Oleh: Ahimsa W. Swadeshi/HNS
Sejak berdiri pada tahun 1917, melalui tangan-tangan perempuan yang ikhlas beramal dan berdarma bakti, ‘Aisyiyah berkomitmen untuk berperan dalam memajukan masyarakat dan negara. Di antara para perempuan ‘Aisyiyah yang tercatat telah memberikan banyak kontribusi bagi bangsa ini ialah Siti Hayinah.
Mahir Berorganisasi
Perempuan yang lahir dan besar di tanah Kauman, Yogyakarta, ini bukan hanya sekali dua kali mendapatkan amanah di Pimpinan Pusat (PP) ‘Aisyiyah. Ia merupakan kader perempuan muda Kiai Dahlan dan Siti Walidah yang memang dipersiapkan untuk menggerakkan dakwah persyarikatan khususnya bagi perempuan. Dikenal mahir, berwawasan luas, dan pandai mengelola organisasi, tidak heran jika Hayinah dipercaya beberapa kali baik menjadi Sekretaris maupun Ketua Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah.
Pada tahun 1925, dalam usia yang cukup muda 19 tahun, ia telah mendapat kepercayaan sebagai Sekretaris Hoofdbestuur Muhammadiyah bahagian ‘Aisyiyah mendampingi Nyai Ahmad Dahlan selaku President Hoofdbestuur Muhammadiyah bahagian ‘Aisyiyah. Posisi sekretaris jelas bukan jabatan yang bisa dipegang oleh sembarang orang.
Tanpa kecakapan organisasi dan wawasan yang luas, Siti Hayinah jelas tidak akan mendapat amanat besar tersebut. Berkat jiwa kepemimpinannya pula, istri dari Mohammad Mawardi Mufti ini dipercaya menjadi Ketua Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah hingga lima periode. Dirinya pun sering dipercaya mewakili ‘Aisyiyah dalam berbagai kegiatan internal maupun eksternal ‘Aisyiyah.
Baca Juga: Diplomasi Aisyiyah: Sisi Lain Siti Hayinah
Hayinah beberapa kali dipercaya menjadi Ketua ‘Aisyiyah, yaitu pada Tahun 1946, 1953, 1956, 1959, dan 1962. Tahun-tahun tersebut bukan tahun yang mudah bagi pergerakan perempuan di Indonesia karena usia Indonesia yang masih muda. Kepemimpinan Hayinah juga melewati momen-momen penting, seperti Pemilu tahun 1955. Dalam majalah Suara ‘Aisyiyah, Juni 1955, memuat Seruan Pusat Pimpinan ‘Aisyiyah tentang Pemilihan Umum yang ditandatangani oleh Siti Hayinah selaku Ketua ‘Aisyiyah. Terdapat empat hal yang diserukan untuk mendorong partisipasi aktif ‘Aisyiyah di semua tingkatan dalam perhelatan pemilu pertama di Indonesia.
Sebagaimana dijelaskan oleh Sukriyanto AR, Ketua Lembaga Seni Budaya dan Olahraga (LSBO) PP Muhammadiyah, bahwa setidaknya dalam beberapa kali periode, beliau mendapatkan amanah sebagai ketua. Bahkan pada masa kepemimpinan K.H. M. Yunus Anis, Ketua Umum PP Muhammadiyah 1959-1962, Siti Hayinah dipercaya menjadi salah satu dari empat orang perempuan yang terlibat di tubuh PP Muhammadiyah. Anggota lainnya ialah Siti Aisyah Hilal, Siti Badilah Zubair, dan Siti Baroroh. Ketika itu, belum ada kebijakan bahwa ‘Aisyiyah menjadi organisasi otonom (ortom) khusus Muhammadiyah.
Kiprah Hayinah dalam Pergerakan Perempuan
Bukan hanya berkecimpung membangun internal persyarikatan melalui ‘Aisyiyah maupun Muhammadiyah, Siti Hayinah juga banyak berkontribusi dalam lingkup nasional. Sejarah Indonesia mencatat momen penting Kongres Perempuan Indonesia I yang diselenggarakan pada 22 Desember 1928 di Yogyakarta. Kongres tersebut menjadi penanda persatuan gerakan perempuan di Indonesia yang memperkuat kesadaran kebangsaan dan meningkatkan derajat kehidupan perempuan.
Dalam momen bersejarah tersebut, Siti Hayinah memainkan peran strategis bersama dengan Siti Munjiyah sebagai representasi dari ‘Aisyiyah. Siti Hayinah merupakan anggota Steering Committee kongres yang berkontribusi dalam kesuksesan jalannya kongres. Ia juga didaulat menyampaikan pidato di depan khalayak peserta kongres yang diberinya judul ‘Persatuan Manusia’, sebuah tema yang progresif dan sangat relevan dengan spirit penyelenggaraan kongres.
Uswatun Hasanah, perempuan yang lama menjadi redaksi dan pengelola Suara ‘Aisyiyah menjelaskan, “Bu Hayinah kalau pidato memang menarik, teratur dan rapi, juga gayanya itu menarik.” Meskipun kebanyakan perempuan saat itu lebih banyak menguasai bahasa Jawa saja, perempuan yang biasa dipanggil Uswah ini mengungkapkan, bahwa murid perempuan Kiai Ahmad Dahlan itu telah fasih menggunakan bahasa Indonesia, bahkan memakai istilah-istilah dalam Bahasa Belanda.
Hayinah sendiri merupakan generasi kedua yang menempuh pendidikan di sekolah umum, Neutraal Meisjes School, bersama Siti Zaenab, Siti Aisyah, Siti Dauchah, Siti Dalalah, Siti Busyro, dan Siti Badilah. Selain itu, ia juga pernah bersekolah di Holland Inlandsche School (HIS) dan Fur Huischoud School di Yogyakarta.
Ibu kandung Uswah, Siti Wasilah, adalah sahabat dekat Siti Hayinah. Pada saat sahabat ibunya itu berpulang ke rahmatullah, Uswah yang diminta turut menata barang-barang di rumah Siti Hayinah menemukan majalah Isteri yang didalamnya memuat Congres Nummer yang diterbitkan beberapa waktu selepas Kongres Perempuan I tahun 1928. “Selesai kongres, Bu Hayinah ditugaskan untuk menuliskan majalah wanita yang diterbitkan oleh Perserikatan Perempuan Indonesia (PPI),” terang Agus S. Djamil, putra semata wayang Uswah yang mendampingi ibunya melakukan wawancara.
Baca Juga: Siti Hayinah: Tokoh Pers Perempuan Indonesia
Saat ini, Congres Nummer, telah diserahkan kepada Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, Suara ‘Aisyiyah, dan Museum Muhammadiyah sebagai arsip. Dokumen tersebut menunjukkan salah satu kiprah Siti Hayinah dalam dunia literasi khususnya literasi sebagai bagian dari pergerakan perempuan. Membaca majalah Isteri yang digawanginya akan terlihat kepiawaiannya dalam menerbitkan media. Demikian pula saat membaca naskah pidato Hayinah, tampak keluasan wawasannya dan ketangkasannya meramu gagasan maupun menerakan ide dalam tulisan.
Keterlibatannya dalam kegiatan yang melibatkan berbagai organisasi perempuan tersebut menjadikan ruang lingkup pertemanan Siti Hayinah cukup luas. Ia juga kerap menjadi representasi ‘Aisyiyah dalam berbagai pertemuan maupun kegiatan pergerakan perempuan. Siti Hayinah juga aktif di Badan Penasehat Perkawinan Perselisihan dan Perceraian (BP4), Gabungan Wanita Islam Indonesia (GOWII), dan Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia (BMOIWI). Di BP4, Siti Hayinah Mawardi pertama kali menjadi anggota. Ternyata di BP4 karirnya terus melejit. Setelah menjadi anggota dia menjadi ketua selama beberapa periode. Jabatan terakhirnya di BP4 adalah sebagai penasehat.
Siti Hayinah bersama tokoh ‘Aisyiyah yang lain juga berinteraksi dengan Fatmawati, istri Soekarno, ibu negara pada masa itu. Sukriyanto menceritakan, “beliau termasuk satu dari tiga orang yang pada masa RIS diundang bertemu Bung Karno ketika tinggal di Yogyakarta.” Bersama tokoh ‘Aisyiyah lain, seperti Siti Aisyah Hilal dan Siti Badilah Zubair, Siti Hayinah kerap berkunjung ke Istana Negara menemui Fatmawati, istri Presiden Sukarno yang dulu juga merupakan aktivis Nasyiatul ‘Aisyiyah di Bengkulu, tanah kelahirannya.
Di antara kunjungan-kunjungan itu, Siti Hayinah menjadi salah satu saksi ketika Fatmawati bercerita tentang nostalgianya dengan organisasi perempuan mudanya ‘Aisyiyah itu. Dijelaskan oleh Sukriyanto, “Fatmawati bercerita bahwa waktu menjahit merah putih yang kemudian menjadi bendera proklamasi, ia sambil rengeng-rengeng lagu Nasyiahku Sayang.” Kenangan itu memberikan kesan bahwa terdapat nafas Nasyiatul ‘Aisyiyah dalam jahitan bendera pusaka merah putih.