Berita

Sarasehan Seabad Wafatnya Kiai Ahmad Dahlan: Menguak Laku Sederhana dan Terbuka

Sarasehan 100 Tahun Wafatnya Kiai Ahmad Dahlan
Sarasehan 100 Tahun Wafatnya Kiai Ahmad Dahlan

Sarasehan 100 Tahun Wafatnya Kiai Ahmad Dahlan (foto: Khoirum Majid)

Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah Perwakilan Takmir Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta, Budi Setiawan mengatakan bahwa eksplorasi pemikiran dan jejak hidup Kiai Ahmad Dahlan tidak akan pernah usai. Setiap orang, kata dia, bisa punya sudut pandang yang berbeda dalam melihat pikiran dan laku hidup pendiri Muhammadiyah itu.

Pernyataan itu ia sampaikan dalam forum Sarasehan “Seabad Wafatnya Kiai Ahmad Dahlan: Tentang Jiwa, Hidup, dan Cita-cita” yang diselenggarakan di Masjid Gedhe Kauman, Jumat malam (17/3). Untuk diketahui, Kiai Dahlan wafat pada 23 Februari 1923. Tepat seabad yang lalu.

Menurut Budi, meskipun meninggal dalam usia yang sangat muda, Kiai Dahlan telah meninggalkan warisan pemikiran dan gerakan yang banyak. “Jangan sampai pemikiran Kiai Dahlan berhenti,” pesan dia memberikan sambutan.

Senada dengan apa yang disampaikan Budi, Widiastuti mengatakan bahwa forum sarasehan ini didesain untuk melihat kembali jiwa, hidup, dan cita-cita Kiai Dahlan. Wiwid, demikian ia kerap dipanggil, merupakan generasi keempat dari Kiai Dahlan.

Pemilihan Masjid Gedhe Kauman sebagai lokasi acara, menurut dia, tidak dapat dilepaskan dari ikatan historis antara Kiai Dahlan, Muhammadiyah, dan gerakan pembaruannya. “Ada ikatan historis yang tidak bisa diingkari,” ungkapnya.

Wiwid menerangkan, data-data tentang Kiai Dahlan (yang sudah terungkap) sebenarnya tergolong tidak terlalu banyak. Ketika dikulik, kata dia, ternyata masih banyak data-data lain dari berbagai macam sumber. Oleh karena itu, lanjut dia, diperlukan terobosan-terobosan riset yang intens untuk melajak jejak hidup Pahlawan Nasional itu.

Baca Juga: Keturunan Kiai Ahmad Dahlan di Thailand

Kiai Dahlan adalah pribadi yang sangat sederhana. Saking sederhananya, Wiwid menceritakan, ketika Kiai Dahlan sudah wafat dan Nyai Walidah menderita sakit, Presiden Soekarno datang berkunjung ke Kauman. Saat itu, pihak keluarga sampai harus meminjam kursi ke tetangga sebagai tempat duduk Presiden.

Pembaru Islam dengan nama kecil Muhammad Darwisy itu juga punya kebiasaan silaturahmi. Beliau tidak pernah tidak mengunjungi atau dikunjungi seseorang. “Ini salah satu karakter Kiai Dahlan,” terang Wiwid.

Profesor Riset BRIN, Ahmad Najib Burhani menegaskan bahwa sebagai pembaru, Kiai Ahmad Dahlan tidak hanya dihormati oleh umat Islam yang santri atau saleh, tapi juga oleh kelompok abangan. Penghormatan itu tidak dapat dilepaskan dari sikap terbuka yang diamalkan Kiai Dahlan. (sb)

Related posts
Lensa Organisasi

Memaknai Tujuh Pelajaran Ahmad Dahlan

Oleh: Muh. Ikhwan Ahada* Pelajaran Kiai Haji Ahmad Dahlan adalah hasil penalaran jernih Dahlan mulai dari konsep diri manusia yang melintas dilanjutkan…
Aksara

Kisah Pengorbanan Kiai Ahmad Dahlan dalam Membangun Muhammadiyah

Judul               : Islam Berkemajuan: Kisah Perjuangan K.H. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah Masa Awal Penulis             : Syuja’ Penerbit           : Al-Wasat Tahun              :…
Sosial Budaya

Epistemologi Penafsiran Kiai Ahmad Dahlan: Dari Spiritualisme Al-Ghazali hingga Reformisme Abduh

Ahmad Dahlan lahir pada 1 Agustus 1868 di Kauman, Yogyakarta. Muhammad Darwisy, nama kecil Ahmad Dahlan, lahir dari pasangan Abu Bakar bin…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *