Sekolah sebagai lembaga pendidikan mestinya menjadi ruang yang aman bagi anak dari praktik perundungan. Namun tidak jarang yang terjadi justru sebaliknya, di sekolah anak justru rentan terhadap praktik perundungan.
Salah seorang wali siswa korban perundungan atau bullying, sebut saja Mawar (nama samaran) mengungkapkan kasus perundungan yang menimpa anaknya. Saat itu, anaknya yang bernama Melati (nama samaran) tengah mengenyam pendidikan SMP. Di sekolahnya, Melati kerap dikucilkan dan dirumorkan sebagai penyuka sesama jenis oleh teman-temannya.
Hal tersebut membuat Melati menjadi lebih pendiam. Lantaran tertekan akibat mendapat perilaku bully, Melati bahkan sering mengalami sesak nafas dan asam lambung. Sebagai ibu, Mawar mengaku sakit hati dengan perilaku bullying yang dialami anaknya. Menurut Mawar, bullying adalah momok yang ditakuti para wali siswa, karena akan berdampak trauma atau dendam bagi anak yang bisa menghambat proses belajar dan pencarian jati diri anak.
Faktor dan Dampak Terjadinya Bullying
Zezen Zaenal Muttaqin, Ketua Program Studi Magister Fakultas Agama Islam Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), menyayangkan praktik perundungan yang banyak terjadi di sekolah.
Menurut Zezen, bullying dapat terjadi karena banyak faktor, seperti kurangnya pemahaman tentang empati dan penghargaan terhadap perbedaan, tekanan kelompok atau budaya yang mendorong perilaku agresif, kurangnya pengawasan dan pengaturan dari orang dewasa, serta pengaruh dari media dan lingkungan sekitar. Selain itu, ketidakmampuan individu dalam mengelola emosi, rendahnya harga diri, dan pengalaman masa lalu yang buruk juga dapat memicu perilaku bullying. Zezen berpesan penting untuk mengenali dan mengatasi faktor-faktor pemicu bullying guna mencegah dan mengatasi bullying.
Sejalan dengan hal tersebut, warga sekolah khususnya guru maupun para siswa/siswi memiliki peran penting untuk mencegah dan mengatasi bullying. Sekretaris Majelis Pendidikan Dasar Menengah dan Pendidikan Nonfor- mal Pimpinan Pusat (Dikdasmen PNF PP) Muhammadiyah, Abdullah Mukti, menyampaikan bahwa bullying bisa terjadi karena minimnya kesadaran dan adanya peluang. Ia menyebutkan beberapa waktu di sekolah yang rawan terjadi bullying, yaitu saat pergantian jam pelajaran, jam kosong, dan jam istirahat. Hal ini dikarenakan pengawasan guru cukup longgar pada waktu-waktu tersebut. “Makanya, guru harus datang ke kelas tepat waktu. Jangan sampai siswa luput dari pengawasan dan pendampingan guru,” ia melanjutkan.
Mukti juga mengingatkan, guru harus punya pemahaman dan kesadaran tentang bahaya perundungan ini sehingga dapat memberikan edukasi, mengenali tindakan bullying, dan bisa mengatasi. Mukti mengingatkan, jangan sampai guru menormalisasi perilaku bullying mulai dari melakukan bullying terhadap siswanya apalagi membiarkan praktik bullying yang dialami siswa. Dampak perundungan sangat besar bahkan eskalasinya sampai menghilangkan nyawa seseorang.
Peran Komponen Sekolah
Fenomena bullying, terang Mukti, tidak berdiri sendiri sehingga penanganannya harus dilakukan secara sistemik oleh sekolah. Baik guru maupun siswa harus teredukasi dengan baik untuk mencegah terjadinya bullying. Edukasi tersebut juga dapat ditanamkan di kelas-kelas saat pembelajaran.
Baca Juga: Mencegah Bullying pada Anak
Zezen menyebutkan, model pembelajaran yang ideal untuk mencegah bullying di sekolah meliputi pendidikan karakter, pengembangan keterampilan sosial, pendidikan tentang bahaya bullying, pendekatan partisipatif, peran guru dan staf sekolah yang aktif, serta keterlibatan orang tua.
Model ini, jelas Zezen, selain mencakup pengajaran nilai-nilai positif seperti penghargaan terhadap perbedaan dan empati juga keterampilan sosial, penting juga untuk menciptakan lingkungan yang inklusif, aman, dan saling menghormati. Kolaborasi antara sekolah, orang tua, dan siswa sangat penting dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang dapat mencegah terjadinya bullying.
Senada dengan Zezen, Mukti menyampaikan, edukasi pada multi pihak menjadi hal yang penting untuk menciptakan sekolah yang ramah anak. Sekolah harus terkoneksi antara Kepala Sekolah dengan Guru BK, para guru, wakil kesiswaan, karyawan, dan orang tua. Multi pihak di sekolah inilah yang nantinya menjadi ‘CCTV sekolah’ untuk memantau adanya perilaku bullying sehingga kasus bullying bisa segera terbaca dan diatasi di sekolah.
Penanganan Kasus Bullying di Sekolah
Kasus bullying ibarat gunung es. Banyak kasus perundungan yang tidak dilaporkan. Seringkali siswa tidak tahu harus berbuat apa dan melapor kepada siapa ketika ia mendapatkan perundungan atau melihat temannya mengalami perundungan. Oleh karena itu, menurut Mukti, sekolah harus mempunyai SOP pencegahan dan penanganan bullying.
Pengaduan kasus bullying dapat melibatkan banyak pihak di sekolah. Mukti mencontohkan, mulai dari menyampaikan aduan kepada ketua kelas yang kemudian menjadi jembatan kepada wali kelas. Dari wali kelas ditindaklanjuti ke guru BK, wakil kesiswaan, Kepala Sekolah, dan terakhir dengan orang tua.
Dengan demikian, menurut Mukti bilik aduan menjadi penting dimiliki pihak sekolah. Selain itu, bisa juga membuat kampanye-kampanye anti bullying, melalui edukasi yang menarik bagi siswa/siswi, poster, membentuk relawan, dan sebagainya.
Ketika terjadi kasus bullying, Zezen menjelaskan, tenaga pendidik dapat mengambil beberapa langkah penting. Pertama, mereka perlu menghentikan tindakan bullying segera untuk melindungi korban. Kemudian, mereka harus mendengarkan dengan empati dan memberikan dukungan kepada korban. Tenaga pendidik juga perlu mengumpulkan bukti dan melibatkan pihak sekolah, orang tua, dan siswa terkait dalam penanganan kasus. Selain itu, tenaga pendidik harus mengadakan pembicaraan yang jelas dengan pelaku untuk menyadarkan mereka akan dampak tindakan mereka dan memberikan sanksi yang sesuai. Selanjutnya, tenaga pendidik harus melibatkan seluruh komunitas sekolah dalam upaya pencegahan bullying dan memberikan pendidikan yang terus-menerus tentang pentingnya sikap saling menghormati dan toleransi. [7/23] (Salma Asyrofah)