Oleh: Mu’arif
Dua tahun pasca penyelenggaraan Kongres Perempuan Indonesia I di Yogyakarta (Mataram, 22-25 Desember 1928), tepatnya pada Senin malam (2 Juni 1930), di tempat yang sama (nDalem Djojodipoeran), sebuah perhelatan akbar kembali mengukir sejarah, yaitu pembentukan Comité Pemberantasan Perdagangan Anak-anak (CPPA).
Jika dalam Kongres Perempuan Indonesia Pertama para aktornya terdiri dari perempuan dari berbagai kalangan, maka perhelatan akbar kali ini menghadirkan baik kaum laki-laki maupun perempuan. Profil perempuan yang cukup mewarnai jalannya proses pembentukan CPPA adalah perempuan yang ternyata juga turut mewarnai jalannya Kongres Perempuan Indonesia I. Perempuan itu bernama: Siti Munjiyah (Sitti Moendjijah).
CPPA
Koran Belanda, Tweede Blad De Koerier, pada edisi 54 (6 Juni 1930) menurunkan berita dengan tajuk: “Memerangi Perdagangan Perempuan dan Anak.” Diberitakan bahwa ada 35 paguyuban (perkumpulan) dan 22 organisasi yang berpartisipasi dalam proses pembentukan komite ini. Peserta yang hadir mencapai 1.500 orang memadati pendopo Djojodipuran. Hadir pula perwakilan dari Biro Urusan Pribumi dan Pemberantasan Perdagangan Perempuan (mewakili unsur pemerintah kolonial).
Munculnya inisiatif membentuk Comité Pemberantasan Perdagangan Anak-anak (CPPA) tidak lepas dari kondisi sosial kaum bumiputra yang terhimpit oleh sistem politik kolonial. Salah satu program politik etis adalah memperbaiki sistem pengairan dalam rangka peningkatan hasil pertanian. Dengan dibukanya perkebunan-perkebunan produktif untuk kepentingan ekspor, muncul dampak sosial bawaan, seperti lahirnya kelompok buruh dari luar kota/daerah.
Kehidupan para buruh perkebunan sangat miris, terutama bagi mereka kaum perempuan. Lantaran terdesak oleh kebutuhan ekonomi, mereka memilih jalan kehidupan sebagai sundal. Tulisan Martin Sitompul, “Prostitusi di Perkebunan Deli” (2019) cukup jelas menggambarkan bagaimana proses para buruh perempuan beralih profesi menjadi sundal.
Baca Juga: Perempuan Merdeka, Kemajuan Peradaban Tercipta
Maraknya prostitusi tidak hanya terjadi di kota Deli Serdang (Sumatra Utara), tetapi hampir merata di kota-kota besar di Pulau Jawa. Situasi tersebut muncul seiring dengan lahirnya kelas elite baru dari kalangan bumiputra dalam struktur masyarakat kolonial sebagai dampak dari pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat.
Hal inilah yang menjadi keprihatinan pemrakarsa CPPA sehingga dalam rapat akbar pada Senin malam itu memberikan imbauan agar pemerintah meninjau kembali kontrak yang berkaitan dengan para buruh perempuan di Deli. Di samping itu, terdapat imbauan agar pemerintah memberikan fasilitas pengawasan di pelabuhan-pelabuhan (dalam rangka mencegah buruh perempuan ilegal) dan upaya propaganda melawan perdagangan perempuan (De Koerier edisi 54, 6 Juni 1930).
Sebelumnya, sekitar tiga tahun sebelum penyelenggaraan CPPA, Haji Fachrodin yang tidak lain adalah kakak kandung Siti Munjiyah, dalam pelayaran ke Minangkabau (Sumatra Barat) sekapal dengan para buruh yang akan bekerja sebagai kuli di perkebunan tembakau di Deli. Fachrodin menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana kehidupan miris para buruh perempuan yang terjebak dalam praktik prostitusi dan perdagangan perempuan (Sasjardi, Kiai Haji Fakhruddin, h. 62).
