Walaupun organisasi ‘Aisyiyah terbentuk atas jasa Kiai Dahlan dan istrinya, namun tidak serta merta membuat organisasi ini diketuai oleh istri dari Kiai Dahlan, Nyai Walidah. Saat pertama kali berdiri, ‘Aisyiyah justru diketuai oleh Siti Bariyah. Seorang perempuan cerdas yang dikader langsung oleh Kiai Dahlan.
***
Siti Bariyah bin Haji Hasyim Ismail lahir di kampung Kauman, Yogyakarta pada 1325 H. Ia merupakan adik kandung dari Siti Munjiyah, aktivis Sapa Tresna, cikal bakal ‘Aisyiyah. Siti Bariyah adalah perempuan dengan paras ayu dengan kulit kuning langsat. Postur tubuhnya tidak tinggi, juga tidak pendek.
Di antara santri perempuan Kiai Dahlan, Siti Bariyah adalah salah satu santri yang paling sering diajak bertabligh di kantor-kantor pejabat pemerintahan dan di sekolah-sekolah umum. Santri lain yang kemampuannya sama cerdas adalah Siti Wasilah, istri KRH Hadjid.
Keduanya terbilang santri paling menonjol. Bedanya, Siti Bariyah mampu berbahasa Belanda dan Melayu dengan mahir. Sementara Siti Wasilah mahir melantunkan tilawah al-quran. Biasanya, sebelum pengajian dimulai, Khatib Amin akan menyuruh Siti Wasilah untuk membacakan ayat al-Quran dan meminta Siti Bariyah menerjemahkannya ke dalam bahasa Melayu dan Belanda.
Menjadi Ketua ‘Aisyiyah Pertama
Pada tahun 1917, setelah mendapatkan kader-kader perempuan yang dipandang memiliki kecakapan dalam hal memimpin, HB (hoofdbestur) Muhammadiyah menggelar rapat pembentukan Bahagian ‘Aisyiyah (Sapa Tresna). Saat itu, Kiai Dahlan mendapat usulan agar Muhammadiyah membentuk organisasi yang secara khusus bertujuan memajukan kaum perempuan. Kemudian diputuskanlah untuk membentuk ‘Aisyiyah, sebuah organisasi yang merupakan Muhammadiyah Bahagian Istri (perempuan).
Melalui rapat, diangkatlah Siti Bariyah sebagai ketua ‘Aisyiyah. Kepercayaan ini tidak datang serta merta. Siti Bariyah sejak awal aktif di pengajian Sapa Tresna yang tidak lain merupakan cikap bakal berdirinya ‘Aisyiyah. Selain itu, Siti bariyah yang berhasil tamat dari Neutraal Meisjes School dipercaya mempunyai pemikiran modern yang bisa mengembangkan ‘Aisyiyah.
Yang menarik, saat pengangkatan Siti Bariyah menjadi ketua ‘Aisyiyah, ia justru tidak tampak dalam pertemuan tersebut. Batang hidung Siti Bariyah tidak tampak di antara empat gadis perwakilan dari perkumpulan Sapa Tresna yang mengajukan usul pembentukan organisasi perempuan pertama di Kauman itu. Namun, kecakapan memimpin Siti Bariyah sudah tidak diragukan lagi, sehingga semua sepakat untuk mendaulatnya sebagai ketua ‘Aisyiyah.
Dalam Algemene Vergadering tahu 1917, Siti Bariyah dipilih dan ditetapkan sebagai ketua. Siti Bariyah sendiri memimpin ‘Aisyiyah dari tahun 1917 sampai 1920. Pada tahun 1923, saat ‘Aisyiyah berada di bawah tampuk kepemimpinan Nyai Walidah, Siti Bariyah tetap menjalankan persan signifikan sebagai wakil ketua.
Kiprah dan Pengabdian
Berkat kapasitas intelektualnya yang mumpuni, kiprah Siti Bariyah semakin menonjol pasca menjadi ketua ‘Aisyiyah. Bahkan, pada masa kepemimpinan K.H. Ibrahim, Siti Bariyah diberi otoritas untuk memberikan penafsiran terhadap rumusan Tujuan Muhammadiyah yang saat itu dimuat dalam bentuk artikel di majalah Suara Muhammadiyah dengan judul “Tafsir Maksoed Moehammadijah” edisi no.9, th. ke-4, September 1923.
Siti Bariyah juga terlibat dalam merintis majalah Soeara ‘Aisjijah pada tahun 1926. Siti Bariyah adalah salah satu di antara empat redaktur Soeara ‘Aisjijah pertama setelah mengalami perubahan. Struktur redaksi pertama Soeara ‘Aisjijah hanya mampu bertahan selama tiga nomor. Setelah itu berubah dengan penambahan empat orang, yakni Siti Wakirah, Siti Hayinah, Siti Wardiyah, dan Siti Bariyah.
Dalam kongres Muhammadiyah ke-16 tahun 1927 yang digelar di Pekalongan, Siti Bariyah kembali terpilih sebagai ketua ‘Aisyiyah. Saat itu, situasi politik umat Islam sedang dalam kondisi memanas. Kongres Muhammadiyah digelar bersamaan dengan CSI (Central Sarekat Islam) menggelar kongres di Randublatung untuk menegaskan disiplin organisasi.
Akhir Hayat
Siti Bariyah wafat dalam usia yang terbilang muda. Ia meninggal kala melahirkan Fuad, anak ketiganya. Sepeninggal Siti Bariyah, anak-anak pasangan Siti Bariyah dan Muhammad Waim bin K.H. Ibrahim, yakni Siti Antaroh, Ichnaton, dan Fuad diasuh oleh Siti Mujiyah, kakak kandungnya. Usia Siti Bariyah bisa saja tak lama, namun namanya akan terkenang selamanya.
* Disarikan dari buku Srikandi-srikandi ‘Aisyiyah (2014).
Sumber: Majalah Suara ‘Aisyiyah Edisi 11 Tahun 2014