Sejarah

Sekolah Bidan Aisjijah, Kontribusi Aisyiyah Lahirkan Tenaga Kesehatan Islam di Indonesia

Maklumat Pendirian Sekolah Bidan Aisjijah

Isu kesehatan sudah menjadi perhatian ‘Aisyiyah sejak awal. Pada 1930, misalnya, di tengah kongres Muhammadiyah ke-19 di Minangkabau, ‘Aisyiyah mengadakan Kongres Bayi yang di dalamnya berisi pemeriksaan kesehatan bayi dan penyuluhan bagi ibu tentang kesehatan anak. Tidak cukup dengan mengadakan kongres, seiring perkembangan organisasi, ‘Aisyiyah membuat gebrakan dengan mendirikan Sekolah Bidan ‘Aisjijah, sebuah wadah untuk mencetak tenaga kesehatan yang terampil dan berjiwa Islam.

Sejarah Sekolah Bidan ‘Aisjijah

Pendirian Sekolah Bidan ‘Aisjijah sudah dipikirkan matang-matang oleh para pimpinan organisasi. Muasalnya adalah kesadaran bahwa pada waktu itu masih sedikit rumah sakit, poliklinik, dan apotek yang didirikan dan dikelola oleh umat Islam. Termasuk masih minim dokter, bidan, dan perawat yang beragama Islam.

Berangkat dari kondisi tersebut, ‘Aisyiyah mulai memantapkan niat untuk mendirikan lembaga pendidikan di bidang kesehatan. Niat mulia itu terekam di Majalah Suara ‘Aisyiyah. Pada edisi Oktober 1962, wacana pendirian lembaga pendidikan di bidang kesehatan mulai disuarakan.

Artikel berjudul “Umat Islam dan Rumah Sakit” memantik kesadaran pembaca dengan menjelaskan bahwa peradaban Islam pernah melahirkan ahli di bidang kedokteran, seperti Abubakar ar-Rozi, ibn Sina, dan Abul Qasim. Artikel itu diakhiri dengan semacam tuntutan agar umat Islam bersegera untuk mendirikan dan memelihara rumah sakit, dan “membentuk kader2 tenaga kedokteran jang berdjiwa Islam”.

Baca Juga: Dakwah Kesehatan dalam Kongres Bayi Aisyiyah

Artikel tersebut mendapat tanggapan oleh Indra Sumarjati di edisi selanjutnya, November 1962. Tuntunan kepada umat Islam di Indonesia untuk mendirikan rumah sakit, menurut Indra Sumarjati, kurang tepat, sebab umat Islam sudah punya rumah sakit sendiri. Meski begitu, ia memandang bahwa artikel tersebut merupakan bentuk kegelisahan dan harapan agar rumah sakit yang didirikan umat Islam dan tenaga kesehatan yang beragama Islam lebih mendapat perhatian.

Lebih lanjut, artikel itu mengulas banyak kegunaan rumah sakit, mulai dari tempat mencari nafkah, memperdalam ilmu kesehatan, mendidik calon dokter, bidan, perawat, dan pembantu perawat. “Dan jang tidak kurang lagi pentingnja bagi kita Ummat Islam jaitu: tempat da’wah agama”.

Yang tidak kalah menarik, di edisi yang sama, dilampirkan Keputusan Musyawarah Kerja ‘Aisyiyah Ke-35 di Jakarta yang memuat anjuran agar warga ‘Aisyiyah memasukkan putra-putrinya ke rumah sakit atau asrama bidan untuk belajar ilmu kesehatan. Sebelumnya, PP ‘Aisyiyah disarankan oleh Dr. Hardjo Djojodarmo dan Dr. H. Koesnadi untuk mengadakan kursus kebidanan. Dalam Muktamar ‘Aisyiyah Ke-35 di Bandung, salah satu keputusan yang dituangkan juga soal pendirian pendidikan keperawatan.

Mulai Berdiri

Singkat kata, pada Februari 1963, sebagai tindak lanjut dari rapat tertanggal 25 Januari 1963, PP Muhammadiyah Majelis ‘Aisyiyah akhirnya membentuk Panitia Penyelenggara Asrama Sekolah Bidan. Adapun susunan panitianya adalah: Ketua I Nj. H. Alfijah Muhadi; Penulis I Nj. Hardjo Djojodarmo; Penulis II Nj. Dr. Sumasdi; Bendahara I Nj. H. Duhaikon, dan; Bendahara II Nj. H. Dirdjolesono. Tim panitia itu dibantu oleh beberapa orang, yakni: Nj. Ir. Dewi Samsi, Nj. Dra. Daricha Jasin, Nj. Muqodas, Nj. Siswosuparto, Nj. Ranuharjono, dan Nj. H. Mariam Dullahadi.

Asrama Sekolah Bidan ‘Aisjijah rencananya akan dibuka pada Agustus 1963 di Yogyakarta. Menindaklanjuti hal tersebut, PP Muhammadiyah Majelis Aisyiyah mengeluarkan Maklumat 1 Nomor 2/I-C/63 tertangggal 7 Sya’ban 1382 H/3 Januari 1963 M yang memaklumatkan kepada Pimpinan ‘Aisjijah Tjabang se-Indonesia untuk “mengirimkan anak jang akan ditugaskan beladjar”.

Maklumat tersebut juga memuat syarat siswa yang dapat diterima di Sekolah Bidan ‘Aisjijah, yaitu: pertama, warga negara Indonesia beragama Islam; kedua, berijazah SMP Negeri; ketiga, belum kawin dan tidak akan kawin selama pendidikan; keempat, berbadan sehat (dengan keterangan dokter) dan keterangan paru-paru baik dengan sinar X; kelima, berumur antara 17-25 tahun; keenam, bersedia berpakaian dinas 3 (tiga) stel; ketujuh, berkelakuan baik dengan surat keterangan Camat, dan; kedelapan, dikirim dan menjadi tanggungan Pimpinan Cabang/Daeran ‘Aisyiyah setempat.

Baca Juga: Dawiesah dalam Sejarah Pendidikan Kesehatan ‘Aisyiyah

Selanjutnya, dalam Maklumat 2 Nomor 37/I-C/63 tertanggal 7 Dzulhijjah 1382 H/1 Mei 1963 M ditambahkan beberapa informasi, baik syarat pendaftaran maupun cara melakukan pendaftaran yang belum tersampaikan sebelumnya. Selain delapan syarat yang sudah dicantumkan dalam maklumat sebelumnya, calon siswa Sekolah Bidan ‘Aisjijah disyaratkan untuk tinggal di asrama dan sesudah lulus siap bekerja untuk daerahnya selama 3 (tiga) tahun.

Adapun untuk cara pendaftaran adalah sebagai berikut: calon siswa menulis sendiri berkas pendaftaran dengan dibubuhi materai Rp3, lalu dikirim ke kantor PP Muhammadiyah Majelis Aisyiyah di jalan K.H. Ahmad Dahlan, Yogyakarta. Berkas tersebut meliputi: pertama, riwayat hidup; kedua, salinan ijazah dan nilai ujian yang disahkan oleh kepala sekolah/camat setempat; ketiga, surat keterangan berkelakuan baik dari camat; keempat, surat keterangan berbadan sehat dari dokter; kelima, dua buah pas foto ukuran 4×6, dan; keenam, pendaftaran dibukan hingga akhir Juni 1963. Biaya untuk Asrama Sekolah Bidan ini adalah Rp1500 sebulan dan Rp500 untuk uang pangkal.

Tahun pertama dibuka, Sekolah Bidan ‘Aisjijah mengumumkan ada 15 siswa yang diterima. Mereka berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Secara lebih rinci, data siswa Sekolah Bidan ‘Aisjijah angkatan pertama adalah sebagai berikut: Choirul Barijah dari Ponorogo, Wasimah dari Yogyakarta, N. S. Juningsih dari Garut, St. Farida Zakaria dari Sukabumi, St. Mariani As’ad dari Rappang Sulawesi Selatan, Darminah dari Lahat, Ida Jusnarti Jusuf dari Pringsewu, Baiq Zahruni Ulfah dari Lombok, Helma Moe’in dari Pekanbaru, St. Rachmah dari Kutoarjo, Nur Aini dari Mojokerto, Tri Nurchajati dari Ajibarang, Farida S. Dari Sumatera Barat, Supartini dari Aceh, dan Ajarni Sjam dari Batusangkar.

Kepala Sekolah Bidan ‘Aisjijah pertama adalah dr. Hardjo Djoyodarmo. Ia merupakan dokter di PKU Muhammadiyah. Ia menjabat selama satu periode kepemimpinan. Selama periode itu, Hardjo telah membangun dan menguatkan fondamen berbagai kebijakan untuk pengembangan Sekolah Bidan ‘Aisjijah.

Pendirian Sekolah Bidan Aisjijah ini merupakan momen yang bersejarah, tidak hanya bagi ‘Aisyiyah, tetapi juga bagi perempuan Islam Indonesia secara umum. Hal ini mengingat Sekolah Bidan ‘Aisjijah merupakan sekolah bidan pertama dan satu-satunya yang didirikan dan dikelola oleh umat Islam Indonesia. (siraj)

Related posts
Lensa OrganisasiSejarah

Di Mana Aisyiyah Ketika Masa Revolusi Indonesia?

Oleh: Ghifari Yuristiadhi Masyhari Makhasi* Tahun ini, Indonesia telah memasuki usia yang ke-79. Hal ini menjadi momentum untuk merefleksikan perjuangan para pendahulu…
Berita

107 Tahun Aisyiyah, Perkuat Komitmen Menjawab Berbagai Problem Kemanusiaan Semesta

Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Mengusung tema “Memperkokoh dan Memperluas Dakwah Kemanusiaan Semesta” ‘Aisyiyah  akan memperingati miladnya yang ke-107 tahun pada 19 Mei…
Berita

Tri Hastuti Dorong Warga Aisyiyah Kawal Demokrasi di Indonesia

Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Menghadapi momentum Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, banyak pertanyaan dari warga ‘Aisyiyah menyangkut pilihan dan keberpihakan ‘Aisyiyah. Sekretaris Umum…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *