Oleh: Muarif
“…bukan Muhammadijah jang menghadjatkan kepada kita, tetapi kitalah jang menghadjatkan akan hidup suburnja Muhammadijah…” (Siti Aisyah).
Pesan Siti Aisyah, salah satu Ketua ‘Aisyiyah yang juga putri Kiai Dahlan dan Siti Walidah tersebut dapat ditemukan pada tulisannya “Mendukung Tjita2 Muhammadijah dari Hati ke Hati” dalam buku Peringatan 40 Tahun Muhammadijah yang diterbitkan Panitya Peringatan 40 Tahun Muhammadijah, Bagian Penerangan Kotapradja, Jogjakarta, tahun 1952.
Siti Aisyah merupakan generasi kedua dari perempuan angkatan muda di Kauman yang mengawali tradisi baru menuntut ilmu di sekolah umum. Setelah Kiai Ahmad Dahlan, ayahnya, berhasil mendorong Siti Bariyah, Siti Wadingah, dan Siti Dawimah masuk ke sekolah Belanda, giliran generasi berikutnya seperti Siti Aisyah, Siti Zaenab, Siti Dauchah, Siti Dalalah, Siti Busyro, Siti Hayinah, dan Siti Badilah yang bersekolah. Siti Aisyah bersama kakak kandungnya, Siti Busyro, mengikuti saran ayahnya menuntut ilmu di Sekolah Netral (Neutraal Meisjes School).
Siti Aisyah binti Kiai Ahmad Dahlan lahir di Kauman, Yogyakarta, pada tahun 1905. Dia anak keempat dari enam bersaudara putra-putri Kiai Ahmad Dahlan dengan Siti Walidah. Keenam putra-putri Kiai Ahmad Dahlan adalah: Johanah (lahir 1890), Siraj (lahir 1898 wafat 1948), Siti Busyro (lahir 1903), Siti Aisyah (lahir 1905 wafat 10 Agustus 19680, Irfan (lahir 1907 wafat 1967), dan Siti Yuharon (lahir 1908 wafat 1967).
Sebagai putri dari Kiai Dahlan dan Walidah, Siti Aisyah mendapat didikan langsung dari ayah maupun ibunya yang merupakan pendiri Muhammadiyah dan penggerak ‘Aisyiyah. Setelah menamatkan Sekolah Netral, Siti Aisyah mendapat didikan agama Islam dari Walidah di internaat (asrama) putri. Ia dididik bersama kader ’Aisyiyah sekali-gus calon-calon pemimpin perempuan yang lain, seperti Siti Bariyah, Siti Munjiyah, Siti Badilah, dan Siti Hayinah.
Baca Juga: Keturunan Kiai Ahmad Dahlan di Thailand
Dalam dokumen foto tahun 1931 yang didapatkan dari keluarga alm. Yunus Anis, tampak Siti Aisyah bersama kawan-kawannya sedang berada di sebuah stan pada arena kongres Muhammadiyah ke-20 yang diselenggarakan di Yogyakarta. Siti Aisyah yang menggunakan kacamata itu tampak berfoto dengan para peserta kongres yang lain. Ia tampak sedang duduk di kursi, bersebelahan dengan Siti Dawimah, juga beberapa rekan perempuan yang lain. Meski terlihat masih sangat muda, tetapi Siti Aisyah telah terlibat secara aktif dalam kepengurusan ‘Aisyiyah.
Rupanya, Kongres Muhammadiyah ke-20 yang diselenggarakan di Yogyakarta pada tahun 1931 itu menjadi momentum penting bagi Siti ‘Aisyiyah dalam perjalanan karir berorganisasinya di ‘Aisyiyah. Kongres ke-20 telah mengantarkan Siti Aisyah pertama kali terpilih sebagai ketua Hoofdbestuur Muhammadiyah Bahagian ‘Aisyiyah. Kepemimpinannya di ‘Aisyiyah berlangsung pasca kepemimpinan sang ibu, Nyai Ahmad Dahlan.
Tampaknya, kepemimpinan Siti Aisyah pada tahun 1931 merupakan periode pertama yang akan mematangkan kemampuannya berorganisasi di kemudian hari. Pada Kongres Muhammadiyah ke-21 yang diselenggarakan di Makassar pada 1932, amanah ketua ‘Aisyiyah beralih ke Siti Munjiyah, rekan senior perjuangannya. Nantinya, dalam Kongres Muhammadiyah ke-26 tahun 1937 yang diselenggarakan di Yogyakarta pula, Siti Aisyah kembali memimpin ‘Aisyiyah.
Sebagai organisasi modern, kepemimpinan di Muhammadiyah berlangsung dinamis dan tidak mengenal kultus individu. Budaya organisasi tersebut juga berlaku dalam kepemimpinan ‘Aisyiyah. Terbukti, sekalipun Siti Aisyah merupakan putri Kiai Ahmad Dahlah dan dia mendapat didikan langsung dari ayah maupun ibunya, tetapi jabatan ketua ‘Aisyiyah silih berganti dipegang oleh santri-santri perempuan Kiai Dahlan maupun Siti Walidah, yang memang dipersiapkan menjadi calon pemimpin perempuan .
Dalam Kongres Muhammadiyah ke-27 di Malang (1938), ketua ‘Aisyiyah dimandatkan pada Siti Badilah, kawan seperjuangan Siti Aisyah saat masih aktif di Sopo Tresno. Sampai kemudian pada tahun 1939, dalam Kongres Muhammadiyah ke-28, Siti Aisyah kembali terpilih sebagai ketua ‘Aisyiyah. Dari Kongres Muhammadiyah ke-28 (1939) sampai Pertemuan Cabang-cabang se-Jawa Madura (1944), Siti Aisyah memegang jabatan sebagai Ketua Hoofdbestuur Muhammadiyah Bahagian ‘Aisyiyah. Terakhir, Siti Aisyah menjabat sebagai ketua ‘Aisyiyah pada tahun 1950 (Muktamar Muhammadiyah ke-31) pasca kepemimpinan Siti Hayinah (1946).
Siti Aisyah juga terlibat dalam penyusunan organisasi saat ‘Aisyiyah ditetapkan menjadi organisasi otonom Muhammadiyah, berdasarkan hasil keputusan Muktamar tahun 1950 melalui sidang khusus tertanggal 23 Desember 1950. ‘Aisyiyah yang semula merupakan bahagian majelis dari Muhammadiyah kemudian ditetapkan sebagai organisasi otonom bernama Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah. Selanjutnya, penyusunan organisasi diserahkan kepada tim yang beranggotakan beberapa pimpinan ‘Aisyiyah, Siti Aisyah Hilal menjadi salah satu di antaranya bersama Siti Zaenab Damiri, Siti Badilah, N. Pardjaman, dan Ny. Djokorahardjo.
Berdasarkan Maklumat PP Muhammadiyah, kemudian disahkan susunan pimpinan PP ‘Aisyiyah, yang menetapkan Siti Badilah Zuber sebagai Ketua dan Siti Hajinah sebagai Wakil Ketua. Sedangkan Siti Aisyah terpilih sebagai anggota PP ‘Aisyiyah bersama Siti Zaenab Damiri, Fatma Wasol, Aminah Dahlan, dsb. Nantinya, Siti Aisyah Hilal dan Siti Zaenab Damiri juga dipercaya sebagai representasi ‘Aisyiyah pada Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum Talak dan Rujuk.
Baca Juga: Siti Hayinah di Mata Keluarga: Teguh dalam Pendirian, Bijak dalam Keputusan
Tak hanya itu, lagi-lagi bersama Siti Zaenab Damiri, ternyata Siti ‘Aisyah pernah masuk dalam daftar 6 calon perempuan anggota DPRD DIY dari partai Masyumi. Pada tahun 1951, DIJ menjadi salah satu provinsi yang menyelenggarakan Pemilihan Umum Daerah pertama kalinya mengacu pada UU No. 7 Tahun 1950 tentang Pemilihan Anggota DPRD Provinsi dan daerah-daerah di dalam lingkungannya. Kala itu, sistem pemilihan menggunakan sistem pemilihan bertingkat, yaitu pemilihan umum memilih pemilih, dan pemilih memilih anggota DPRD.
Dari 296 calon Anggota DPR DIJ, hanya terdapat 15 calon perempuan. Partai Masyumi menjadi partai yang mencalonkan perempuan terbanyak, yaitu 6 orang, termasuk Siti Aisyah Hilal bersama Siti Zaenab Damiri, Nj. Anisah Djufri, Nj. Alfiah Muhadi, Siti Ruchajanah, dan Siti Halifah. Selanjutnya, Siti Zaenab Damiri menjadi satu-satunya perempuan yang terpilih sebagai anggota DPRD Provinsi.
Nama Hilal yang kadang disebut setelah nama Siti Aisyah, merujuk pada perkawinannya dengan H. Hilal, yaitu putra Kiai Sholeh atau kakak ipar Kiai Ahmad Dahlan. Sebelumnya, H. Hilal pernah menikah dengan Johanah putri Kiai Ahmad Dahlan. Setelah Johanah meninggal dunia, agar tetap menyambung silaturahmi dengan keluarga keturunan Kiai Sholeh, Siti Aisyah menikah dengan H. Hilal.
Siapa H. Hilal? Ia dikenal sebagai saudagar batik di kampung Kauman. H. Hilal merupakan putra Kiai Sholeh yang juga merupakan salah seorang saudagar terkaya di kampung Kauman. Salah satu putri Siti Aisyah bernama Maesaroh menetap di Singapura dan merintis gerakan yang identik dengan Muhammadiyah. Maesaroh Hilal kemudian menikah dengan Abubakar Taal dan menetap di Singapura. Keduanya inilah yang menjadi perintis dan tokoh Muhammadiyah Singapura.
Gedung pusat Muhammadiyah Singapura bernama Darussalam. Di gedung pusat inilah pembinaan pengajian pemuda diselenggarakan. Pengajian khusus untuk pemuda bernama Ad-Din. Pengajian ini diasuh oleh H. Abubakar Taal, suami Maesaroh Hilal. Organisasi Muhammadiyah di Singapura juga menggunakan jalur pengajian untuk menyebarkan ajaran pembaruan dalam Islam. Salah satu kelompok pengajian anak-anak yang dikelola oleh Muhammadiyah Singapura adalah pengajian Bustanus Sa’adah.
Pada tahun 1905, Siti Aisyah wafat di Yogyakarta. Namanya harum seiring dengan torehan prestasi kepemimpinannya di ‘Aisyiyah. (Muarif)