
Musala ‘Aisyiyah di Sigli Aceh th 1930 (Foto: Dok SA)
Majalah berbahasa Arab Mir’ah Muhammadiyah terbitan tahun 10 Rabiul Awal 1345 H atau 1927 M yang diterbitkan oleh warga Muhammadiyah memuat tentang masjid (musala) perempuan dengan keterangan bahwa kebangkitan atau pembaharuan yang digagas oleh almarhum Kiai Ahmad Dahlan tidak ditujukan bagi laki-laki semata, tapi juga diperuntukkan bagi kebangkitan atau kemajuan perempuan.
Musala perempuan pertama didirikan oleh ‘Aisyiyah dengan kerja keras pada tahun 1922 di Yogyakarta. Berdirinya musala ini terkait dengan cita-cita Kiai Dahlan untuk mendirikan bangunan yang diperuntukan khusus bagi perempuan, tidak hanya anggota ‘Aisyiyah, tapi perempuan pada umumnya. Harapannya, keberadaan musala itu akan memudahkan kegiatan ibadah dan aktifitas kaum perempuan.
Ide tentang pembangunan musala perempuan yang digagas oleh ‘Aisyiyah kemudian menjadi ciri khas atau brand kegiatan ‘Aisyiyah di Daerah, Cabang, dan Grup atau Gerombolan ‘Aisyiyah. Saat itu, Pimpinan Ranting ‘Aisyiyah biasa disebut dengan Grup atau Gerombolan ‘Aisyiyah. Setelah di Yogyakarta, musala perempuan berdiri di Garut pada 1927 dan di Pekajangan pada 1937.
Dalam Verslag Aisjijah Hindia Timur 1931, dilampirkan tabel perkembangan ‘Aisyiyah per-daerah, termasuk di dalamnya jumlah musala dan surau ‘Aisyiyah. Tercantum ada 13 musala dengan rincian 5 di Sumatera, 8 di Jawa; dan 44 surau, dengan rincian 30 di di Sumatera, 14 di Jawa.
Dalam Kongres Muhammadiyah ke-26 di Yogyakarta yang berlangsung pada tanggal 8-15 Oktober 1937, diputuskan bagi cabang atau grup bagian ‘Aisyiyah yang telah mendirikan musalah supaya tidak hanya dibuat tempat salat saja, tetapi supaya dipergunakan untuk menjalankan kebaikan, seperti kursus, mempelajari Islam, dsb.
Musala perempuan didirikan di tengah situasi kutural yang menempatkan perempuan sebagai warga kelas dua dengan banyak aturan dan keterbatasan, termasuk ungkapan suargo nunut neroko katut. Anak perempuan dicukupkan dengan belajar keahlian yang dibutuhkan dalam peran-peran di ruang domestik. Begitu pula dalam hal pendidikan, anak perempuan cukup belajar mengaji di rumah para guru mengaji, tanpa tersedia kesempatan untuk mempelajari agama secara mendalam, apalagi akses pendidikan umum.
Dengan demikian, musala perempuan merupakan milestone pertama ‘Aisyiyah untuk terlibat secara aktif mencerdaskan kehidupan bangsa dengan peran-peran kemasyarakatan di ruang publik. Dari aktifitas di musala perempuan, peran ‘Aisyiyah meluas ke berbagai aspek kehidupan, seperti pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, ekonomi, dsb. Ayat faidza faraghta fanshab terus mengilhami langkah ‘Aisyiyah untuk memberikan jawaban atas kebutuhan umat. (Sus/HNS)