Oleh: Muhammad Abid Mujaddid*
Isu kesehatan mental menjadi salah satu isu paling menarik dan mendapatkan banyak perhatian, khususnya di kalangan remaja. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan 6,2% remaja berusia 15-24 tahun mengalami depresi berat dan 10,0% mengalami gangguan mental emosional.
Data lain dari Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) 2022 menyebuatkan satu dari tiga remaja (34.9%), setara dengan 15.5 juta remaja Indonesia, memiliki satu masalah kesehatan mental.
Angka-angka ini menunjukkan tingginya kasus kesehatan mental remaja yang perlu menjadi perhatian bersama. Di tengah meningkatnya kesadaran ini, muncul fenomena yang membutuhkan perhatian, yakni self diagnosis atau mendiagnosa diri sendiri.
Fenomena Self Diagnosis
Self diagnosis pada isu kesehatan mental di kalangan remaja sudah menjadi isu kekinian yang semakin meningkat. Para remaja mencoba menerka-nerka dirinya sendiri dari informasi yang mereka dapat secara daring.
Di media sosial biasanya banyak akun yang membuat konten menguraikan ciri-ciri orang dengan gangguan mental tertentu, sehingga self diagnosis pada remaja kian meningkat.
Tidak ada yang salah jika remaja ingin memahami dirinya sendiri. Namun, saat proses dilakukan tanpa panduan yang tepat, melakukan self diagnosis justru dapat menimbulkan kekeliruan.
Rasa ingin tahu dan merasa relate dengan ciri-ciri salah satu gangguan mental tertentu, dan banjir konten yang tidak tervalidasi di sosial media menjadi kombinasi meningkatnya tren self diagnosis.
Padahal media sosial digunakan untuk berbagi informasi tentang kesehatan mental yang dapat membantu mengurangi stigma dan mendorong individu untuk mencari perawatan, bukan malah mendiagnosa diri sendiri.
Remaja merasa takut atau khawatir ketika harus melakukan pemeriksaan diri ke profesional, kekhawatiran berasal dari ketakutan menerima diagnosis berat atau takut menerima stigma tertentu karena periksa ke tenaga profesional secara langsung.
Sebagai alternatif menghadapi kemungkinan tersebut, sebagian menjatuhkan pilihan dengan mencari sendiri penjelasan melalui media sosial.
Baca Juga: Waspada Gaslighting! Bisa Jadi Ada di Sekitarmu
Data dari INAMHS 2022 menunjukkan faktanya hanya 2,6% dari remaja dengan masalah kesehatan mental yang pernah menjangkau layanan profesional terkait masalah emosi dan perilaku.
Dampak Buruk Self Diagnosis dan Pentingnya Dukungan Profesional
Self diagnosis yang tidak didasari pemahaman menyeluruh justru dapat memperburuk kondisi psikologis. Alih-alih menemukan jawaban, remaja justru menunjukkan masalah serius yang dapat memicu kecemasan dan kekhawatiran yang mendalam.
Selain itu, dampak utama mendiagnosa diri sendiri akan menciptakan kebingungan baru, individu tidak merasa yakin benar-benar memiliki gangguan yang dimaksud.
Hal tersebut dapat menimbulkan keraguan terhadap diri sendiri, stres, bahkan rasa malu yang dapat mempengaruhi persepsi diri pada interaksi sosial.
Remaja menjadi tidak yakin akan dirinya untuk melakukan sesuatu, karena hasil self diagnosis menyatakan dia mengalami gangguan tertentu yang belum tentu pasti. Ketidakpastiaan ini memperkuat perasaan yang dapat mengganggu kesehatan mental, bahkan memperburuk kondisi kesejahteraan psikologis remaja.
Kesalahan diagnosa dapat mengarah pada penanganan yang keliru. Di sinilah pentingnya literasi kesehatan mental untuk membantu individu lebih peka terhadap kondisi dirinya, sekaligus mendorong langkah bijak untuk mencari bantuan profesional.
Dengan melakukan konsultasi melalui tenaga profesional, dapat memastikan hasil diagnosa, dan penanganan yang tepat. Selain itu, penting bagi kita sebagai lingkungan pendukung untuk belajar meningkatkan empati serta menjadi pendengar bijak.
Saat seseorang di sekitar kita membutuhkan curahan tempat bercerita, kehadiran kita bukan untuk memperkeruh keadaan dengan mengiyakan kekhawatiran atas asumsi yang belum tentu benar.
*Fasilitator, Kader Muhammadiyah

