
Siti Bariyah
Oleh: Mu’arif
Benarkah pemikiran ideologis pertama di Muhammadiyah dicetuskan oleh KH Mas Mansur melalui Tafsir Langkah Muhammadiyah (1939)? Temuan terbaru berdasarkan penelusuran dokumentasi Soewara Moehammadijah tahun 1923 mungkin dapat mengubah teori ini.
Temuan terbaru berdasarkan penelusuran dokumentasi Soewara Moehammadijah tahun 1923 mungkin dapat mengubah teori ini. Menariknya, justru pemikiran ideologis pertama di Muhammadiyah digagas oleh seorang intelektual perempuan bernama Siti Bariyah, ketua pertama Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah bagian ‘‘Aisyiyah. Ia telah mendapat otoritas untuk memberikan tafsiran terhadap rechtpersoon Muhammadiyah pada masa kepemimpinan KH Ibrahim (1923-1933).
Apa itu pemikiran ideologis?
Sebuah gugus pemikiran mengenai ide-ide dasar yang menjadi pandangan resmi sebuah organisasi atau perkumpulan. Sebagai salah satu contohnya dapat kita perhatikan dari sosok KH Mas Mansur ketika merumuskan Tafsir Langkah Muhammadiyah bermula dari gagasan-gagasan sistematis yang ia sampaikan dalam cursus HB Muhammadiyah di Yogyakarta tiap malam Selasa pada 1938.
Namun, berdasarkan hasil analisis terhadap dokumen Soewara Moehammadijah nomor edisi 9 tahun ke-4 bulan September 1923 pada artikel “Tafsir Maksoed Moehammadijah” yang ditulis oleh Siti Bariyah, telah ditemukan gugus pemikiran ideologis jauh sebelum Mas Mansur melahirkan buah pemikiran Tafsir Langkah Muhammadiyah.
Sosok Penafsir Ideologi
Menariknya, fakta mengungkapkan bahwa pemikiran ideologis pertama di Muhammadiyah sebenarnya digagas oleh seorang intelektual perempuan bernama Siti Bariyah selaku ketua pertama Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah bagian ‘Aisyiyah. Ia juga telah mendapat otoritas untuk memberikan tafsiran terhadap rechtpersoon Muhammadiyah pada masa kepemimpinan KH Ibrahim (1923-1933).
Semua ide gagasan yang dituliskan oleh Siti Bariyah lebih dari sebuah gagasan pribadi semata, tetapi sebuah upaya memaknai konsep-konsep umum sebagaimana tertuang dalam rechtpersoon (badan hukum) Muhammadiyah yang terdiri atas ’artikel-artikel’ (pasal-pasal) yang membutuhkan penjelasan lebih rinci. Dalam konteks organisasi, biasanya kewenangan untuk menafsirkan maksud dari pasal-pasal dalam anggaran dasar diberikan kepada sebuah tim khusus atau seseorang yang memang telah diakui kapasitas intelektualnya. Meskipun pada masa kepemimpinan KH Ibrahim banyak intelektual di HB Muhammadiyah, tetapi sosok Bariyah justru yang dipercaya untuk memberikan tafsiran ideologis atas tujuan persyarikatan.
Selain itu, pemikiran ideologis Bariyah kembali tampak ketika ia memberikan tafsiran terhadap tujuan Muhammadiyah. Dalam rechtpersoon Muhammadiyah (artikel 2) disebutkan: ”Hadjat perserikatan itoe: a. Memadjoekan dan menggembirakan pengadjaran dan peladjaran agama Islam di seloeroeh Hindia-Nederland.”
Di sinilah pemikiran subjektif Bariyah mulai tampak ketika memberikan penafsiran atas konsep ”memadjoekan dan menggembirakan pengadjaran dan peladjaran agama.” Menurutnya, tujuan didirikan persyarikatan Muhammadiyah untuk mengatur, membesarkan, dan memajukan pengajaran agama Islam di Hindia-Belanda dengan sistem modern atau ”berkemadjoean.” Karena istilah ”kemadjoean” sering diiringi dengan penjelasan ”setjara jaman sekarang.”
Dalam pandangan Muhammadiyah, di kalangan umat Islam di Hindia-Belanda belum ada yang menyelenggarakan pendidikan Islam menggunakan sistem dan metode yang sesuai zaman berkemajuan. ”…pada saat ini, beloemlah ada kaoem Islam jang bekerdja kepada agama Islam dan pengadjaran diatoer jang menoeroet pada peratoeran dan tjara menoeroet zaman kemadjoean,” tulis Bariyah.
Ajaran Islam sesuai tjara menoeroet zaman kemadjoean
Dalam pandangan Bariyah pengajaran agama Islam sesuai peraturan dan ”tjara menoeroet zaman kemadjoean” adalah sistem sekolah yang bukan model pondok pesantren. Karena di pondok pesantren, orang hanya belajar agama tanpa menguasai ilmu pengetahuan umum yang berguna bagi kehidupan masyarakat. Sebaliknya, di sekolahan orang hanya belajar ilmu pengetahuan umum tanpa menguasai ilmu agama yang berguna bagi kehidupan akhirat. Atas dasar inilah Bariyah menulis, ”Moehammadijah mengadjarkan agama dengan memakai tjara sekolah.”
pada artikel 2 poin b ditegaskan bahwa Muhammadiyah ”memadjoekan dan menggembirakan tjara kehidupan sepanjang kemaoean agama Islam kepada lid-lidnja.” Bariyah menggunakan interpretasi subjektifnya ketika memahami pasal ini. Menurutnya, tujuan Muhammadiyah adalah menuntun dan mengajar para anggotanya agar hidup sejalan dengan prinsip-prinsip dalam agama Islam. ”…maksoed persarikatan Moehammadijah hendak mengatoer dan membesarkan atau menoendjoekan kebaikan kehidoepan lid-lidnja menoeroet sepandjang kemaoean agama Islam,” tulis Bariyah.
Akan tetapi, Bariyah menegaskan bahwa menjadi anggota Muhammadiyah adalah melewati proses bimbingan dan belajar berdasarkan tuntunan Islam agar dapat berinteraksi antara sesama anggota maupun antara sesama manusia. Di sini tampak jelas bahwa visi kemanusiaan universal dalam pikiran Bariyah sudah melampaui zamannya. Bahwa menjadi anggota Muhammadiyah adalah melalui proses bimbingan dan belajar agar menjadi muslim kaffah. Muslim kaffah bukan hanya dapat berinteraksi antara sesama muslim, tetapi seluruh umat manusia tanpa mengenal latar belakang kelompok, etnis, dan agama.
Kita memang tidak bisa membaca pikiran Bariyah secara menyeluruh, tetapi apa yang telah diartikulasikan dalam bentuk tulisan tersebut dapat mewakili sebagian isi pikirannya. Dengan konsep mengajarkan agama Islam dengan sistem sekolah berarti ia menghendaki integralisme kurikulum yang sekaligus dapat menepis dikotomi pendidikan pada waktu itu. Itulah sepenggal pemikiran Siti Bariyah ketika menafsiri tujuan Muhammadiyah yang bermuatan ideologis. Tampaknya, KH Ahmad Dahlan telah berhasil menanam dan menumbuhkan bibit-bibit intelektual yang cemerlang, tidak hanya di Muhammadiyah tetapi juga di ’Aisyiyah.