Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Dalam pandangan masyarakat awam, ada yang beranggapan bahwa Muhammadiyah adalah organisasi keagamaan yang anti terhadap shalawat. Sementara faktanya, di lapangan terdapat berbagai tabligh akbar bertajuk shalawat yang diadakan salah satu pimpinan cabang Muhammadiyah.
Homaidi Hamid menjelaskan dalam Pengajian Tarjih Muhammadiyah pada edisi Rabu (20/10), bahwa hukum membaca shalawat dalam perspektif Muhammadaiyah yakni “wajib” di dalam salat, dan “sunnah” di luar salat. Di dalam al-Quran dan hadist juga terdapat anjuran untuk bershalawat kepada Nabi Muhammad saw.
Di dalam salat, Homaidi menjelaskan bahwa bacaan shalawat harus sesuai dengan yang dituntunkan Rasulullah saw. “Shalawat yang dicontoh oleh Rasul itu bervariasi. Bahkan dalam kitab hadist Bukhari saja ada beberapa variasi. Di dalam hadist Muslim juga ada beberapa variasi. Yang penting, yang kita pilih itu adalah shalawat yang dicontohkan oleh Rasulullah saw.”
Baca Juga: Peran Dakwah Aisyiyah di Era Digital
Menurut Homaidi, dalam pandangan Muhammadiyah, tidak ada penambahan kata “sayyidina” pada bacaan shalawat yang diucapakan saat salat, sebab tidak penambahan tersebut tidak terdapat dalam as-sunnah al-maqbullah. Hal ini, lanjutnya, hanya berlaku dalam konteks salat saja Sementara di luar salat boleh ditambahkan lafal “sayyidina” pada bacaan shalawat.
Bacaan shalawat di luar salat, menurutnya, boleh menggunakan variasi shalawat yang ada, selama tidak melebih-lebihkan, misalnya sampai menempatkan Rasul dengan sifat-sifat Tuhan. Karena pada dasarnya, shalawat itu merupakan lantunan doa kepada Nabi Muhammad saw. Homaidi mengatakan, bacaan shalawat yang paling baik yaitu lafal shalawat yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. kepada para sahabat sebagaimana terdapat dalam hadist. (miqdad)