Inspirasi

Siti Badilah Zubair: Mubalighat Tiga Zaman

Siti Badilah Zubair

Siti Badilah Zubair merupakan salah satu kader Kiai Ahmad Dahlan yang terkenal cerdas, pemberani, progresif, dan juga radikal. Begitu luas pandangan hidupnya dan kokoh pendiriannya. Ia juga dikenal sebagai seorang yang sportif, dan mau mengakui kesalahannya di hadapan murid-muridnya secara terbuka. Sejak remaja, ia terlatih untuk bertabligh di hadapan siswa Kweekschool dan Normal School, sehingga seorang guru Belanda pun memujinya. Beliau disebut mubalighat tiga zaman karena sejak remaja ia telah bertabligh baik di zaman kolonial, di zaman kemerdekaan, hingga era orde baru, dan makin tangguh bertablighnya.

***

Srikandi-srikandi `Aisyiyah merupakan perintis pergerakan perempuan Muhammadiyah. Mereka telah membedah tembok tradisi kaum perempuan yang membelenggu kemajuan. Atas inisiatif dan dorongan Kiai Ahmad Dahlan, srikandi-srikandi ini melangkah memasuki pintu- pintu gerbang sekolah kelas elit di zamannya. Sekelompok gadis-gadis kampung Kauman bersekolah di Neutral Meisjes School. Mereka adalah Siti Bariyah, Siti Hayinah, Siti Wadi`ah, Siti Umniyah, dan Siti Badilah. Mereka dari pagi sekolah, sore atau malam hari belajar agama dipimpin Kiai dan Nyai Ahmad Dalan. Mereka inilah kader andalan yang menduduki puncak Pimpinan Pusat Aisyiyah periode awal.

Siti Badilah adalah yang termuda di antara teman seangkatan. Dia pula yang bisa menamatkan pendidikan MULO. Maka tak mengherankan bila dia fasih berbahasa Belanda dan mampu berbahasa Inggris dan faham bahasa Arab. Bahasa Arab dipelajarinya sejak mengaji bersama Kiai dan Nyai Dahlan. Bahasa Inggris dia dalami di luar sekolah dengan banyak membaca buku-buku serta Kamus Inggris.

Peran Siti  Badilah  dalam `Aisyiyah

Pada Jaar Vergadering Muhammadiyah tahun 1922 di Yogyakarta, Siti Badilah ditunjuk oleh Hoofd Bestuur (HB) Muhammadiyah untuk berbicara memperkenalkan `Aisyiyah di hadapan peserta Sidang. Kemudian disambut dengan adanya keputusan agar seluruh Cabang dan Daerah, serta Consul (tingkat wilayah) mendirikan bagian Perempuan Muhammadijah yang bernama `Aisyiyah. Sejak itu pula Siti Badilah duduk di Hoofd Bestuur (HB) Muhammadiyah sebagai Sekretaris mendampingi Siti Bariyah. Demikian pula pada tahun 1927, ia menjadi Anggota Pimpinan Majalah Suara ‘Aisyiyah beserta Ibu Johainah (Pemimpin Redaksi Pertama). Pada tahun 1928 Siti Badilah menjadi peserta Konggres Perempuan Indonesia I, mewakili utusan HB Muhammadiyah.

Dalam perjalananan selanjutnya, Badilah diminta oleh ‘Aisyiyah Bengkulu untuk menjadi guru dan membimbing ‘Aisyiyah Daerah Bengkulu. Di situlah Siti Badilah bertemu dengan Fatmawati sebagai murid sekolah Muhammadiyah. Ketika Bung Karno diasingkan di kota Bengkulu, beliau juga menjadi Guru di Sekolah Muhammadiyah tersebut (sekitar tahun 1939).  Dalam masa  penjajahan Jepang, Badilah Zubair beserta para Pimpinan Pusat tetap menjalankan roda organisasi walaupun saat itu Pemerihtah Jepang melarang semua ormas untuk beroperasi. Dengan berbagai siasat, kata beliau, kami terus menggiatkan daerah-daerah.

Pada tahun 1938, dalam Kongres ke-27 di kota Malang, Siti Badilah Zubair terpilih menjadi Ketua. Keaktifannya sebagai pimpinan `Aisyiyah tak kenal henti. Pada masa “lansia“ beliau menjadi Ketua PCA Gondomanan untuk membina dan menggairahkan Pimpinan Ranting  sekitar Kauman .

Profesi Guru dan Mubalighat

Dalam pengabdiannya sebagai pendidik, Ibu Badilah Zubair menjadi Guru di SMP Putri Muhammadiyah. Beliau memberi pelajaran Bahasa Inggris, Ilmu Bumi, dan juga al-Quran. Setiap pelajaran yang ia sampaikan dibahas tuntas dan luas. Bayangkan, pelajaran Bahasa Inggris menyentuh pula tentang Budaya. Mata pelajaran Ilmu Bumi, selain peta dan hasil bumi, ia terangkan pula para penguasanya (raja-rajanya). Apalagi dengan al-Quran, ia sangat menanamkan aspek aqidahnya.

Sebagai mubalighat ia mengajar pengajian di beberapa tempat antara lain para istri tentara,  dan juga di  Masjid Syuhada. Begitu juga di Pengajian  PPY (Pengajian Putri Yogyakarta) yang awalnya didirikan pada zaman revolusi, ketika Yogyakarta menjadi Ibukota RI. Para anggotanya adalah istri para pejabat tinggi Negara, di antaranya Ibu Sudirman (istri Panglima Besar), Ibu Syamsurijal, Ibu Sunaryo Mangunpuspito, Ibu Kasman Singodimejo, dan Ibu Sukiman Wiryosanjoyo, Ibu AR Baswedan, dll. yang semuanya merupakan istri para pejabat tinggi Negara saat itu. Hingga selesai masa revolusi, pengajian ini masih beliau geluti hingga akhir hayatnya pada tahun 1987. Saat itu Ketua pengajian dijabat Ibu Maruti, istri mantan Pangdam Kaltim,  Ibu Reksonegoro, istri Kadapol  DIY.

Dalam mengemudikan keluarga bersama suaminya H. Zubair, ia dikaruniai 4 orang anak. Anak pertama putri bernama Siti Zahanah, Baroidah (meninggal dalam usia remaja), Muhammad Wusthon, Mayor Angkatan Darat (PETA angakatan pertama). Adapun putra yang bungsu, Arsham, gugur sebagai syahid yang bergabung dalam Laskar Angkatan Perang. Badilah Zubair tetap menjadi mubalighat hingga akhir hayatnya pada tahun 1987. Peninggalan beliau adalah sebuah Buku Sekitar Al-Qur`an” utuk pegangan para mubalighin dan mubalighat yang terbit tahun 1971 dan tahun 1972, dengan kata pengantar dari  Majelis Tabligh PP Muhammadiyah. (UG)

Related posts
Lensa OrganisasiSejarah

Di Mana Aisyiyah Ketika Masa Revolusi Indonesia?

Oleh: Ghifari Yuristiadhi Masyhari Makhasi* Tahun ini, Indonesia telah memasuki usia yang ke-79. Hal ini menjadi momentum untuk merefleksikan perjuangan para pendahulu…
Berita

107 Tahun Aisyiyah, Perkuat Komitmen Menjawab Berbagai Problem Kemanusiaan Semesta

Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Mengusung tema “Memperkokoh dan Memperluas Dakwah Kemanusiaan Semesta” ‘Aisyiyah  akan memperingati miladnya yang ke-107 tahun pada 19 Mei…
Berita

Tri Hastuti Dorong Warga Aisyiyah Kawal Demokrasi di Indonesia

Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Menghadapi momentum Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, banyak pertanyaan dari warga ‘Aisyiyah menyangkut pilihan dan keberpihakan ‘Aisyiyah. Sekretaris Umum…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *