Oleh: Nur Zulva Khusna
Kepatuhan menurut Baron dkk merupakan perilaku seseorang untuk mentaati sesuatu karena ada unsur power. Unsur power ini bisa dilihat dengan bagaimana orang yang memiliki otoritas yang menntut kepatuhan tersebut misalnya dengan lencana yang dipakai oleh orang tersebut, pangkat atau jabatan yang dimiliki seseorang. Selain itu yang mempengaruhi kepatuhan yaitu adanya pihak yang dituntut untuk melakukan kepatuhan. obyek atau isi tuntunan dari pihak otorita untuk dilaksanakan dan adanya konsekuensi dari perilaku yang akan dilakukan
Salah satu lembaga yang menjunjung tinggi terkait kepatuhan adalah lembaga pendidikan atau biasa kita kenal dengan sekolah. Menurut Prof. Azyumardi Azra yang dikutip dari artikel tempo.com bahwa adanya gejala umum terkait relasi guru dengan murid pada sistem Pendidikan Islam di Indonesia masih menggunakan prinsip kepatuhan maksimal. Maksud dari kepatuhan maksimal disini adalah siswa harus menghormati, mengikuti yang dikatakan dan di lakukan oleh guru secara maksimal tanpa bertanya Kembali. Sebagaimana penilitian Zainuddin Syarif yang berjudul tentang mitos nilai nilai kepatuhan santri yang dipublikasikan pada Jurnal Tadris Vol 7 No 1 pada bulan Juni 2012 terkait gambaran kepatuhan santri terhadap kyai yang menyatakan bahwa santri akan mengikuti pernyataan kyai tanpa keberanian bertanya ulang, berbicara, kalua diminta, melaksanakan perintah atau permintaan kyai tanpa keberanian menolaknya. Kepatuhan dengan prinsip ini jika disalahgunakan dapat menimbulkan kepatuhan yang rusak.
Sebagaimana yang berita yang dikutip dalam detik.com yang terbit pada Selasa 14 Februari 2023 yang berjudul ”Guru Sumenep Cabuli Siswa Laki-Laki, Menolak Diancam dikeluarkan dari Sekolah. Berita tersebut menceritakan bahwa ada guru tidak tetap berinisial MR di salah satu SMA di Sumenep ditahan oleh pihak kepolisian akibat kasus pencabulan. MR melakukan pencabulan terhadap siswa laki-laki berinisial R. Pada tanggal 7 Februari 2023 guru berinisial MR memeriksa video seorang siswa laki-laki berinisial R di ruang tata usaha salah satu SMA di Sumenep. Dalam proses pemeriksaan video pada handphone milik siswa laki-laki berinisial R ini, guru MR menemukan Video porno dalam handphone siswa laki-laki berinisial R. Setelah itu, guru MR memberikan ancaman, bahwa dia akan menyebarluaskan informasi ini sehingga siswa berinisial R dikeluarkan dari sekolah jika tidak mengikuti apa yang dia inginkan. Karena siswa berinisial R tidak ingin dikeluarkan dari sekolah maka dia terpaksa menuruti apa yang diminta pelaku.
Baca Juga: Industrialisasi vs Demokratisasi Pendidikan
Kepatuhan merusak menurut Stanley Milgram yang dikutip dari Prociding National Conference on Applied Bussines adalah sebuah bentuk kepatuhan seseorang untuk melakukan tindakan yang menyakiti orang lain yang tidak bersalah. Faktor yang mempengaruhi kepatuhan yang merusak ini salah satunya adalah adanya pemegang otoritas kepatuhan dimana dia menyalahgunakan wewenangnya sebagai pemegang otoritas kepatuhan dan ketidakberdayaan pihak yang dituntut untuk melakukan kepatuhan. Kepatuhan yang merusak ini dalam lembaga pendidikan bisa kita lihat dengan adanya fenomena penyalahgunaan wewenang yang terjadi oleh guru terhadap murid berupa kasus pencabulan.
Kasus pencabulan ini terjadi hampir disetiap tingkat pendidikan dengan jumlah siswa tidak hanya satu atau dua tapi lebih dari itu. Pelaku pencabulan terkadang mengiming imingi nilai bagus jika menuruti hasrat cabulnya. Namun, di sisi lain pelaku pencabulan terkadang mengancam korban akan mendapatkan nilai buruk, bahkan dikeluarkan dari sekolah.
Berdasarkan berita di atas, adanya penyalahgunaan wewenang yang dilakukan berupa aib atau kesalahan siswa yang seharusnya diperbaiki bukan dijadikan alat untuk memuaskan keinginan sex guru tersebut. Selanjutnya adanya ketidakberdayaan siswa untuk melawan karena adanya ancaman yang dilayangkan kepada siswa tersebut berupa pembongkaran aib yang menyebabkan siswa tersebut dikeluarkan dari sekolah.
Berdasarakan penjelasan tadi, kita dapat merefleksikan bahwasannya kepatuhan antara guru dan murid dalam dunia perndikan perlu diretafsir kembali. Kita bisa mengambil pandangan Azyumardi Azra yang dikutip dalam tempo.com bahwasanya patuh itu menghormati guru bukan segala yang dikatakan dan diperintahkan itu harus diikuti. Patuh yang dimaksud bukan patut yang suargo nunut neraka katut,patuh yang didalamnya mengandung taqlid buta namun patuh disini didalmnya mengandung proses kognitif berupa model berfikir kritis. Dari situ kita bisa melihag guru itu manusia yang juga bisa khilaf. Sehingga memposisikan guru sebagai manusia dan saling ingat mengingatkan antar guru dan murid dalam rangka kebaikan merupakan bukan suatu hal yang salah dan ini merupakan bagian dari bentuk menghormati guru dalam rangka menjaga integritas seorang guru dimata khalayak umum.
Proses memaknai kembali kepatuhan ini, perlu dilaksanakan dan diterapkan diseluruh lapisan masyarakat. Hal ini bisa dilakukan dengan cara pertama, lembaga pendidikan dan orang tua perlu memberikan pendidikan berfikir kritis sehingga siswa dapat mengungkapkan gagasan yang ada dalam pikiran dan hati siswa tersebut. Pendidikan berfikir kritis ini dapat melatih siswa untuk berani menolak ajakan yang buruk atau bersifat destruktif. Selanjutnya orang tua tidak begitu saja lepas tangan menyerahkan anaknya yang menjadi siswa di sebuah lembaga pendidikan. Orang tua perlu menjadi kontrol perilaku anak yang terjadi di sekolah dan kontrol perilaku sekolah terhadap anak.