Qaryah Thayyibah

Semburat Matahari di Pesisir Kenjeran

Aisyiyah Kenjeran

Oleh: Ahimsa WS

Kalau hari ini kita berkunjung ke Pantai Kenjeran di Desa Sukolilo Baru, Kecamatan Bulak, Kota Surabaya, kita mungkin tidak akan membayangkan betapa berbedanya wajah destinasi wisata itu beberapa dekade lalu. Dulu, kampung ini kerap dijuluki kampung kumuh karena banyaknya sampah yang dibuang di pantai dan warganya identik dengan bau amis.

Namun, kini kampung yang mayoritas warganya merupakan nelayan telah menjelma menjadi salah satu pilihan destinasi favorit wisatawan dari berbagai tempat ketika plesiran ke Surabaya. Mulyana, pimpinan ‘Aisyiyah di lingkungan tersebut, adalah saksi dan bagian dari perubahan tersebut.

“Saya asli anak pantai, lahir, masa kecil, sampai saat ini hidup di sini,” tutur perempuan yang merupakan alumni Madrasah Mu’allimat Muhammadiyah Yogyakarta itu. Di masa ia bersekolah, sekitar tahun 1980, begitu pun sebelumnya, masih jarang orang tua di lingkungannya yang menyadari pentingnya pendidikan. Hanya beberapa tahun mencicipi bangku sekolah dasar, kebanyakan anak-anak diminta membantu orang tuanya menjemur ikan dan kerupuk tepung.

Sebagian orang mungkin menilai warga nelayan punya perangai yang keras lagi kasar. Namun, Mulyana berpendapat, bahwa pelabelan tersebut dipengaruhi oleh letak geografis, kerasnya suara ombak menuntut warga bersuara lantang. Hidup bersama para nelayan memberinya kesempatan untuk memahami budaya setempat.

Ia mengungkapkan bahwa salah satu potensi yang dimiliki masyarakat pesisir adalah sikap gotong royong. “Kalau ada warga tidak melaut atau kerja darat maka orang tua kami membagi hasil tangkapan ikan kepada warga yang tidak punya ikan untuk dimasak,” ujarnya. Pun ketika ada rencana pembangunan masjid Muhammadiyah, para warga tergerak untuk menyisihkan sebagian hasil tangkapannya disumbangkan demi pembangunan masjid.

Lulus dari Madrasah Mu’allimat tahun 1986, Mulyana turut menggerakkan pengajian Nasyiah dan ‘Aisyiyah di sekitar rumahnya. Pengajian yang sebelumnya terfokus di satu tempat, diperluas dengan menyelenggarakannya di setiap gang sesuai kondisi geografis kampung.

Tidak hanya merangkul masyarakat lewat pengajian, ia juga mendorong peningkatan ekonomi masyarakat dengan melakukan promosi hasil laut ke luar kampung. Ini mulai dilakukannya secara masif ketika ia aktif di Pimpinan Daerah Nasyiatul Aisyiyah (PDNA) Surabaya. “Kami mengundang teman-teman organisasi tingkat cabang, daerah, dan wilayah untuk mengadakan kegiatan di tempat kami dan kami sajikan makanan khas seafood dengan harga yang sangat murah,” ujarnya dengan bersemangat.

Saat ia kemudian aktif di Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah (PWA) Jawa Timur, melalui program Qaryah Thayyibah, perempuan itu juga merangkul warga kampung Sukolilo agar semakin peduli dengan penghijauan dan kebersihan lingkungan. Awalnya memang tidak mudah, warga lebih memilih menjemur ikan di sembarang tempat dan enggan diajak untuk menghijaukan lahannya. Namun, secara kreatif, Mulyana dan pimpinan ‘Aisyiyah yang lain mengemas gerakan cinta lingkungan dalam berbagai bentuk kegiatan, seperti lomba sehingga menarik minat warga. Ini menjadikan banyak anggota masyarakat perlahan-lahan tertarik dan antusias, termasuk mereka yang sebelumnya tidak akrab dengan Muhammadiyah.

Baca Juga: Perempuan dan Air Mata

Kontribusi Mulyana dalam mengembangkan kampungnya memberinya kesempatan untuk menjadi salah satu perwakilan ‘Aisyiyah bertemu dengan Walikota Surabaya yang saat itu dijabat oleh Tri Rismaharini. Ketika menyampaikan tentang pentingnya kesadaran masyarakat mengenai kebersihan di kampung nelayan yang dianggap kumuh, Mulyana menyampaikan bahwa perlu ada solusi untuk mencegah warga membuang sampah di sungai. “Alhamdulillah, oleh bu Wali direspons sehingga dibangunlah jalan bawah sungai tempat pembuangan air warga kami dan kampung-kampung di sekitarnya,” jelas Mulyana.

Bukan itu saja, di wilayah tersebut juga dibangun jalan kembar dan Jembatan Surabaya. Di tempat yang kemudian menjadi ikon wisata Pantai Kenjeran itu, Mulyana dan aktivis ‘Aisyiyah lainnya membangun “Angkringan Matahari” di Jembatan Surabaya yang dibuka tiap hari Sabtu dan Minggu.

Tidak hanya mendorong kemajuan generasi seusianya, Mulyana juga merangkul generasi muda di kampung nelayan itu. Ia dan suaminya memiliki komitmen untuk membangun taman kanak-kanak di kampung tersebut bersama para warga lainnya dengan melakukan reklamasi laut. Bila pada pagi hari bangunan TK di daratan baru itu digunakan untuk sekolah, pada malam hari mereka menggunakannya untuk mengajar TPA bersama pemuda-pemudi. Selain TK, dibangun pula kos-kosan yang digunakan oleh anggota Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM).

“Saya bersyukur kepada Allah diberi kesempatan menimba ilmu di Madrasah Mu’allimat Muhamadiyah Yogyakarta yang memberi bekal ilmu agama, ilmu umum, dan ilmu kemasyarakatan,” ungkap Mulyana. Bekal yang diperoleh dari sekolahnya itu, ungkap Mulyana, ternyata bermanfaat dalam menghadapi berbagai tantangan dakwah di desa pesisir.

Ia mampu ngemong dan memposisikan diri sebagai pendengar atas keluh kesah serta curhatan yang disampaikan warga. “Dengan kelemahlembutan, keramahan, sabar, dan telaten,” pungkasnya. Peran yang dimainkan oleh Mulyana laksana semburat matahari yang menerangi pesisir Kenjeran hari ini, terang dan hangat.

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *