
Siti Hayinah dan keluarga (dokumen keluarga)
Oleh: Sirajuddin Bariqi
Rumah di jalan Agus Salim No. 30, Kelurahan Notoprajan, Kecamatan Ngampilan, Kota Yogyakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta itu masih terawat bagus. Di depannya, sebuah taman kecil menjadi pemisah antara bangunan berdinding putih itu dengan pagar jalan.
Rumah yang dulu menjadi saksi perjalanan hidup Siti Hayinah itu kini dihuni putri bungsunya, Darmini. Menikah pada tahun 1935, pasangan Siti Hayinah dan Muhammad Mawardi Mufti dikaruniai tujuh anak. Dua di antaranya, Rusdi dan Hartinah, meninggal ketika keduanya masih kecil.
Darmini dibesarkan bersama empat saudaranya: Harijadi, Darmadi, Parmadi, dan Karnadi. Sebagai anak perempuan (dan terakhir), Darmini mengaku tak pernah diperlakukan istimewa apalagi dimanja oleh ibunya. Siti Hayinah memperlakukan anak-anaknya secara adil dan mengajarkan mereka untuk mandiri.
Di rumah, Siti Hayinah sering memberi contoh aktivitas-aktivitas positif untuk ditiru anak-anaknya. Di mata Darmini, ibunya adalah teladan terbaik. Sebagai contoh, Siti Hayinah yang pernah belajar di Fur Huischoud School Yogyakarta itu mengajarkan keterampilan memasak dan menjahitnya kepada Darmini.
Baca Juga: Siti Hayinah: Sang Penggerak Organisasi
Siti Hayinah juga menjadi guru bagi anak-anaknya. Kepada ibunya Darmini belajar mengaji, berhitung, dan beragam pengetahuan lainnya. “Saya masih ingat, waktu saya masih SD, sama ibu saya diajari berhitung dan sebagainya. Jadi kalau ada PR dari sekolah, ya ibu yang ngajari. Sampai PR saya itu selalu paling bagus nilainya,” kenang Darmini.
Lahir tahun 1947, Darmini dibesarkan oleh Siti Hayinah di tengah kesibukannya menjadi Ketua Umum PP ‘Aisyiyah. Meski sibuk, Siti Hayinah tetap menaruh perhatian pada keluarganya. Ketika ada jadwal rapat ‘Aisyiyah di pagi hari, misalnya, sebelum berangkat Siti Hayinah telah menyiapkan sarapan sekaligus makan siang untuk keluarganya.
Darmini juga berceritera, Siti Hayinah sering mengajaknya mengikuti rapat-rapat PP ‘Aisyiyah. Keikutsertaannya dalam rapat-rapat itu membuatnya mengenal beberapa kawan perjuangan Siti Hayinah.
Dari rapat-rapat itu pula Darmini mengetahui bahwa ketika di forum, ibunya sangat teguh mempertahankan pendapatnya. Tegas, teguh, dan bijak memang menjadi watak dari perempuan kelahiran 1906 itu. Watak itu juga diterapkan dalam kehidupan rumah tangga. “Bapak dan Ibu punya sikap teguh dalam pendirian, yang di balik keteguhan itu terkandung kebijaksanaan,” ujarnya ketika dihubungi Suara ‘Aisyiyah, Selasa (4/1).
Lebih dari itu, Siti Hayinah juga mendukung penuh jalan hidup yang dipilih anak-anaknya. Kebebesan ruang berekspresi yang diberikan Hayinah itu misalnya tercermin dari perbedaan aktivitas yang digeluti anaknya. Perempuan yang kini menjadi dosen di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) itu mengatakan, ia bukanlah sosok yang mewarisi aktivisme ibunya.
Menurut Darmini, di antara saudara-saudaranya yang lain, Karnadi adalah yang paling aktif berorganisasi. Tidak tanggung-tanggung, aktivitas organisasi Karnadi itu pernah membuatnya di-skors dari IAIN Yogyakarta selama tiga tahun. Alih-alih menunggu waktu skorsnya habis, Karnadi memilih untuk pindah kuliah ke Universitas Islam Indonesia (UII). Perpindahannya itu tak lepas dari peran Siti Hayinah yang menjalin komunikasi dengan Rektor UII waktu itu, Abdoel Kahar Moezakir.
Setelah pindah ke UII, Karnadi tak jua berhenti “berulah”. Kali ini lantaran aktivismenya, ia bahkan sampai ditahan di Semarang selama satu pekan. Darmini kurang ingat peristiwa apa yang membuat saudaranya ditahan. Yang ia ingat, penahanan Karnadi itu berbarengan dengan jadwal pendadarannya di UII.
Sekali lagi, Siti Hayinah hadir sebagai seorang “penyelamat”. Ia meminta agar anaknya dibebaskan untuk sekadar mengikuti pendadaran. Dengan janji bahwa Karnadi akan kembali ditahan setelah pendadaran selesai, permohonan izin tersebut diterima. “Ini contoh betapa ibu itu berjuang untuk anaknya,” ujar Darmini. Akan tetapi, dibanding saudara-saudaranya yang lain, Karnadi lebih dulu menghadap Yang Kuasa.
Baca Juga: Diplomasi Aisyiyah: Sisi Lain Siti Hayinah
Ketika beranjak dewasa, Harijadi, Darmadi, dan Parmadi memilih mencari penghidupan ke Jakarta. Ketiganya hidup berjauhan jarak dengan kedua orang tuanya. Pada momen itu, kata Darmini, ketiga saudaranya merasakan arti penting dari ilmu dan keteladanan yang diberikan Siti Hayinah.
Sementara itu, Darmini memilih menetap di Yogyakarta. Selepas lulus kuliah, Darmini mengaku pernah bekerja ke luar kota. Tetapi karena tidak betah, ia akhirnya kembali ke tempat di mana ia lahir dan dibesarkan. Siti Hayinah, kata Darmini, tidak pernah membatasi ruang aktivitas anak-anaknya. Mereka diberi kebebasan untuk memilih di mana akan bekerja dan tinggal.
Kontribusi aktif dan positif Siti Hayinah di berbagai organisasi dan perhatian pada keluarganya mengundang decak kagum tak hanya bagi anaknya, tetapi juga orang lain. Sukriyanto AR, misalnya, mengatakan bahwa keluarga Siti Hayinah adalah contoh kehidupan keluarga yang sakinah. “Kalau mau lihat keluarga sakinah, ya antara lain keluarga Bu Hayinah itu,” tuturnya kepada Suara ‘Aisyiyah, Jumat (31/12).
Tahun 1991, tepat di usianya yang ke-85, Siti Hayinah mengembuskan nafas terakhir. Ia meninggal karena “penyakit tua”.