Apa yang menjadi keprihatinan Fachrodin inilah yang kemudian disuarakan dengan lantang oleh adik kandungnya yang juga seorang perempuan, yaitu Siti Munjiyah. Dalam rapat akbar pembentukan CPPA, Munjiyah menyeru, “adalah tugas kita yang paling suci untuk melakukan segala kemungkinan untuk membuat perdagangan yang merendahkan ini menjadi tidak mungkin” (De Koerier edisi 54, 6 Juni 1930).
Ki Hajar Dewantara, pendiri Taman Siswa yang turut hadir mendukung pembentukan CPPA, memberikan pendapatnya bahwa momentum tersebut sangat strategis dalam rangka mengangkat posisi perempuan bumiputra. Sebab, menurut Ki Hajar, perempuan adalah ukuran keagungan suatu bangsa. Setelah mengisahkan panjang lebar tentang nasib kaum perempuan di dunia internasional yang terjebak dalam praktik perdagangan manusia, Ki Hajar mendorong untuk segera dibentuk CPPA. Ia juga mengusulkan kantor CPPA, terutama cabang-cabangnya, agar segera berdiri di seluruh negeri (De Koerier edisi 54, 6 Juni 1930).
Tiga Pemicu Perdagangan Perempuan dan Anak
Merebaknya prostitusi oleh para buruh perempuan di perkebunan tembakau di Deli Serdang telah menjadi kabar sumir di tengah situasi kaum bumiputra yang tersisih dalam sistem masyarakat kolonial. Kabar tersebut langsung mendapat respons dari para aktivis perempuan, tidak terkecuali organisasi ‘Aisyiyah.
Selain prostitusi di Deli Serdang, kasus perdagangan perempuan dan anak juga mulai merebak di kota-kota besar di Pulau Jawa, khusunya di pusat-pusat pertumbuhan ekonomi kaum bumiputra. Solo, Semarang, Batavia, termasuk Yogyakarta tidak luput dari sorotan atas kemunculan kasus perdagangan perempuan dan anak yang menjerumus pada praktik prostitusi.
Siti Munjiyah alias adik kandung Haji Fachrodin dengan getol menyuarakan kedudukan mulia kaum perempuan berdasarkan ajaran Islam. Ketika mendapat giliran berpidato dalam acara pembentukan CPPA, Munjiyah memaparkan panjang lebar tentang hakekat dan kedudukan mulia manusia di antara makhluk Tuhan lainnya.
Paparan Munjiyah ini mengingatkan kita pada pidatonya yang disampaikan dua tahun sebelumnya di tempat yang sama dalam momentum Kongres Perempuan Indonesia I (1928). Menurutnya, derajat perempuan tidak kalah mulianya dengan kaum laki-laki.
Munjiyah kemudian menggambarkan posisi yang tidak manusiawi di mana perempuan telah terjebak pada kasus perdagangan manusia. Saat itulah, adik kandung Haji Fachrodin menyeru bahwa tugas [kemanusiaan] kita yang paling suci adalah untuk melakukan segala kemungkinan agar perdagangan yang merendahkan [derajat manusia—pen] ini menjadi tidak mungkin (De Koerier edisi 54, 6 Juni 1930).
Dalam kacamata Munjiyah, ada tiga penyebab terjadinya kasus perdagangan perempuan dan anak. Pertama, penculikan. Tragedi penculikan anak, khususnya remaja putri, yang terjadi di kota-kota besar, menjadi pemicu praktik prostitusi anak. Fenomena yang satu ini berawal dari kasus kriminal murni yang kemudian berubah menjadi praktik asusila dengan cara paksaan yang biasanya melibatkan sindikat kriminal. Posisi perempuan atau anak dalam konteks ini sebagai “tertindas” karena melakukan praktik asusila dengan cara dipaksa.
Kedua, ekonomi keluarga. Dalam struktur masyarakat kolonial, kaum bumiputra berada pada posisi buritan yang “termiskinkan” secara ekonomis dan “terlemahkan” secara sistemik sehingga jauh dari standar hidup sejahtera. Fakta kemiskinan struktural tidak dapat dimungkiri bagi kaum bumiputra.
Baca Juga: Filantropi: Atasi Kemiskinan, Wujudkan Kehidupan Berkeadilan
Sabda Nabi saw, “kaada al-fakru an yakuuna kufran” seperti menjadi adagium yang tak terbantahkan, bahwa “situasi miskin itu memang lebih dekat pada kekufuran.” Seperti dalam kasus perdagangan perempuan dan anak dalam konteks ini, Siti Munjiyah menggambarkan sebagai berikut: “…biasanya karena kekurangan uang, menyerahkan gadis itu kepada kreditur mereka atau kepada pedagang semacam itu…” Nah, posisi perempuan atau anak dalam konteks ini sebagai “tertindas” secara struktural (akibat kemiskinan struktrual) dan sekaligus kultural (mentalitas lemah dan memilih jalan pintas).
Ketiga, watak atau mentalitas. Siti Munjiyah menegaskan bahwa selain faktor penculikan dan ekonomi keluarga, watak atau mentalitas memang turut andil memperkeruh kasus maraknya prostitusi pada waktu itu. Dalam konteks ini, posisi perempuan atau anak yang terjebak pada kasus prostitusi lebih disebabkan oleh mentalitas individu.
Dengan dibentuknya CPPA, banyak tokoh yang hadir dalam kesempatan tersebut menaruh harapan besar. Seperti Ki Hajar Dewantara yang mengungkapkan bahwa, “salah satu kegiatan terbaik di bidang sosial adalah mengangkat derajat perempuan, yang bertanggung jawab atas pendidikan generasi muda, harapan tanah air.” Di akhir pidato Ki Hajar berucap, “saya berharap, para politisi yang memperjuangkan kemerdekaan tidak akan mencapai tujuannya sampai masyarakat tahu bagaimana menghormati perempuan”.
Siti Munjiyah
Siti Munjiyah yang menjadi salah satu utusan ‘Aisyiyah dalam acara pembentukan CPPA di sini adalah salah satu putri Haji Hasyim Ismail, Lurah Keraton Yogyakarta. Dia bersaudara dengan Jasimah, Syuja’, Fachrodin, Hadikusuma, Zaini, Siti Bariyah, dan Siti Walidah (Yunus Anis, 1969: 9). Anak-anak keturunan Haji Hasyim Ismail inilah yang dikenal dengan sebutan “Bani Hasyim.” Mereka adalah penggerak Muhammadiyah sejak pertama kali didirikan oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan (1912).
Adik kandung Haji Fachrodin ini tidak hanya piawai dalam berkhotbah. Pengalaman menjadi muballighat perempuan di ‘Aisyiyah memantapkan dirinya sebagai seorang dai perempuan yang andal. Walaupun demikian, ia seorang ulama perempuan yang memiliki pandangan inklusif dan toleran. Meskipun dalam pidatonya dia membela hukum Islam, tetapi dengan bahasa yang halus dia berusaha untuk tidak merendahkan agama-agama lain.
Di antara pengurus ‘Aisyiyah, Siti Munjiyah paling terbiasa diundang dalam perkumpulan-perkumpulan perempuan lintas agama. Dalam menyampaikan pidato, Munjiyah hampir tidak pernah menyinggung ataupun menjelek-jelekkan agama lain. Karakter semacam ini memang amat jarang di ‘Aisyiyah. Ketika ‘Aisyiyah mendapat undangan dari organisasi perempuan lain, maka Siti Munjiyah yang datang mewakili.
Namanya memang cukup dikenal di kalangan organisasi perempuan lain, seperti Wanita Taman Siswa, Wanita Utama, Jong Java, dan sebagainya (Sri Sutjiatiningsih, 1919: 20). Siti Munjiyah tak kenal lelah berjuang di ‘Aisyiyah. Pada tahun 1955, ia mengembuskan nafas terakhirnya setelah berjuang memimpin ‘Aisyiyah.