Oleh: Rachmy Diana*
Setiap pasangan yang menjalani pernikahan tentu mengharapkan adanya ketentraman dalam bahtera rumah tangganya. Hal ini berkesesuaian dengan tujuan pernikahan yang terdapat dalam al-Quran dan sering menjadi kutipan dalam kartu undangan pernikahan, yaitu: “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang” (Q.S. ar-Rum: 21).
Namun gambaran ideal tentang tujuan mulia pernikahan ini acapkali dihadapkan pada kenyataan bahwa tidaklah mudah mendapatkan rumah tangga yang sesuai dengan harapan. Keutamaan menikah sebagai separuh agama, di sisi lain kalau kita renungkan, mengandung pesan bahwa di balik keutamaan itu ada tantangan dan perjuangan sangat besar yang harus dijalani agar ketentraman dan kebahagiaan dalam rumah tangga dapat terwujud menjadi kenyataan.
Satu hal yang perlu dipahami oleh setiap pasangan adalah bahwa kebersamaan mereka dalam pernikahan seharusnya menjadi wadah berhimpunnya kebaikan. Dengan begitu, masing-masing pihak akan selalu berupaya untuk menumbuhkan kebaikan-kebaikan satu sama lain agar menjadi sebuah kekuatan bersama dalam menghadapi berbagai ujian dalam rumah tangga.
Setiap pasangan perlu menyadari bahwa mereka berasal dari latar belakang yang berbeda serta memiliki karakter dan kebiasaan-kebiasaan yang berbeda pula. Adanya ragam perbedaan yang muncul tentu sangat membutuhkan penyesuaian diri dalam pernikahan. Para ahli menyebutnya sebagai fase krusial, khususnya pada lima tahun pertama pernikahan, yang akan menguji ketangguhan pasangan untuk saling memahami dan beradaptasi dengan perbedaan masing-masing.
Baca Juga: Dilema Perkawinan Belum Tercatat dalam Kartu Keluarga: Maslahat atau Madharat?
Konselor pernikahan Rumah Konseling yang juga dosen Psikologi UMBJ, Muhammad Iqbal mengibaratkan bahwa kita itu menikah dengan pasangan, bukan dengan kembaran. Ibarat sepasang sepatu, kanan dan kiri tentu berbeda, namun bisa melangkah seiring sejalan. Perbedaan-perbedaan di antara pasangan adalah suatu keniscayaan yang tak terelakkan. Dalam hal ini, tidak harus segala sesuatunya disamakan seperti layaknya saudara kembar yang banyak memiliki kemiripan.
Keluarga yang bahagia tentunya bukan keluarga yang tidak pernah mengalami konflik di antara anggotanya. Dalam hal ini, kebahagiaan terletak pada kualitas interaksi yang terjadi dalam keluarga. Konflik sebenarnya bukan sesuatu yang harus dihindari, meskipun demikian perlu dikelola dengan baik. Jikapun harus terjadi konflik tentu harus dihadapi dan dicarikan solusi.
Kenyataannya, ragam perbedaan yang muncul seringkali menjadi bibit konflik manakala kedua pihak gagal menyikapi secara bijak. Mari kita pahami secara lebih jelas bagaimana agar setiap konflik yang terjadi dalam perjalanan pernikahan menjadi bumbu yang diracik secara tepat dan lezat, bukan bumbu yang sangat asin, terlalu manis, atau bahkan teramat pedas, sehingga tidak lagi bisa dinikmati.
Pengertian konflik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai perselisihan, pertentangan, dan ketegangan di antara pihak yang bertikai. Sementara itu, Finchman (1999) mendefinisikan konflik perkawinan sebagai keadaan suami istri yang sedang menghadapi masalah dalam perkawinan. Hal tersebut nampak dalam perilaku mereka yang cenderung kurang harmonis ketika sedang menghadapi konflik.
Perselisihan dan pertentangan yang notabene merupakan bagian dari konflik tersebut merupakan sesuatu yang terkadang tidak bisa dihindari. Hal ini karena dalam suatu perkawinan terdapat penyatuan dua pribadi yang unik dengan membawa sistem keyakinan masing-masing berdasar latar belakang budaya serta pengalaman yang berbeda-beda (Dewi dan Basti, 2008).
Berikut adalah beberapa catatan dalam pengelolaan konflik rumah tangga yang perlu diperhatikan oleh setiap pasangan, baik dalam posisi suami maupun istri. Pertama, bangun kesadaran bahwa setiap pernikahan akan mendapatkan ujian, salah satunya melalui timbulnya konflik. Memaknai konflik sebagai suatu ujian akan mendorong seseorang untuk lebih bisa menerima dengan kesadaran dan kesabaran.
Allah swt. berfirman (yang artinya), “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar” (Q.S. al-Baqarah: 155). Seperti ujian hidup pada umumnya, tentu konflik yang kita hadapi bersifat sementara, datang silih berganti, sudah tertakar dan tak akan tertukar. Tugas kita adalah berupaya agar konflik tidak membesar dan mencari solusi tepat dan adil untuk kedua pihak.
Kedua, mengingat komitmen awal dan menemukan niat terbaik dalam pernikahan. Dalam beberapa kasus, konflik rumah tangga yang berakhir tragis kadangkala disebabkan oleh terputusnya komitmen yang sudah dibangun sejak awal. Niat terbaik untuk menjadikan pernikahan sebagai sajadah panjang dalam beribadah dan mencari ridha Allah seakan pupus dan lebih mengedepankan kondisi emosi yang yang sifatnya temporal dan situasional. Oleh karenanya, saling mengingatkan komitmen bersama dan menemukan niat terbaik menjadi penting untuk dihadirkan dalam situasi yang penuh tekanan.
Ketiga, alihkan fokus pada kebaikan dan pengorbanan pasangan sepanjang perjalanan pernikahan. Dalam suasana penuh konflik, orang cenderung subyektif dan kurang berimbang dalam melihat pihak lain, baik sebagai istri maupun suami. Perhatian hanya terfokus pada apa yang tidak sesuai harapan serta mempertajam perbedaan atau kekurangan.
Akhirnya, suami atau istri lupa bahwa saat pertama mereka memutuskan untuk hidup bersama, tentunya berdasarkan adanya kecocokan dan keyakinan bahwa pasangan saat ini adalah yang terbaik yang Allah berikan. Allah berfirman dalam al-Quran (yang artinya), “boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (Q.S. al-Baqarah: 216).
Keempat, siap bersama dan bekerja sama dalam segala suasana. Penting untuk dipahami bahwa kebersamaan dan kerja sama dengan pasangan tidak hanya dilakukan dalam suasana penuh ketenangan dan kebahagiaan, namun juga dalam situasi penuh ketegangan dan kekecewaan . Tugas suami dan istri adalah mensinergikan kekuatan yang dimiliki untuk dapat menyelesaikan setiap masalah yang datang.
Allah swt. berfirman dalam al-Quran (yang artinya), “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan salat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Q.S. at-Taubah: 71).
Baca Juga: Perbedaan Pola Asuh dalam Keluarga
Kelima, kendalikan diri dan kelola emosi agar tidak merugi. Setiap pasangan perlu memiliki dan mengasah kemampuan mengendalikan diri dan mengelola pikiran serta emosi agar tidak memperburuk konflik yang terjadi. Allah swt. berfirman (yang artinya), “(yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan” (Q.S. Ali Imran: 34). Pengendalian diri terhadap pikiran, perasaan dan tindakan sangat penting, terutama untuk mendinginkan suasana agar mampu berpikir jernih dan mencari solusi terbaik.
Keenam, menjaga lisan dari mengatakan hal atau sesuatu yang buruk. Berhati-hatilah dalam berkata-kata. Setiap pasangan yang berkonflik perlu mengedepankan kelembutan agar suasana tetap kondusif dan solutif. Allah swt. berfirman, “Maka berkat rahmat Allah, engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu” (Q.S. Ali Imran: 159). Pepatah mengatakan bahwa akibat lisan bisa lebih tajam daripada pisau. Hati yang terluka karena tajamnya lisan lebih sulit untuk disembuhkan dan tentunya hanya akan membuat hubungan semakin jauh.
Ketujuh, membuat kesepakatan terkait cara menyelesaikan konflik sebagai bagian dari mu’asyarah bil ma’ruf. Mu’asyarah bil ma’ruf dimaknai sebagai suatu konsep kesalingan dan kerja sama yang utuh antara suami dan istri untuk menghadirkan setiap perbuatan baik dalam interaksinya yang dilandasi saling mengenal dan memahami, termasuk di dalamnya saling memberikan kenyamanan (Riswandi, 2022).
Membuat kesepakatan dengan pasangan dalam penyelesaian konflik yang mungkin muncul adalah salah satu bentuk kesalingan antar pasangan agar dicapai kondisi nyaman bagi semua pihak. Apapun jenis konfliknya, alangkah baik jika setiap pasangan berpikir bahwa konflik tidak boleh berlarut-larut dan harus diselesaikan dengan cara yang tepat. Kesepakatan tentang cara mengurai ketegangan adalah hal yang sangat penting.
Kedelapan, tidak mengambil keputusan besar dalam situasi penuh konflik. Lazimnya, situasi yang penuh ketegangan akibat konflik akan cukup banyak menguras emosi negatif dan kepenatan pikiran. Tentunya, kondisi seperti ini bukan saat yang ideal untuk mengambil keputusan besar. Ambillah jeda sejenak untuk mengambil jarak dari situasi konflik agar hati dan pikiran lebih tenang dan terang. Ada saat di mana manusia merasakan ketidakberdayaan. Dalam hal ini, Allah adalah tempat mengadu dan memohon petunjuk terbaik agar tidak salah dalam mengambil keputusan.
Terakhir, kenali kapan harus meminta bantuan. Dalam situasi yang tidak terkendali dan mengalami kebuntuan, jangan ragu untuk meminta bantuan. Boleh jadi, situasi yang dihadapi memang sudah sangat darurat sehingga perlu melibatkan pihak yang kompeten sebagai mediator dalam penyelesaian konflik. Allah swt. berfirman, “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (Q.S. an-Nisa’: 35).
Dari apa yang telah disampaikan dalam tulisan ini, kita dapat melihat bahwa mengelola konflik adalah suatu tindakan aktif yang harus melibatkan kesadaran, kesediaan, dan kesungguhan untuk menjadikan konflik sebagai sarana belajar mengendalikan diri dan mencari solusi. Konflik bukan relasi tentang benar-salah atau menang-kalah di antara pihak-pihak yang bertikai. Seni mengelola konflik adalah sebuah upaya sadar agar konflik yang cenderung menimbulkan emosi negatif tetap dijalani dengan pikiran dan tindakan positif, serta membuat individu terus bertumbuh lebih dewasa. Seni mengelola konflik juga sebuah strategi agar situasi penuh ketegangan yang muncul akibat konflik dapat disikapi dengan ketenangan.
Layaknya sebuah seni yang identik dengan keindahan, ketidaksesuaian antara harapan dengan kenyataan, perbedaan pandangan, atau apapun yang menjadi sebab sebuah konflik perlu dikelola agar menjadi suatu harmoni yang indah pada akhirnya.
Wallahu a’lam bisshawwab
*Dosen prodi Psikologi FISHUM UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta