada Allah. Firman-Nya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku” (Adz-Dzariyat [51]: 56).

Anak-anak adalah amanah, bukan tujuan akhir. Tujuan utama manusia adalah pengabdian kepada Allah. Maka, sarang kosong adalah undangan untuk memperdalam ibadah, menajamkan kesadaran, dan mempersiapkan diri menuju perjumpaan dengan-Nya.

Teladan Para Nabi dalam Menghadapi Perpisahan dengan Anak

Kisah para nabi dalam Al-Qur’an memperlihatkan betapa perpisahan dengan anak adalah bagian dari sunnatullah. Nabi Ibrahim, misalnya, harus rela meninggalkan Hajar dan Ismail di lembah Bakkah yang tandus, hanya berbekal keyakinan penuh kepada Allah.

Dengan doa yang menggetarkan beliau berucap: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami, (yang demikian itu) agar mereka melaksanakan shalat. Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur” (Ibrahim [14]: 37).

Betapa berat perpisahan itu, namun Ibrahim menerimanya dengan rida. Dari perpisahan itulah lahir keteguhan iman, lahir keturunan yang mulia, dan lahir teladan pengabdian sejati.

Baca Juga: Menyiapkan Dana Pensiun Sedini Mungkin

Kisah lain terdapat pada Nabi Ya’qub yang harus berpisah dengan putranya, Yusuf. Hati seorang ayah tentu remuk ketika anak kesayangan hilang, namun Ya’qub menanggapinya dengan sabar yang indah,“Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan” (Yusuf [12]: 18).

Bertahun-tahun ia merasakan sarang kosong, namun keheningan itu ia isi dengan doa, sabar, dan tawakal, hingga akhirnya Yusuf kembali dalam keadaan mulia. Kisah ini mengajarkan bahwa perpisahan dengan anak bisa menjadi ladang kesabaran dan pengharapan.

Melepaskan Anak dengan Tawakal

Nabi Nuh juga menghadapi kenyataan pahit: anaknya menolak ikut bersama dalam bahtera keselamatan. Dengan penuh harap, Nuh memanggil anaknya: “Hai anakku, naiklah bersama kami dan janganlah kamu bersama orang-orang yang kafir” (Hud [11]: 42).

Namun anak itu menolak, dan akhirnya tenggelam bersama gelombang banjir. Dari kisah ini kita belajar bahwa anak adalah amanah, bukan jaminan keselamatan. Orang tua hanya bisa berikhtiar, namun hidayah tetap milik Allah. Maka, melepaskan anak untuk menempuh jalan hidupnya sendiri adalah bagian dari kepasrahan kepada takdir.

Dengan meneladani kisah para nabi, orang tua masa kini dapat memahami bahwa sindrom sarang kosong bukanlah akhir kebersamaan, melainkan ujian iman yang menuntut kesabaran, keikhlasan, dan kedekatan kepada Allah.

Apa yang nampak sebagai kesepian, dalam cahaya iman justru adalah ruang untuk memperdalam doa, memperluas amal, dan memperkokoh ikatan batin dengan pasangan. Dengan demikian, sarang kosong dapat berubah menjadi sarang yang penuh cahaya, tempat bersemainya ketenangan dan keberkahan.

*Pegiat Literasi Tinggal di Yogyakarta

Related posts
Politik dan Hukum

Hukum Tata Negara dan Jebakan Opini Demokrasi

Oleh: Suko Wahyudi* Demokrasi sering dipuja sebagai puncak peradaban politik modern. Ia dianggap lambang kemajuan bangsa dan tanda kedewasaan rakyat. Dalam teori,…
Pendidikan

Sekolah untuk Apa dan bagi Siapa?

Oleh: Suko Wahyudi* Pendidikan di negeri ini tengah berdiri di persimpangan. Di satu sisi, ia digadang sebagai kunci kemajuan bangsa; di sisi…
Kebijakan Politik

Gaza: Genosida Paling Tampak Mata

Oleh: Suko Wahyudi* “We will not go down In the night, without a fight. You can burn up our mosques and our…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *