Kalam

Sifat-Sifat Hati yang Membahayakan

sifat hati yang membahayakan
sifat hati yang membahayakan

sifat hati yang membahayakan

Oleh: Yusuf A. Hasan

Di antara beberapa doa Nabi Ibrahim as., satu di antaranya terkandung dalam firman Allah swt. berikut: janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan. (Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih” (QS. asy-Syu’ara [26]: 87-89).

Doa Nabi Ibrahim di atas mengandung tiga hal penting. Pertama, permohonan Nabi Ibrahim agar Allah tidak menghina beliau pada kelak di akhirat. Kedua, bahwa kelak di akhirat seluruh harta dan anak-cucu tidak sedikit pun bermanfaat. Ketiga, kebersihan hati merupakan pangkal atau sebab diperolehnya keselamatan di akhirat; bahwa jaminan keselamatan hanya diberikan oleh Allah swt. kepada orang yang datang menghadap Allah dengan qalbun salim

Apa itu qalbun salim ?

Pertama, qalbun salim berarti salamatul qalb ‘anisy syirk awil aqa’id al-fasidah (selamatnya hati dari syirik atau kepercayaan-kepercayaan yang sesat). Qalbun salim berarti hati yang memiliki akidah yang benar, lurus, serta bebas dari segala bentuk kemusyrikan.

Kedua, qalbun salim berarti salim min amradhil qulub, yakni bersih dari penyakit-penyakit hati. Ketiga, qalbun salim adalah hati yang sehat dan memiliki kesempurnaan serta kekuatan mendorong pemiliknya melakukan apa yang menjadi tugas dan fungsinya sesuai maksud penciptaan. Dalam hal ini fungsi hati yang paling utama adalah mengenal Allah (keimanan) lalu menggerakkan si pemilik hati untuk mewujudkan keimanannya itu dalam sikap-perilaku konkret dalam kehidupan sehari-hari.

Qalbun salim adalah hati yang memiliki spiritualitas sangat tinggi dan oleh karenanya sangat peka terhadap Asma Allah dan bacaan ayat-ayat al-Quran sebagaimana terkandung dalam firman Allah berikut: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati (kalbu) mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal” (QS. al-Anfal [8]: 2).

Baca Juga: Tiga Metode untuk Memperkokoh Iman

Qalbun salim menjadi pangkal kebaikan dan pendorong amal saleh. Pada doa Nabi Ibrahim as., di atas hanya hatilah yang disebut sebagai pangkal keselamatan di akhirat, bukan anggota badan yang lain. Menurut Imam al-Razi, hal itu menunjukkan bahwa apabila hati sehat, seluruh anggota badan yang lain ikut sehat. Sebaliknya, kalau lidah (kata-kata) dan anggota badan lain (perbuatan) tak sehat, sudah bisa dipastikan semua itu berpangkal pada hati yang tidak sehat atau berpenyakit (qalbun maridh), atau bahkan hati yang telah mati (qalbun mayyit).

Menurut sebagian ulama, ciri-ciri umum qalbun maridh (hati berpenyakitan) adalah hati yang mengidap penyakit-penyakit hati seperti bohong, pamer, merasa diri paling hebat, dengki/iri, buruk sangka (su’udzan), pemarah, pendendam, memutus silaturahmi; pokoknya dipenuhi oleh nafsu-nafsu buruk. Sedangkan tanda-tanda qalbun mayyit (hati yang telah beku atau mati) antara lain menolak akidah yang benar, syirik/musyrik, kafir, mengingkari nikmat Allah, serta mendorong timbulnya amalan-amalan yang keluar dari syari’at.

Namun di dalam al-Quran, hati yang berpenyakitan disebut dengan istilah qalbun maradh bukan qalbun maridh. Menurut al-Quran pula, kata maridh identik dengan sakit yang bersifat fisik. Lihatlah “semboyan” RS PKU Muhammadiyah: “Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku” (QS. asy-Syuaraa [26]: 80).

Sedangkan kata maradh menunjukkan sakit yang bersifat mental. Inilah hati yang di dalam al-Quran disebut dengan hati yang dihinggapi penyakit nifaq atau munafik. Allah berfirman di dalam Surat al-Baqarah ayat 10: “Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah menambah penyakitnya itu; mereka mendapat siksa yang pedih, karena mereka berdusta”.

Mengenai hati munafik ini Allah swt. melukiskan sebagai berikut: Mereka tuli, bisu, dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar). Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati. Dan Allah meliputi orang-orang yang kafir. Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti. Jikalau menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah maha kuasa atas segala sesuatu (QS. al-Baqarah [2]: 18-20).

Baca Juga: Memahami Dialektika Keimanan dalam Visi Tauhid

Sebelum menjelaskan qalbun maradh atau hati yang sakit (karena mengidap penyakit nifak/munafik) tersebut, di dalam QS. al-Baqarah ayat 6-7 Allah menerangkan hati yang lain, yaitu hati yang kufur/kuffar. Perhatikan ayat berikut: “Sesungguhnya orangorang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman. Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, penglihatan mereka ditutup, dan bagi mereka siksa yang sangat berat”.

“Hati dan pendengaran mereka telah terkunci mati” artinya bahwa orang-orang kafir itu tidak dapat menerima petunjuk, dan segala macam nasehat tidak akan berbekas kepadanya disebabkan kekafiran dan kerasnya hati mereka setelah nampak kebenaran bagi mereka. Oleh karena itu, Allah tidak memberi mereka taufiq untuk mengikuti petunjuk itu.

“Penglihatan mereka ditutup” maksudnya adalah orang-orang kafir itu tidak dapat memperhatikan dan memahami ayat-ayat al-Quran yang mereka dengar dan tidak dapat mengambil pelajaran dari tanda-tanda kebesaran Allah yang mereka lihat di cakrawala, di permukaan bumi dan pada diri mereka sendiri. Sarana-sarana untuk memperoleh petunjuk dan kebaikan telah ditutup bagi mereka. Ini merupakan hukuman yang disegerakan dan hukuman yang akan datang kepada mereka adalah azab yang sangat pedih berupa azab neraka dan kemurkaan Allah swt.

Di bagian lain dari al-Quran dikisahkan perihal Kaum Bani Israel yang memiliki kecenderungan kuat untuk membandel dan membangkang terhadap perintah-perintah Allah. Betapa pun kekuasaan Allah sangat-amat besar, tetapi bukti-bukti nyata yang ditunjukkan oleh Allah melalui mukjizat-mukjizat-Nya tiada mampu membuka hati mereka untuk menerima hidayah lantaran sudah terlanjur membatu. “Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal di antara batu-batu itu ada sungaisungai yang (airnya) memancar daripadanya. Ada pula yang terbelah lalu keluarlah mata air daripadanya, dan ada pula yang meluncur jatuh karena takut kepada Allah. Allah tidaklah lengah terhadap apa yang kamu kerjakan” (QS. al-Baqarah [2]: 74).

Selain menunjukkan keadaan hati yang terkunci mati, hati yang menderita sakit (maradh) dan hati yang membatu (qasyah), al-Quran juga menunjukkan kepada kita istilah ar-raan (hati yang tertutup rapat-rapat). Perhatikan ayat 14 Surat al-Muthaffifiin berikut: “Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka”.

Menggarisbawahi ayat di atas, dalam sebuah hadis, Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya bila seseorang hamba melakukan kesalahan, berarti dia telah menitikkan sebuah titik hitam di dalam hatinya. Bila ia menghapus titik hitam itu, beristighfar dan bertobat, maka hatinya kembali berkilau. Namun bila ia menambah terus titik hitam itu sampai hatinya kelam, inilah yang disebut ar-raan….”

Para ulama tafsir kemudian mengkaji dan memperbincangkan lebih lanjut makna ar-raan tersebut. Paling tidak terdapat empat makna ar-raan hasil perenungan para ulama: (a) Ar-raan adalah hati yang terpenjara oleh kesalahan dan dosa yang diperbuat oleh yang bersangkutan; (b) Ar-raan adalah hati tergembok rapat-rapat sehingga tidak dapat terbuka dan menerima kebaikan-kebaikan melalui petunjuk-petunjuk yang datang diberikan kepadanya; (c) Ar-raan adalah hati yang telah aus atau karatan akibat dari kesalahan dan dosa yang menyelimuti seluruh permukaan dan kedalaman hatinya; (d) Ar-raan adalah hati yang telah dirampas oleh kesalahan dan dosa, persis seperti kematian yang merampas kehidupan, atau persis dengan akal sehat yang dirampas oleh minuman keras.

Dari pengenalan kita atas beberapa sifat hati yang membahayakan di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap orang yang beriman wajib merawat hati masing-masing. Dalam skala kecil, misalnya dalam lingkup keluarga, pendidikan hati merupakan upaya penting yang tidak boleh diabaikan. Apalagi terhadap anak, pendidikan hati merupakan azas kehidupan mereka sebelum mereka disentuh dengan muatan pendidikan selainnya. Anak-anak adalah aset dan generasi pewaris masa depan.

Oleh karena pendidikan anak sejak dini melalui kebiasaan dan pelatihan hidup disertai keteladanan orang tua amat-sangatlah penting. Anak-anak harus dididik dan diberi contoh konkret mengenai iman kepada Allah dengan sebenar-benar keimanan, yakni mentauhidkan-Nya.

Related posts
Tokoh

Aisyah al-Ba’uniyah: Ulama Perempuan yang Seharusnya Dikenal Dunia

Oleh: Farid Aditya* Pembahasan kembali sejarah tasawuf selalu melibatkan tokoh ulama di dalamnya, terutama ulama laki-laki. Misalnya, Imam Ghazali, Ibnu Arabi, al-Qushayri,…
Hikmah

Berlebih-lebihan dalam Beragama menurut Al-Quran

Oleh: Muhammad Chirzin* Allah swt. menurunkan petunjuk, kebenaran, dan cahaya terang benderang bagi kehidupan umat manusia sepanjang masa. Setiap orang yang berpegang…
Berita

Faturrahman Kamal: Islam adalah Agama Fitrah

Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Majelis Tabligh PP Muhammadiyah menggelar Pengajian Malam Selasa mengangkat tema “Aqidah Sebebagai Asas Pandangan Hidup Seorang Muslim”. Pengajian…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *