Wawasan

Sembilan Prinsip Kaderisasi Digital

Literasi Digital

Literasi DigitalOleh: Fahd Pahdepie

Digitalisasi tak mungkin dibendung. Pandemi Covid-19 mengakselerasinya menjadi keniscayaan zaman yang tak bisa ditunda lagi. Termasuk dalam hal kaderisasi di tubuh persyarikatan Muhammadiyah maupun ‘Aisyiyah, di jenjang apapun, harus relevan dengan logika dan semangat zaman ini. Zaman digital.

Mengandaikan kaderisasi kembali ke format lama, seraya berharap Covid-19 cepat berlalu, agar bisa mengerjakan kegiatan-kegiatan lapangan, kursus, workshop, atau mengumpulkan orang di pusat tertentu selama beberapa hari, melatih disiplin dengan gaya semi-militer, adalah upaya menghapus jam digital dan menggambarnya ulang menggunakan kapur!

Selain upaya yang sia-sia, mempertahankan program kaderisasi gaya ‘kemah’ dengan sistem tertutup (closed-system camp) adalah sesuatu yang sangat ketinggalan zaman, bahkan cenderung norak. Kita perlu memikirkan program kaderisasi yang ‘technology-enabled’ dengan sistem yang lebih terbuka dan berkelanjutan.

Dalam tulisan ini, saya ingin berbagi setidaknya sembilan prinsip yang harus kita adopsi untuk menyelenggarakan program kaderisasi di era digital. Sesuai apa yang disebut ‘Principle for Digital Development’ yang banyak dipakai di perusahaan dan organisasi-organisasi Internasional. Dengan memahami sembilan prinsip itu, mudah-mudahan kita bisa merumuskan kebijakan dan langkah yang tepat untuk menyusun format kaderisasi Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah ke depan.

Pertama, prinsip ‘design with user’. Program kaderisasi tidak bisa lagi dirancang dengan sistem yang bersifat patrimonial, atas-bawah. Logika hirarki vertikal tidak relevan di zaman digital. Pusat tidak bisa menentukan daerah. Senior tidak bisa lagi menyetir juniornya. Aras digital mengandaikan sesuatu yang bersifat egaliter, horizontal, berorientasi pada kenyamanan pengguna (user friendly), bukan kehendak pembuat.

Maka program kaderisasi tidak bisa dirancang dengan sistem yang mengalir dari atas ke bawah, tetapi sebaliknya dari bawah ke atas. Setiap program kaderisasi harus mendengarkan apa mau ‘user’-nya, apa yang mereka harapkan. Nilai-nilai dan prinsip organisasi harus diinjeksi kepada ‘kader’ dengan pertanyaan: Apa yang bisa organisasi ini bantu untuk mewujudkan cita-citamu? Jika jawaban itu bisa ditemukan, mereka akan menggerakkan organisasi karena melihat ada diri mereka di dalamnya.

Kedua, ‘understand the existing ecosystem’. Program kaderisasi organisasi harus terhubung juga dengan ekosistem lain yang lebih besar yang terhubung juga dengan para kadernya. Program tidak bisa bersifat isolatif atau memisahkan kader dari dunia lain. Jika kader berasal dari lingkungan olahraga, misalnya, maka materi dan nuansa perkaderan harus terhubung dengan ekosistem itu pula. Sehingga kader tidak merasa tercerabut dari dunia dan eksistensinya yang lain.

Ketiga, dirancang untuk bisa diperbesar skalanya atau ‘design for scale’. Karena sifatnya yang horizontal sebagaimana saya terangkan di poin nomor satu, maka sistem perkaderan tidak lagi bisa didiskriminasi. Materi di pusat berbeda dengan di wilayah dan di wilayah berbeda dengan di daerah, dan seterusnya. Karena pengetahuan sudah bersifat terbuka, maka transfer ilmu pengetahuan tidak boleh bersifat diskriminatif.

Tidak boleh ada prasangka bahwa orang daerah kurang bisa memahami materi dibandingkan dengan orang kota, misalnya. Yang perlu ditentukan justru bukan perbedaan materi, tetapi perbedaan skalanya. Skala implementasi pengetahuan yang sama di level daerah tentu berbeda dengan di level provinsi.

Keempat, ‘build for sustainability’, dibangun dengan memperhatikan keberlanjutan. Saya kira ini berhubungan dengan bagaimana pelaksanaan program kaderisasi haruslah tidak bersifat buntu (dead-end), tetapi bisa dilanjutkan secara terus menerus dengan kegiatan lain, oleh orang dari bidang lain. Prinsip keterhubungan program kaderisasi dengan implementasinya di luar masa kaderisasi harus sangat diperhatikan.

Kelima, ‘be data driven’. Dengan mengadopsi teknologi digital yang ada sekarang, materi, program, dan pelaksanaan kaderisasi haruslah berbasis pada data. Apa yang dibutuhkan kader di Sulawesi Utara barangkali berbeda dengan yang dibutuhkan kader di Jawa Barat dan seterusnya. Data harus menjadi basis bagi semua pembuatan keputusan terkait kaderisasi ini. Data itu diperoleh dari kebutuhan (need) dan tuntutan (demand) yang mengacu pada prinsip pertama tadi: ‘design with user’.

Baca Juga: Kaderisasi Kepemimpinan ‘Aisyiyah di Masa Depan

Keenam, ‘use open standards, open source, open innovation’. Karena setiap program harus memiliki prinsip keberlanjutan, maka karakteristiknya pun harus bersifat terbuka. Program Nasyiatul Aisyiyah harus bisa dilanjutkan Pemuda Muhammadiyah, Program IPM harus bisa di-’scale up’ oleh IMM, dan seterusnya. Seperti permainan ‘lego’ setiap program harus bisa disusun dan dihubungkan ke program lain. Pun program yang sama, harus bisa dilanjutkan atau dihubungkan pelaksanaan lanjutannya oleh pihak lain dari ortom yang lain.

Ketujuh, ‘reuse and improve’. Tidak boleh ada materi, bahan, atau produk apapun yang berhubungan dengan program bersifat sekali pakai dan dibuang. Contoh yang paling mudah untuk mengimplementasikan ini adalah ‘spanduk’ atau ‘background’ acara, jangan lagi menggunakan bahan cetak. Mulai pikirkan untuk menggunakan teknologi digital. Gunakan LED, projector, atau perangkat digital lain yang bisa ‘reuse and improve’. 100 kali mencetak spanduk bisa jadi lebih mahal dibanding sekali membeli ‘projector’.

Kedelapan, memperhatikan keamanan dan privasi, ‘address security and privacy’. Keamanan dan privasi di sini adalah soal data. Mulai gunakan teknologi untuk mengelola data para kader yang mengikuti program perkaderan, lindungi datanya dan pastikan semuanya aman. Karena di era digital, keamanan serta privasi data adalah sesuatu yang berharga. Jika kita memahami prinsip ini dengan baik, ini akan berguna bagi kita mengimplementasikan poin kelima dan keempat. Rezim data yang baik akan mempermudah kita mengadopsi teknologi ‘blockchain’ di kemudian hari. Ini teknologi masa depan.

Terakhir, kesembilan, ‘be collaborative’. Sistem terpisah sudah tidak relevan lagi di dunia digital. Semua pihak harus bisa bekerja sama dengan pihak lain, kaderisasi organisasi harus bersifat inklusif bukan eksklusif. Itulah prinsip utama kolaborasi. Mungkinkan menyelenggarakan perkaderan lintas ortom di Muhammadiyah? Lebih jauh, mungkinkah menyelenggarakan ‘cross-caderization’ bersama organisasi lain, Misalnya ‘Aisyiyah berkolaborasi dengan CSO perempuan yang lain? Jika bisa, prinsip kolaborasi ini sudah dijalankan.

Demikianlah sembilan prinsip yang perlu diadopsi dalam pengembangan digital, termasuk perkaderan di era digital. Mungkin hampir semua prinsip ini sulit untuk diimplementasikan, tetapi jika kita enggan berubah, kita akan terjebak menjadi katak dalam tempurung digital.

Digitalisasi bukanlah sekadar memindahkan workshop luring menjadi daring dengan Zoom atau Google Meet. Bukan sekadar menggunakan aplikasi atau teknologi, tetapi sungguh-sungguh mengadopsi ‘principle for digital development’ sebagaimana saya terangkan dalam sembilan poin di atas.

Saya yakin Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah bisa melakukannya. Organisasi ini sudah teruji menggerakkan zaman, menjadi pembaharu. Kini saatnya menjadi pembaharu di zaman digital. Orang sudah tidak lagi membakar kemenyan dan menyembah pohon, tetapi kejumudan ditunjukkan dengan kalimat apologetik ‘saya orang jadul yang gaptek’. Mereka harus dicerahkan!

Tabik.

Related posts
Hikmah

Ijtihad Kalender Islam Global Muhammadiyah

Oleh: Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar* Muhammadiyah adalah organisasi yang memiliki karakter progresif dan berkemajuan. Di antara karakter itu tampak dari apresiasinya terhadap…
BeritaHaji

Tokoh Muhammadiyah dan NU Sepakat Penyelenggaraan Haji Tahun Ini Lebih Baik

Jakarta, Suara ‘Aisyiyah –  Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) sepakat bahwa pelaksanaan ibadah haji 1445 H/2024 M jauh lebih baik dibandingkan tahun-tahun…
Haji

Jalin Silaturahmi, PCIM Arab Saudi Gelar Temu Jemaah Haji Muhammadiyah

Jemaah haji diminta untuk menjaga diri baik jelang Armuzna maupun saat berlangsung puncak haji. Hal tersebut disampaikan oleh Anwar Abbas, Ketua PP…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *