Tuban, Suara ‘Aisyiyah – SMK Pelayaran Muhammadiyah Tuban menggelar workshop terkait penerapan sekolah bebas perundungan (bullying), Selasa (14/12). Margo Sanotoso selaku Ketua Panitia workshop menuturkan bahwa kegiatan tersebut merupakan bagian dari rangkaian pendampingan sekolah pusat keunggulan.
“Beberapa kegiatan telah kita lakukan terkait sekolah Pusat Keunggulan, workshop ini adalah pendampingan terakhir,” tuturnya.
Sementara itu, Suyanto selaku Kepala SMK mengatakan bahwa di mata masyarakat, SMK Pelayaran Muhammadiyah Tuban dikenal dengan sekolah yang displin dan dianggap semi militer.
Dia berharap dengan adanya workshop tersebut, para tenaga pendidik mampu membedakan antara prundungan dan kedisiplinan. “Dengan diadakan workshop terkait dengan anti perundungan, bapak ibu mampu memahaminya dengan baik dan diterapkan sehingga SMK Pelayaran Muhammadiyah Tuban bebas dari bullying maupun tindak kekerasan di lingkungan sekolah,” ucapnya.
Baca Juga: Etika dalam Bermedia Sosial
Ima Fitria Sholichah selaku narasumber menjelaskan bahwa perundingan adalah segala bentuk penindasan atau kekerasan yang dilakukan dengan sengaja oleh satu atau sekelompok orang yang lebih kuat atau berkuasa terhadap orang lain. “Kekerasan itu bertujuan menyakiti dan dilakukan terus menerus sehingga merugikan si korban,” jeasnya.
Berdasarkan data yang dia peroleh, Indonesia berada di urutan ke-5 sebagai negara dengan kasus perundungan di sekolah. Pada bulan Juni 2017, terdapat 117 kasus perundungan yang dilaporkan, di mana sebagian besar kasus terjadi pada sekolah menengah. Sementara Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat terdapat 77 kasus perundungan anak baik sebagai korban maupun pelaku hingga bulan Mei 2018.
Angka tersebut, menurut Ima, bisa saja lebih kecil dari data sebenarnya, mengingat adanya kemungkinan tidak semua penyintas melaporkan perundungan yang ia alami. Kata dia, perundungan ada 3 (tiga) macam berdasarkan lingkungan kejadiannya. Pertama, perundungan di sekolah. Kedua, perundungan di rumha. Ketiga, perundungan di masyarakat.
Tentang perundungan di sekolah, menurut dia, perilaku agresif yang dilakukan berulang-ulang oleh seorang atau sekelompok siswa yang memiliki kekuasaan terhadap siswa lain yang lebih lemah dengan tujuan menyakiti. “Hal seperti ini biasanya terjadi pada sekolah yang memberlakukan senioritas di luar jam sekolah,” ujarnya.
Ima menyebutkan, ada tiga bentuk perundungan. Pertama, perundugan verbal, yaitu memanggil dengan sebutan yang tidak baik, menggoda, atau menggosip. Kedua, perundungan fisik, yaitu menampar, memukul, menjambak, mencubit, mencakar, mengunci seseorang dalam ruangan, dan merebut barang. Ketiga, emosional, yaitu penganiayaan, pemerasan, serta pemeringkatan karakteristik pribadi seperti cacat tubuh, dan ras.
Dia juga menyebutkan dua bentuk perundungan. Pertama, pelecehan seksual, eksibisionisme, voyeurism. Kedua, cyber bullying menggunakan sosial media untuk menghina dan mempermalukan dan juga mengancam.
“Cyber bullying sulit diidentifikasi karena pelaku tidak berhadapan langsung, dia menggunakan media sosial,” tandasnya.
Kata perempuan yang merupakan dosen di Universitas Muhammadiyah Gresik, dari 2.777 anak muda Indonesia berusia 14-24 tahun, sekitar 45% mengaku mengalami perundungan melalui daring. “Tingkat pelaporan dari anak laki-laki sedikit lebih tinggi dibandingkan anak perempuan, 49% dibandingkan dengan 41,” kata Ima.
“Dari 1.207 responden mengalami pelecehan melalui aplikasi chatting 45%, penyebaran foto atau video pribadi tanpa izin (41%), dan Jenis pelecehan lain 14%,” imbuhnya. (Iwan Abdul Gani)