Muda

Sinema yang Menundukkan Pandangan Kita

cinema
cinema

cinema (ilustrasi: freepik)

Oleh: Saraswati Nur Diwangkara*

Sebagai perempuan, imbauan ghadlul bashor tidak pernah absen terdengar di telinga saya semenjak saya masuk pesantren. Menundukkan pandangan pada lawan jenis yang tidak pernah saya temui, kecuali guru dan karyawan, dengan tujuan untuk tidak ‘menikmati’ pandangan kita sebagai perempuan kepada laki-laki.

Hanya melalui film, saya tidak perlu khawatir untuk melihat lebih jauh. Beranjak dewasa, pekerjaan dan apa yang saya lakukan tidak jauh-jauh dari media. Lewat film, saya bisa ‘merasakan’ pengalaman menjadi orang lain dan melakukan banyak hal yang tidak bisa dilakukan. Namun, semakin lama terlena, kesadaran bahwa terkekangnya ruang bagi pandangan perempuan nyata adanya.

Tatapan laki-laki atau male gaze berkelindan dengan industri yang kita nikmati serta bangun secara kolektif. Male gaze adalah kondisi saat perempuan dalam media dilihat dari sudut pandang laki-laki dan perempuan dipresentasikan sebagai objek pasif dari hasrat laki-laki. Hasrat juga tak hadir sebagai sesuatu yang melulu berbau seksual. Cara pandang ini dikemukakan oleh Laura Mulvey, seorang tokoh feminis film yang dalam studinya meminjam beberapa konsep teori psikoanalisis Freud.

Baca Juga: Bolehkah Perempuan Safar Tanpa Mahram?

Male gaze, lanjut Mulvey, hadir sebagai alat yang mengontrol perempuan dalam media. Ia hadir dari tangan sutradara serta dikonstruksikan dalam skenario laki-laki. Perempuan yang seharusnya menjadi peran utama, bak boneka yang diarahkan saja. Di sinilah perempuan tidak mendapat keuntungan apapun dari male gaze. Mereka dieksploitasi dan dieksplorasi dengan tendesi negatif secara habis-habisan hanya untuk menyenangkan penonton laki-laki.

Meskipun, kehadiran sutradara perempuan ada, tetapi praktik ini masih terus berjalan pada tiap peran perempuan, bagaimanapun penggambarannya di layar kaca. Kacamata ini tak hanya terjadi di sinema, melainkan juga dalam mediamedia pemberitaan.

Tua, Muda, Semuanya Kena

Tak sedikit dari sinema kita yang memilih untuk menjadikan lakon perempuan sebagai pemanis layar. Selain tontonan horor erotis pada kurun tahun 2000-2010, film-film komersial yang lebih baru juga turut menjadi pembawa tongkat estafet male gaze sinema Indonesia. Film komedi “Cek Tokoh Sebelah” misalnya, ketika karakter Robert dan sekretarisnya datang ke toko untuk menawar membeli, kamera menyorot pada bagian-bagian tubuh sekretaris Robert yang mengenakan pakaian ketat. Tidak hanya itu, celetukan berbau seksual dilontarkan dari pemain-pemain pria yang bereaksi atas kehadiran sang sekretaris. Semuanya diperlihatkan lewat gestur, mimik, mata, hingga backsound yang menormalisasi bahwa itulah reaksi yang wajar dikeluarkan.

Ada pula film “Selesai” besutan sutradara, aktor, sekaligus dokter, yaitu Tompi yang mengundang banyak kritikan dari penonton. Film yang menceritakan perselingkuhan di rumah tangga Ayu dan Broto ini tak ubahnya lakon pemojokan perempuan. Ayu yang diperankan oleh Ariel Tatum bagi Tompi tak hanya cukup dikhianati suaminya lewat perselingkuhan. Ayu turut menjadi objek seksual kamera dan cerita, bahkan main api Broto juga menjadi kesalahan Ayu karena tak kunjung memberikan keturunan. Nyata bahwa banyak yang menganggap perempuan sebagai alat reproduksi semata.

Budaya yang kental dengan patriarki membuat kita sebagai bagian dari ekosistem industri film menanggung beban. Perempuan dianggap sebagai tontonan menarik yang dapat mendatangkan keuntungan. Tak hanya normalisasi pemaksaan hubungan dalam film adaptasi laman Wattpad, perempuan dewasa hingga tua juga menjadi korban dari tatanan dunia yang dikontrol laki-laki.

Sinema, bagi saya, tak seharusnya mengungkung kita sebagai perempuan. Tak seharusnya menundukkan pandangan kita serta membuat laki-laki bisa sebebasnya ‘menatap’ representasi kita. Sama seperti ajaran yang seharusnya, tidak hanya perempuan, laki-laki harus sama wajibnya menjaga pandangannya pada kita di media maupun di dunia nyata.

*Seorang podcaster di K-ulture! dan penulis lepas

Related posts
Tokoh

Hidup ala Mami Gelora: Sesekali di Bungkusan Kacang, Sesekali di Bait Puisi

Oleh: Ahimsa W. Swadeshi “Panggil aja Mami Gelora!” suara riang itu tidak lain dan tidak bukan adalah milik Herni Widiastuti Yanuarsasi. Sapaan…
Berita

PP Nasyiatul Aisyiah Dorong Perempuan Jadi Agen Perubahan Efektif Mitigasi Perubahan Iklim

Jakarta, Suara ‘Aisyiyah – Perubahan iklim menjadi isu global yang mendapat atensi besar dari Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah (PPNA). Berdasarkan data PBB,…
Berita

Jelang Pemilu 2024, Aisyiyah Dorong Akses Partisipasi bagi Semua

Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Sekretaris Umum PP ‘Aisyiyah, Tri Hastuti Nur Rochimah menegaskan bahwa Pemilu 2024 harus memberikan akses bagi semua elemen…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *