Muda

Seni untuk Berusaha Bodo Amat

Sc: Folkative
Sc: Folkative

Sc: Folkative

Oleh: Dede Dwi Kurniasih*

Jika diamati, “nyinyiran” seseorang terhadap orang lain akan terus ada sepanjang manusia berproses dalam hidupnya. Misalnya, saat kita kuliah, kita mungkin akan menghadapi pertanyaan sekaligus pernyataan seperti, “Kamu sudah lulus ya? Kok belum kerja sih?”

Kalau membandingkan pencapaian kita dengan orang lain pasti tidak akan ada habisnya. Mulai dari pernikahan tetangga yang mewah, atau anak tetangga yang sudah bekerja di perusahaan internasional, sampai banyak pertanyaan seperti “Kapan beli mobil? Kapan nikah? Kapan tambah anak?” dan lain sebagainya.

Pertanyaan ini membuat kita bertanya-tanya: Mengapa banyak orang suka nyinyir dan membandingkan dengan orang lain, bahkan menginvasi kita dengan pertanyaan tentang kehidupan yang sebenarnya tidak relevan. Bukankah semua orang berbeda? Apakah salah jika kita punya per- sona yang berbeda dari kebanyakan sudut pandang dan kebiasaan masyarakat pada umumnya?

Sobat Muda, kali ini kita akan membicarakan cara pandang dan strategi yang bisa kita lakukan agar mampu bodo amat saat mengalami situasi ini. Kita tidak bisa mengendalikan pikiran dan perilaku orang lain sehingga ketika mendapatkan pertanyaan yang membuat kita tidak nyaman seperti di atas, kita bisa menjawabnya dengan candaan. Sisanya, kita bisa fokus mengendalikan diri kita.

Baca Juga: Berani Bermimpi, Bijak Berharap: Kunci Sukses Mengelola Harapan 

Hal pertama yang bisa kita lakukan adalah menanamkan cara pandang yang sering disampaikan oleh motivator, bahwa dunia ini tidak hitam putih. Bahkan ada hal kontradiktif yang acapkali terjadi di luar kendali manusia. Misal, lulus kuliahnya lama tapi tetap bisa bekerja nantinya. Atau, bukan hal yg salah jika setelah menikah belum juga dikaruniai anak, atau bahkan menundanya karena berbagai alasan dan faktor. Ingat, dunia tidak hitam putih.

Sangat tidak apa-apa kalau memang kita menginginkan hal itu. Tidak ada yang salah dan benar atas pilihan hidup kita menurut orang lain. Semakin dewasa, kita akan paham bahwa sesuatu benar-benar tergantung dari konteksnya. Bahwa apa yang baik di suatu negara belum tentu baik untuk semua.

Seperti disampaikan oleh Adrian Tan, seorang pengacara Singapura, yang videonya sempat viral beberapa waktu lalu. Pada pidato kelulusannya di tahun 2008, sebagai lulusan terbaik menyampaikan bahwa hal terbaik yang bisa dilakukan itu bukan menjadi warna yang disukai orang tapi justru untuk menjadi orang yang tidak takut dibenci oleh orang lain. Mungkin cukup kontradiktif dengan ajaran orang tua kita. Tapi, jika kita melihat kembali para pendahulu kita yang menjadi sosok inspiratif, menjadi berani berbeda dan bahkan dibenci adalah modal penting untuk melakukan perubahan. [9/24]

*PP Nasyiatul Aisyiyah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *