Wawasan

Senja Penuh Cahaya: Menjamin Hak dan Martabat Lansia

Oleh: Hana Mufidatul Roidah*

Indonesia tengah memasuki fase baru demografi. Setelah beberapa tahun terakhir sibuk membicarakan bonus demografi usia produktif, kini bangsa ini juga harus bersiap menyambut meningkatnya jumlah penduduk lanjut usia (lansia).

Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2024 mencatat, proporsi penduduk berusia 60 tahun ke atas mencapai 12 persen dari total populasi, dengan rasio ketergantungan lansia sekitar 17,08.

Prediksi Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) menyebutkan bahwa pada 2045, angkanya bisa mencapai 20 persen, atau satu dari lima penduduk Indonesia adalah lansia.

Fenomena ini membawa pertanyaan besar: Apakah kita siap memastikan bahwa masa senja tidak identik dengan sakit-sakitan, kesepian, atau keterpinggiran? Atau sebaliknya, menjadi fase yang penuh cahaya, bermakna, dan bermartabat?

Dalam ajaran Islam, memuliakan orang tua dan lansia adalah perintah yang jelas. Allah SWT berfirman: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau keduanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.” (QS. Al-Isrā’ [17]: 23)

Nabi Muhammad SAW juga bersabda: “Sesungguhnya termasuk pengagungan kepada Allah adalah menghormati orang tua yang muslim, penghafal Al-Qur’an yang tidak berlebihan dalam mengamalkannya, serta pemimpin yang adil.” (Hr. Abu Dawud).

Dari sini jelas bahwa lansia bukan hanya perlu dijaga kehidupannya, tetapi juga dimuliakan martabatnya.

Kesehatan sebagai Fondasi Kehidupan Bermakna

Kesehatan adalah kunci utama agar lansia dapat menikmati masa tuanya. Namun, tantangan terbesar justru datang dari penyakit tidak menular (PTM) seperti hipertensi, stroke, diabetes, hingga jantung. Menurut Kementerian Kesehatan RI (2023), PTM menjadi penyebab utama kematian dan kesakitan pada kelompok lansia.

Solusi paling sederhana adalah pencegahan. Pemeriksaan kesehatan rutin (skrining) harus diperluas, terutama di layanan primer seperti puskesmas. Pemeriksaan tekanan darah, kadar gula, kolesterol, hingga deteksi dini demensia sebaiknya dilakukan secara berkala. Tidak sedikit lansia yang enggan memeriksakan diri karena merasa sehat, padahal banyak penyakit muncul tanpa gejala.

Selain layanan medis, gaya hidup sehat juga sangat penting. Lansia bisa tetap aktif dengan olahraga ringan seperti jalan kaki, bersepeda santai, atau senam lansia yang kini mulai banyak dilakukan di desa maupun kota. Pola makan pun perlu diperhatikan: perbanyak sayur, buah, makanan tinggi serat, serta kurangi gula dan garam.

Tak kalah penting adalah kesehatan mental. Banyak lansia merasa kesepian setelah ditinggal pasangan hidup atau ketika anak-anak sibuk dengan urusan masing-masing. Padahal, keterlibatan sosial terbukti sangat bermanfaat.

WHO (2022) mencatat bahwa partisipasi sosial dapat menurunkan risiko depresi hingga 30 persen. Maka, komunitas, pengajian, arisan, atau sekadar ngobrol dengan tetangga bisa menjadi terapi alami yang murah dan efektif.

Lansia yang sehat baik fisik maupun mental akan mampu menjalani hidup dengan penuh syukur, semangat, dan makna.

Menjamin Kemandirian Ekonomi Lansia

Martabat sering kali erat kaitannya dengan kemandirian ekonomi. Sayangnya, banyak lansia Indonesia masih bergantung penuh pada anak atau bantuan sosial.

Menurut survei Bank Dunia (2023), hanya sebagian kecil lansia yang memiliki tabungan atau jaminan pensiun yang cukup. Kondisi ini sering membuat mereka merasa menjadi “beban”.

Untuk mengatasi hal ini, pemerintah sebenarnya telah meluncurkan beberapa program, seperti Asistensi Sosial Lanjut Usia Terlantar (ASLUT) oleh Kementerian Sosial RI pada 2023.

Baca Juga: Kesejahteraan Lansia: Negara Harus Hadir

Program ini membantu ribuan lansia yang tidak memiliki keluarga atau penghasilan tetap. Namun, cakupannya masih perlu diperluas agar tidak ada lansia yang tertinggal.

Di sisi lain, peluang pemberdayaan juga terbuka. Banyak lansia masih mampu bekerja ringan, misalnya membuat kerajinan, mengelola warung kecil, atau bercocok tanam di pekarangan.

Dukungan keluarga dalam bentuk usaha lintas generasi juga bisa memberi ruang bagi lansia untuk tetap berdaya. Misalnya, orang tua membuat kue, anak memasarkan lewat media sosial, cucu membantu pengemasan. Dengan begitu, lansia tetap produktif sekaligus merasa dihargai.

Tak kalah penting adalah menanamkan literasi keuangan sejak muda. Menabung, berinvestasi, dan mempersiapkan dana pensiun sebaiknya diajarkan sejak dini. Sebab, masa tua yang sejahtera sejatinya dimulai dari perencanaan saat muda.

Penghormatan Sosial dan Perlindungan Hak

Selain kesehatan dan ekonomi, hal yang sangat penting adalah penghormatan sosial. Lansia bukan beban, melainkan aset bangsa. Namun, faktanya masih ada praktik diskriminasi usia (ageism), pengabaian, bahkan kekerasan terhadap lansia.

Survei HelpAge International (2022) menunjukkan, stigma “lansia sebagai beban” masih banyak ditemui di Asia, termasuk Indonesia.

Untuk itu, kebijakan ramah lansia harus benar-benar dijalankan. Mulai dari transportasi umum yang nyaman, ruang terbuka hijau yang aman, hingga pelayanan kesehatan yang mudah diakses. Semua fasilitas publik seharusnya mempertimbangkan kebutuhan lansia.

Selain kebijakan, penegakan hukum juga perlu ditegakkan. Kasus kekerasan, pengabaian, atau penelantaran lansia harus ditindak tegas.

Di tingkat keluarga dan masyarakat, pendidikan nilai sangat penting. Rasulullah SAW bersabda: “Bukanlah termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi anak kecil dan tidak menghormati orang tua.” (Hr. Tirmidzi). Artinya, sikap hormat kepada lansia adalah ukuran peradaban suatu masyarakat.

Organisasi masyarakat, lembaga keagamaan, dan komunitas lokal dapat mengambil peran besar, misalnya dengan program kunjungan lansia, pendampingan spiritual, atau sekadar ruang berkumpul untuk berbagi cerita. Dengan demikian, lansia tidak merasa sendirian, tetapi menjadi bagian penting dalam kehidupan sosial.

“Senja penuh cahaya” adalah cita-cita bersama agar masa tua tidak identik dengan penderitaan, melainkan fase penuh hikmah, cahaya, dan martabat. Lansia adalah orang-orang yang telah menorehkan pengabdian panjang di masa mudanya.

Dengan memperkuat layanan kesehatan, menjamin kemandirian ekonomi, serta menegakkan penghormatan sosial, kita bisa memastikan mereka menapaki masa senja dengan bermartabat.

Nilai-nilai agama, dukungan keluarga, kebijakan pemerintah, dan peran komunitas harus saling bersinergi untuk membangun masyarakat yang ramah lansia.

Pada akhirnya, menghormati lansia bukan hanya kewajiban agama atau norma sosial. Lebih dari itu, ia adalah cermin masa depan kita sendiri. Karena apa yang kita lakukan hari ini untuk lansia, suatu saat akan kita rasakan ketika tiba giliran menjalani masa senja.

*Mahasiswa Ilkom UNISA Yogyakarta dan Jurnalis Magang Suara ‘Aisyiyah

Related posts
Wawasan

Pantri Wreda, Pilihan Dilematis bagi Lansia

Mbok lyem, begitu ia biasa dipanggil, menyapa setiap pejalan kaki yang lewat di depan kamarnya dengan sapaan ramah, “Monggo, Mas… Monggo, Bu…”….
Wawasan

Bahagia di Usia Lanjut (Senior Citizen)

Usia lanjut (usia 60 ke atas menurut UU Nomer 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia) bukanlah sekadar waktu menunggu berakhirnya hidup, melainkan…
Wawasan

Kesejahteraan Lansia: Negara Harus Hadir

Kecenderungan demografi di Indonesia menunjukkan arah meningkatnya jumlah lansia (lanjut usia) secara signifikan. Merujuk pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998, yang disebut…

2 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *