Sosial Budaya

Sikap Wasaṭiyyah dalam Masyarakat Majemuk

Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat yang adil, dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.”

(Q.S. al-Baqarah [2]: 143)

Sebuah keprihatinan yang mendalam apabila di negeri yang sudah 74 tahun merdeka ini masih banyak terjadi pertikaian antar-suku, antar-agama, bahkan antar-pihak yang seagama  tetapi memiliki paham yang berbeda. Setiap orang yang terlahir di Indonesia, tentu menyadari bahwa ia berada di lingkungan yang heterogen dalam segalanya, termasuk agama yang tidak tunggal, bahkan peninggalan kepercayaan animisme dan dinamisme pun di masyarakat tertentu masih lekat.

Fenomena keberagamaan yang multi-dimensional ini terdiri atas dimensi keimanan, komitmen, ritual, dan sosial. Hal tersebut memunculkan ekspresi budaya yang berbeda-beda pula. Dalam kondisi dan situasi masyarakat seperti itu, seorang muslim dituntut mampu menghargai keragaman dan perbedaan dengan berjuang secara terus menerus untuk mencerahkan kehidupan umat dan bangsa. Muslim harus mampu bergaul  dengan siapa pun dan  mampu melakukan banyak hal, yaitu mencerdaskan dan memajukan kehidupan bangsa, berupaya maksimal untuk kesejahteraan masyarakat, serta memperjuangkan kepentingan bersama yang berkeadilan.

Fenomena dalam Pemahaman Agama

Uraian berikut merupakan ilusrasi dan realitas untuk direnungkan.  Di suatu desa, dahulu Maulid Nabi diperingati dengan penuh suka-cita, biasanya diadakan kegiatan Tabligh Akbar yang diikuti penampilan anak-anak TPA. Namun, kini semarak itu tidak terdengar lagi sejak ada anggapan bahwa peringatan Maulid Nabi itu bid’ah. Jamaah perempuan yang shalat di masjid  juga berkurang. Beberapa ibu dan remaja putri menarik diri dari shalat berjamaah di masjid karena beranggapan bahwa shalat perempuan yang terbaik adalah di bilik rumahnya.

Di desa sebelah juga terjadi hal serupa. Persiapan acara untuk menampilkan kreasi seni  budaya masyarakat yang bernuansa religi di hari itu  urung karena sebagian anggota paduan suara yang diiringi angklung itu mengundurkan diri. Mereka  menganggap bahwa musik itu haram, sedangkan suara perempuan itu adalah aurat yang tidak pantas ditampakkan. Petugas qari’ah juga urung tampil karena al-Qur’an tabu untuk dilagukan.

Di desa lainnya lagi juga terjadi pelarangan perempuan bekerja di luar rumah. Beberapa ibu muda tidak berminat untuk mengajarkan ilmunya dan berkiprah di masyarakat  untuk kemajuan dan kesejahteraan. Mereka juga tidak ingin berbaur dengan berbagai kalangan yang memiliki perbedaan paham, agama, dan budaya.

Fenomena semacam itu  menjadi tantangan dakwah ‘Aisyiyah bagi terwujudnya qaryah ṭayyibah yang masyarakatnya memiliki sifat wasaṭiyah. Pendekatan yang dilakukan terhadap masyarakat yang karakternya eksklusif seperti tersebut di atas tentu dengan  li ta’arafu secara bijaksana, nasihat yang baik, dan mengajak berdiskusi dengan cara yang lebih baik seperti digambarkan  dalam Q.S. Fushilat [41]: 34 berikut.

“ …. . Tolaklah dengan cara yang lebih baik, Maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah Telah menjadi teman yang sangat setia.”

Membangun Sikap Wasaṭiyah

 Pimpinan organisasi di tingkat daerah tentu diharapkan mampu “memotret” kawasan  rawan perbedaan yang sering memicu konflik. Selanjutnya, pimpinan organisasi di tingkat daerah juga diharapkan menindaklanjutinya dengan memberikan pengarahan dan pemahaman kepada ‘Aisyiyah di tingkat Cabang dan Ranting bahwa dalam mengemban misi dakwah dan tajdid, Warga ‘Aisyiyah harus mampu (i) menghadirkan Islam sebagai ajaran yang mengembangkan sikap wasaṭiyah, (ii) membangun perdamaian, (iii) menghargai kemajemukan, (iv) menghargai harkat dan martabat kemanusiaan laki-laki maupun perempuan, (v) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (vi) menjunjung tinggi akhlak mulia.

Selain itu, warga ‘Aisyiyah harus mampu menunjukkan amal dan karya nyata  bahwa ‘Aisyiyah memiliki karakter gerakan yang dinamis dan progresif. Oleh karena itu, seorang subjek dakwah dituntut memiliki sifat ramah, sabar dan penyantun, satunya kata dan perbuatan,  empati, serta suka mendekat kepada siapa pun. Pada diri pribadinya terdapat satu kesatuan kualitas antara iman, Islam, dan ihsan. Wa khâliqinnâsa bi khuluqin ḥasanin. (Mahsunah)

Pernah dimuat di Majalah Suara ‘Aisyiyah, Edisi 12 Desember 2019, Rubrik Qaryah Thayyibah, hal 23

Sumber Ilustrasi : https://kitaumroh.com/blog/5-keutamaan-bangun-subuh-dalam-islam/

Related posts
Wawasan

Praksis Islam Rahmatan Lil ‘Alamin dalam Masyarakat

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri…
Berita

Abdul Mu’ti: Warga Muhammadiyah-‘Aisyiyah Harus Menampilkan Wajah Islam yang Otentik

Jakarta, Suara ‘Aisyiyah – Menyikapi adanya image terhadap Islam yang tidak bersesuaian dengan substansi ajaran Islam, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul…
Wawasan

Kaderisasi Ulama di Muhammadiyah-‘Aisyiyah

Oleh: Susilaningsih Kuntowijoyo Sebagai organisasi Islam yang bergerak di bidang dakwah dengan pandangan Islam Berkemajuan, Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah selalu mengembangkan dan menyegarkan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *