Oleh: Muhammad Ridha Basri
Sejarah peradaban Islam tidak hanya milik laki-laki. Kaum hawa juga bisa ditemukan dalam jajaran para sahabat, tabi’in, periwayat hadis, dan ulama. Mereka telah turut ambil bagian dalam agenda dakwah risalah Islam di muka bumi. Salah satu ulama perempuan yang cukup masyhur adalah Nafisah binti al-Hasan al-Anwar bin Zaid al-Ablaj bin al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Darahnya tersambung hingga kepada Nabi Muhammad saw. tersebab Ali bin Abi Thalib menikahi Fatimah binti Muhammad.
Sayyidah Nafisah lahir dari pasangan Al-Hasan dan Ummu Walad di Makkah pada pertengahan Rabiulawal tahun 145 Hijriah. Ayahnya adalah seorang ulama terkemuka pada masa Dinasti Abbasiyah dan sempat menjabat sebagai Gubernur Madinah pada masa Khalifah Ja’far al-Manshur. Ayahnya dikenal alim dan cakap dalam urusan agama dan politik, kepemimpinannya cukup mumpuni. Namun, tersebab urusan politik, ayahnya dipecat dan sempat dipenjara selama setahun, sampai kemudian dibebaskan oleh Khalifah Al-Mahdi.
Nafisah lahir dari keluarga kaya dan mulia. Namun, Nafisah dikenal memiliki gaya hidup zuhud, bersahaja, dan tidak mudah silau dengan kemewahan harta atau kekuasaan. Justru, hari-hari Sayyidah Nafisah disibukkan dengan aktivitas belajar, terutama mendalami ilmu-ilmu al-Quran, hadis, fikih, dan cabang keilmuan Islam lainnya. Wajar jika pada kemudian hari, ia dikenal sebagai sosok alim yang kepakarannya diakui oleh para imam mazhab, dari Imam Syafii hingga Ahmad bin Hanbal.
Baca Juga: Aisyah bintu Syathi, Perempuan Pelopor Tafsir Modern
Oleh karena keahlian dan kegandrungannya pada ilmu, Sayyidah Nafisah dijuluki sebagai Ummul ‘Ulum. Gelar lain yang disematkan kepadanya adalah Nafisat al-Ilm wal Ma’rifat, Nafisat Thahira, Nafisat al-Abidah, Nafisat al-Darayn, Sayyidat al-Karamat, Sayyidat Ahlul Fatwa, dan Umm al-Awaajiz. Gelar itu menunjukkan pengakuan dan penghargaan atas keilmuannya. Pada saat yang sama, ia dijuluki juga sebagai ‘Abidah Zahidah, yaitu ahli ibadah yang tekun menjalani ritual dan berperilaku hidup asketis.
Ketika usianya menginjak dewasa, banyak lelaki yang terpikat dan hendak meminangnya. Ia punya banyak kelebihan. Parasnya rupawan dan akhlaknya terpuji. Suatu hari, datanglah seorang laki-laki bernama Ishaq bin Ja’far as-Shadiq bin Muhammad al-Baqir atau yang dikenal sebagai Al-Mu’tamin. Sosok yang memiliki nasab mulia, kedudukan, berada, dan punya kedalaman ilmu inilah yang diterima oleh Nafisah. Pernikahannya dengan Al-Mu’tamin dikaruniai dua orang anak, yaitu Qasim dan Ummu Kulsum.
Sayyidah Nafisah merasakan hidup di beberapa kota. Saat usianya baru lima tahun, ia dibawa oleh orang tuanya ke Madinah, mengikuti ayahnya yang diangkat menjadi Gubernur Madinah. Di kota Nabi inilah, Sayyidah Nafisah beberapa kali menziarahi makam Nabi Muhammad saw. Di Raudhah, dia sering terpaku lama sambil berzikir dan berdoa. Selama di Madinah Sayyidah Nafisah juga bertemu dan belajar kepada banyak ulama laki-laki maupun perempuan.
Nafisah juga punya pertautan khusus dengan Kota Makkah. Setiap tahunnya selama kurang lebih tiga puluh tahun, Nafisah berkunjung ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Perjalanannya ditempuh dengan susah payah, sembari rutin berpuasa pada siang hari dan menunaikan tahajud pada malam hari. Di Masjidil Haram Nafisah antara lain bermunajat, “Wahai Tuhanku, wahai pemimpinku, wahai majikanku, anugerahi aku kenikmatan dan kegembiraan dengan ridha-Mu kepadaku, mohon jangan jadikan alasan yang membuatku tak bisa memandang-Mu.”
Kota lainnya yang lekat dengan kehidupan Nafisah adalah Kairo, Mesir. Pada 26 Ramadan 193 H/808 M, Sayyidah Nafisah tiba di Kairo. Kabar kedatangannya menyebar luas ke berbagai penjuru, masyarakat menyambutnya dengan antusias. Setiap hari ratusan orang datang ingin bertemu untuk berbagai kepentingan, mulai dari meminta doa, bertanya tentang suatu permasalahan, hingga belajar tentang ilmu tertentu. Saking banyaknya yang datang, Nafisah sampai merasa perlu menjaga jarak dan mengurangi waktunya yang tersita untuk melayani manusia. Selain di rumah, pengajiannya juga diselenggarakan di masjid.
Orang-orang yang menemui Sayyidah Nafisah bukan hanya masyarakat biasa, melainkan juga para ulama terkemuka. Dikatakan, Imam Syafii sampai meminta waktu khusus untuk bertemu dengan Sayyidah Nafisah. Permintaan itu dipenuhi dan Nafisah menyambut Syafii di rumahnya dengan penuh keakraban. Pertemuan ini berlanjut dengan pertemuan-pertemuan selanjutnya, dan terjadilah relasi guru-murid di antara dua tokoh ini.
Baca Juga: Bolehkah Perempuan Safar Tanpa Mahram?
Beberapa ulama yang pernah menjadi murid Sayyidah Nafisah, antara lain Abu al-Faidh Zhunnun al-Mashri, Imam Abu al-Hasan ad-Dinawari, Abu Ali ar-Rauzbari, Abu Bakar ad-Daqqaq, Imam Ismail al-Muzani asy-Syafi’i, Imam Abu Ya’qub al-Buwaithi, Abdullah bin Wahb al-Quraisyi al-Maliki, Imam Abu Ja’far ath-Thawi al-Hanafi, Abu Nasr Sirajuddin al-Mughafiri, Imam Yusuf bin Ya’qub al-Harawi, Imam Abu Zakaria as-Sakhawi, Al-Faqih al-Imam Ahmad bin Zarruq al-Maliki as-Sufi, Imam Warasy, Al-Imam al-Muhaddits asy-Syirazi, dan Abu al-Hasan al-Mushali.
Nafisah tidak hanya dikenal sebagai penghafal al-Quran. Perilakunya menunjukkan bahwa ia menjiwai nilai-nilai al-Quran. Ada yang mengatakan bahwa Sayyidah Nafisah telah mengkhatamkan bacaan al-Quran sebanyak 1.900 kali. Ia tidak hanya membaca, tetapi juga memahami makna dan ilmunya. Di luar penguasaan ilmu, Sayyidah Nafisah mampu menyeimbangkan diri dengan amalan terpuji. Ia dikenal sebagai ahli ibadah yang biasa beribadah sepanjang malam dan konon tidak pernah meninggalkan salat malam.
Meskipun menempuh jalan sufi, Nafisah tidak larut berasyik-masyuk dengan Allah saja. Nafisah terlibat dalam pergumulan di masyarakat, menyelesaikan persoalan-persoalan sosial di sekitarnya. Suatu ketika, Nafisah memimpin gerakan rakyat untuk menentang penguasa zalim: Ibnu Talun. Nafisah menulis surat berisi kritik tajam kepada sang penguasa. Sebagian isi suratnya itu berbunyi sebagai berikut, “Anda telah menyakiti dan membuat rakyat lapar. Orang-orang yang dizalimi tidak akan mati, dan orang yang menzalimi tidak akan hidup lama. Lakukan semaumu, tetapi ingat, Tuhan pasti akan membalas kelakuan burukmu.”
Jalan sufi yang ditempuh Sayyidah Nafisah juga bukan berarti ia hidup kekurangan dan berharap belas kasihan. Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa al-Nihayah memberi kesaksian bahwa Nafisah adalah seorang perempuan kaya dan dengan kekayaannya, ia banyak membantu orang-orang, terutama mereka yang lumpuh hingga yang sakit parah. Ia memiliki kebajikan yang berlimpah.
Nafisah juga punya beberapa karamah. Misalnya, tentang Imam Syafii yang ketika sakit mengutus muridnya kepada Nafisah untuk mendoakannya. Begitu utusan kembali, Imam Syafii telah sembuh. Tak berapa lama, Imam Syafii mengalami sakit parah, dan muridnya kembali menemui Nafisah untuk minta didoakan. Nafisah menitipkan jawaban, “matta’ahu Allah bi al-nazhr ila wajhih al-karim” (semoga Allah memberinya kegembiraan saat berjumpa dengan-Nya).
Imam Syafii segera paham maksud kalimat itu bahwa waktunya sudah tidak lama lagi. Imam Syafii segera berwasiat kepada Al-Buwaithi supaya meminta Sayyidah Nafisah menyalati jenazahnya ketika ia meninggal. Wasiat itu dipenuhi. Imam Syafii wafat pada 204 H/820 M, jenazahnya dibawa ke rumah Sayidah Nafisah untuk disalatkan.
Berselang empat tahun, pada 208 H, Nafisah wafat dalam usia 63 tahun menyusul muridnya. Nafisah meninggal tepat ketika baru saja menyelesaikan bacaan Surah al-An’am ayat 127, “Mereka disediakan Darussalam (surga) pada sisi Tuhan-Nya.” Sayyidah Nafisah dimakamkan di Mesir. Sayyidah Nafisah dikenal sebagai salah satu dari tiga wali perempuan terkemuka di Mesir, selain Sayyidah Zainab binti Muhammad dan Sayyidah Sakinah.