Oleh: Hajar Nur S
Siapa sangka ternyata besar peranan ‘Aisyiyah dalam menerbitkan majalah Isteri, yakni majalah yang diterbitkan pertama pada Mei 1929 di Yogyakarta oleh Perikatan Perempuan Indonesia (PPI). Tertulis dalam terbitan pertama sebagai ‘Soerat chabar boelanan dalam bahasa Melajoe oentoek sekalian Isteri-isteri dan toean-toean jang memperhatikan pengetahoean Isteri’. Rupanya, ada Siti Hayinah di balik redaksi Isteri.
Menggawangi Soerat Chabar Isteri
Penerbitan surat kabar Isteri merupakan amanat hasil Kongres Perempuan Indonesia I pada Desember 1928. Dalam Voorstel (usulan) yang disampaikan oleh anggota kongres, penerbitan surat kabar memang menjadi salah satu usulan yang banyak dilontarkan, baik oleh Hoofd Comite, Panti Kerido Wanita Pekalongan, dan tentu saja dari H.B. ‘Aisjijah.
Siti Hayinah tampak menggawangi penerbitan majalah yang direncanakan terbit setiap bulan satu kali serupa surat kabar tersebut. Ia dipercaya menjadi Commissie Redactie bersama enam aktivis perempuan yang lain: Nji Hadjar Dewantara, Nj. Ali Sastro Amidjojo, Soenarjati, Badiah Moerjati, Ismodedijatie. Dari beberapa nama tersebut, tampak bahwa St. Hayinah yang cukup memiliki pengalaman dalam mengelola majalah. Apalagi kalau bukan Suara ‘Aisyiyah yang terbit hampir 3 tahun sebelumnya, yakni pada Oktober 1926.
Di Balik Nafas Panjang SA
Pada majalah Suara ‘Aisyiyah No 4. Bulan Rajab, Tahun 1927, nama Siti Hayinah sudah tertulis sebagai pengurus bersama Siti Wakirah, Siti Wardhiah, dan Siti Barijah. Hayinah memang dikenal sebagai salah satu intelektual perempuan saat itu, gemar membaca sehingga luas wawasannya, pandai berbahasa, dan suka menuliskan gagasannya. Suara ‘Aisyiyah juga menjadi saksi pemikiran Siti Hayinah melalui tulisan-tulisannya, seperti artikel yang berjudul “Kewajiban Kita”, “Aisyiyah Menghadapi Kenyataan”, dsb.
Dalam naskah pidatonya bertajuk “Kepentingan Lectuur Perempoean” yang disampaikan Hajinah pada kongres ‘Aisyiyah ke-21 di Medan, ia menyebut beberapa nama penulis perempuan sekaligus majalah yang dibacanya, seperti Sakinah binti Al-Husain, Aisyiyah binti Thalhah, Amrah Aljamhiyah, Qadariyah Husein, Balsim, hingga Anisah Mei. Nama Qadariyah, Balsim, dan Anisah adalah para perempuan penulis di Mesir yang dikenal dengan gagasan pembaruannya. Rupanya, Siti Hayinah juga sudah membaca surat kabar seperti Al-Mar’atul Misriyah, Shihhatul ‘A-ilah, dan beberapa lainnya.
Dari bacaan Hayinah pula kita dapat mengatakan, bahwa sebagaimana para tokoh pembaruan Islam termasuk para tokoh Muhammadiyah yang antara lain terinspirasi dengan gagasan pembaruan melalui berbagai bacaan yang didapatnya, demikian pula para tokoh perempuan pembaruan Islam sebagaimana Hayinah yang memperkaya wawasan pembaruannya melalui bacaan-bacaan yang menawarkan gagasan pembaruan Islam. Salah satu penanda gagasan pembaruan Islam adalah pandangan kesetaraan beramal saleh antara laki-laki dan perempuan, hingga pentingnya pemenuhan hak dasar, seperti pendidikan bagi perempuan yang sangat lekat dengan profil gerakan ‘Aisyiyah.
Dari buku 15 Tahoen Soeara ‘Aisjijah, kita juga mengetahui bahwa Hajinah telah menjadi Pemimpin Redaksi Suara ‘Aisyiyah pada 1938. Tampaknya, ia pula yang memprakarsai penerbitan buku 15 Tahoen Soeara ‘Aisjijah tersebut. Mengingat buku tersebut terbit pada 1940 saat Suara ‘Aisyiyah berada dalam kepemimpinannya.
Dari buku yang cukup tebal itu, berisi 180 halaman plus 54 halaman berupa foto-foto Moment Openbaar Aisjiah, kita dapat menemukan riwayat Suara ‘Aisyiyah sejak tahun pertama terbit pada 1926, mulai dari maksud penerbitan, personil redaksi, hingga oplah. Tahun pertama, misalnya, Suara ‘Aisyiyah terbit sebanyak 9 nomor dengan tebal halaman keseluruhan 138. Tahun itu pula, SA cetak dengan oplah antara 600-900 buah, dan angka ini terus merangkak naik mulai 1000 eksemplar, 2000 hingga 2500 pada tahun 1938.
Buku tersebut juga memuat beberapa tulisan dari para tokoh pergerakan perempuan Indonesia, seperti Maria Ulfah hingga Nyi Mangunsarkoro. Keluasan jejaring Siti Hayinah dalam pergerakan perempuan Indonesia memungkinkannya untuk memuat gagasan para tokoh perempuan tersebut. Hal serupa, seperti informasi tentang perkembangan pergerakan perempuan Indonesia juga mewarnai halaman-halaman Suara ‘Aisyiyah. Mulai dari informasi singkat tentang Kongres Perempuan Indonesia IV hingga Anjuran Pengurus Besar Isteri Indonesia terhadap pengangkatan anggota Volksraad yang belum memasukkan perempuan bumiputera.
Kepemimpinan Siti Hayinah juga menunjukkan perhatian pada literasi bagi anak-anak. Pada tahun 1939, tepatnya di bulan Mei, SA mulai menerbitkan Taman Nasjiah yang tertera sebagai ‘Madjallah oentoek anak-anak, terbit tiap-tiap boelan oleh Soeara ‘Aisjijah’ sebagai bagian dari majalah SA. Dalam edisi perdana itu, terdapat tulisan tentang ‘Perhatian Akan Terbitnya Taman Nasjiah yang ditulis Pengurus SA, tertanda Siti Hayinah dan Siti Wachidah. Disebutkan dalam tulisan tersebut tentang pentingnya anak-anak untuk dididik melalui bacaan surat kabar.
Namun sayang surat kabar bagi anak-anak yang sempat terbit di kalangan Muhammadiyah, seperti Siswa Poestaka (1921) berumur dua tahun, Poestaka Hizboel Wathan berumur 6 tahun, surat kabar Gembira di Kotagede tidak sampai dua tahun, maupun Soeara Moerid di Palembang yang juga tidak berumur lama. Berangkat dari keprihatinan tersebut, selanjutnya SA berinisiatif menyediakan halaman bagi anak-anak yang diberi nama Taman Nasjiah yang disiarkan kepada Nasjiah khususnya maupun murid-murid pada umumnya.
Baca Juga: Siti Hayinah: Ikon Gerakan Keilmuan ‘Aisyiyah
Kesadaran dan komitmen literasi Hayinah yang tidak diragukan hingga terlibat secara aktif sejak tahun awal kelahiran SA telah membuatnya berada di balik daya juang dan daya tahan majalah yang ternyata dapat terbit hingga saat ini. Di antara berbagai surat kabar maupun majalah perempuan yang hadir semasanya, memang hanya SA yang mampu bertahan.
Namun untuk melewati fase itu, Suara ‘Aisyiyah telah menempuh jalan terjal, naik turun, dan kembang kempis penerbitan. Hayinah menjadi saksi perjalanan terjal tersebut sekaligus mengawal agar SA tetap bertahan sesuai tujuan kelahirannya, yakni sebagai media literasi, media syiar Islam yang memuliakan perempuan, dan yang tidak kalah penting bahkan menjadi faktor kebertahanan tersebut adalah fungsi Suara ‘Aisyiyah sebagai media organisasi.
Ia telah mengibaratkan SA sebagai ‘pesawat terbang’ dan ‘radio’-nya ‘Aisyiyah. Itu berarti Suara ‘Aisyiyah merupakan sang penyampai informasi, tuntunan berorganisasi, pandangan organisasi, serta menjadi media komunikasi warga ‘Aisyiyah dari ujung Timur ke ujung Barat atau sebaliknya. Pada masa kepemimpinan Hayinah kita juga banyak menemukan foto tokoh ‘Aisyiyah daerah, mulai Minangkabau, Petta Taboekan, Solok, Palembang, Madoera, hingga Bulukumba. Demikian pula, berbagai berita ‘Aisyiyah dari berbagai daerah juga mewarnai majalah SA sehingga kita dapat mengetahui dinamika gerakan ‘Aisyiyah.
Saat berlangsung Kongres Muhammadijah Bagian Aisjijah, biasanya terdapat agenda pembahasan SA. Momen tersebut selain digunakan untuk melaporkan perkembangan SA, juga kerap digunakan Hayinah untuk menumbuhkan kepemilikan para pimpinan ‘Aisyiyah pada Suara ‘Aisyiyah dan mengajak para pimpinan untuk menjaga keberlangsungan SA. Ketika Suara Aisyiyah berada dalam situasi yang diistilahkannya, “hidup segan, mati tak mau”, dengan tegas Hayinah menawarkan pilihan, “Marilah Soeara ‘Aisjijah itu kita hidupi betul-betul… kalau tidak, baiklah kita bunuh saja mati-mati dan kita tanam dalam-dalam.”
Hayinah berharap betul atas kemajuan media yang dikelola oleh dan untuk perempuan ini menjadi bagian dari lectuur perempuan. Berbagai cara dilakukan dengan mengatur tebal-tipisnya halaman atau memperpanjang jarak waktu terbit. Untuk mengatasi problem keuangan lantaran biaya penerbitan majalah lebih besar dari sokongan yang diterima, maka ditetapkan sokongan hingga biaya berlangganan.
Demikian halnya dengan problem ketersediaan naskah yang selanjutnya banyak pula mendorong para penulis termasuk penulis dari ‘Aisyiyah di berbagai daerah untuk mengisi ruang-ruang pada halaman majalah. Suara ‘Aisyiyah pun pernah kesulitan izin terbit hingga akhirnya dapat diatasi dengan keluarnya izin terbit majalah tiga bulan sebelum terbit kembali pada Juni 1962 setelah sempat tidak terbit pada 1956. Sampai kemudian juga ditetapkan slogan ‘Oleh Kita, dari kita, dan bagi kita’ yang juga menghiasi cover majalah SA seperti tertera dalam edisi Juli-September 1939 untuk meningkatkan rasa kepemilikan SA oleh para pembaca.
Pesan Hayinah ‘Marilah Soeara ‘Aisjijah itu kita hidupi betul-betul’ sepertinya masih relevan hingga saat ini. Ia selalu mempercayai bahwa SA dapat menjadi suluh bagi para pembacanya. Rasanya, tidak berlebihan jika kita bisa menyebut Siti Hayinah sebagai salah satu tokoh pers perempuan Indonesia, sebuah dedikasi dari ‘Aisyiyah bagi khazanah pers Indonesia.
1 Comment