Aksara

Soeara Aisjijah, Hindia Belanda, dan Dunia pada Paruh Pertama Abad Ke-20

Suara Aisyiyah

Oleh: Muhammad Yuanda Zara*

Lahir sejak tahun 1926, majalah bulanan terbitan ‘Aisyiyah, Soeara ‘Aisjijah (kini: Suara ‘Aisyiyah) masih menyapa pembacanya hingga kini. Majalah ini bukanlah media cetak perempuan yang pertama di Indonesia, yang dahulu bernama Hindia Belanda. Pers perempuan pertama ialah Soenting Melajoe yang terbit di Padang, tetapi hanya mampu bertahan dari tahun 1912-1921.

***

Majalah Soeara ‘Aisjijah adalah media kaum perempuan yang bertahan paling lama dibandingkan dengan rekan-rekan media perempuan yang sama-sama bermula dari masa kolonial. Usianya yang hampir satu abad bukan hanya sekadar angka, melainkan cerminan dari perjuangan panjang melintasi berbagai rupa zaman yang tidak jarang mengancam eksistensinya. Dua puluh abad yang telah dilaluinya bukanlah zaman yang pendek dan mudah, melainkan salah satu periode yang paling mengubah sejarah umat manusia dengan berbagai peristiwa-peristiwa besar yang terjadi pada periode itu.

Kajian komprehensif tentang kiprah Soeara ‘Aisjijah dalam perkembangan masyarakat Indonesia sepanjang abad ke-20 adalah suatu usaha yang masih bersifat permulaan, mengingat masih terbatasnya studi historis yang menjadikan majalah ini sebagai  objek kajiannya. Barangkali ini ada kaitannya dengan pandangan bahwa majalah ini “hanyalah” majalah yang hanya membahas isu-isu kaum perempuan serta tidak lebih dari media internal organisasi, sehingga kontennya pun sebagian besar, jika bukan semuanya, hanya  membahas persoalan-persoalan teknis keorgani-sasian, seperti keanggotaan, rapat-rapat, atau pembukaan cabang organisasi. Perspektif ini hanya sebagian benar karena penilikan yang lebih dalam terhadap isi majalah ini akan memberi kesan yang benar-benar berbeda kepada publik.

Tulisan ini akan mencoba mengemukakan beberapa kilasan singkat tentang tempat majalah Soeara ‘Aisjijah di dalam beberapa peristiwa besar yang terjadi di Hindia Belanda dan dunia pada paruh pertama abad ke-20. Lebih tepatnya, antara paruh kedua dekade 1920-an hingga era kolonial akhir. Masa tersebut adalah periode yang sejauh ini dapat direkonstruksi sesuai dengan ketersediaan sumber primer berupa edisi-edisi lawas majalah ini. Perisiwa-peristiwa besar yang dimaksudkan di sini berkaitan dengan perubahan sosial, politik, dan budaya yang mengubah wajah masyarakat Hindia Belanda dan dunia yang mendorong kaum perempuan Muslim Hindia Belanda yang tergabung dalam ‘Aisyiyah untuk turut meresponsnya.

Pertama adalah soal usaha majalah ini memajukan kesadaran kebangsaan di antara kaum pribumi, khususnya kalangan perempuan Muslim, di Hindia Belanda. Tahun 1920-an adalah puncak kekuasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda, yang ditandai dengan telah dikuasainya hampir semua wilayah-wilayah inti yang membentuk Hindia Belanda kala itu (Jawa sudah dikuasai sejak abad ke-19 sementara perang besar kolonial terakhir sudah usai dengan jatuhnya Aceh pada tahun 1904).

Di sisi lain, kaum pribumi yang mulai tercerahkan akibat pendidikan Barat maupun Islam modern serta inspirasi yang datang dari bangsa-bangsa lain yang ingin mencapai kemajuan (khususnya Mesir, Turki, dan Jepang), semakin menyadari bahwa ada yang salah dengan kolonialisme Belanda, yang mengeksploitasi alih-alih memberdayakan kaum pribumi. Dari sinilah lahir ide tentang kemajuan, termasuk di antara kalangan Muslim, yang awalnya berpusat di Yogyakarta dan Minangkabau. Dengan demikian, gerakan kebangsaan yang berasosiasi dengan kemajuan adalah gerakan bercorak global dengan beragam variasi lokalnya.

Baca Juga: Suara Aisyiyah dalam Arus Zaman

Salah satu respons Soeara ‘Aisjijah terhadap kemunculan kesadaran kebangsaan ini ialah dalam adopsinya atas bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar komunikasi dengan para pembacanya. Pada tahun-tahun pertama terbitannya, majalah ini menggunakan bahasa Jawa, mengingat para pembaca awalnya berdomisili di Yogyakarta dan sekitarnya. Walaupun berbahasa Jawa, aksara yang dipakai adalah Latin. Ini menunjukkan bahwa sudah ada kombinasi antara elemen tradisional dengan elemen modern dari sisi kebahasaan.

Seiring dengan perkembangan Muhammadiyah‘Aisyiyah ke luar Yogyakarta dan luar Jawa, khususnya ke Minangkabau di paroh kedua dekade 1920-an, pengelola majalah ini menyadari bahwa komunikasi lintas budaya membutuhkan bahasa yang dipahami bersama. Karena itu, majalah ini pun menggunakan bahasa Melayu yang kemudian dikenal sebagai bahasa Indonesia. Untuk beberapa aspek yang berkaitan dengan istilah teknis dan administratif, majalah ini menggunakan term-term yang diambil dari bahasa Belanda, salah satu bahasa pengantar modernisasi kala itu.

Kedua, majalah ini membangun kesadaran geografis bagi para anggota ‘Aisyiyah maupun pembaca majalah ini. Bagi banyak kaum pribumi di Hindia Belanda pada masa kolonial, dunia mereka tergolong kecil karena hanya berkisar di komunitas atau desa mereka sendiri. Pengetahuan geografi perihal wilayah yang lebih luas, apalagi perjalanan jarak jauh, adalah privilese orang Eropa atau kalangan pribumi kaya dan berpendidikan (yang jumlahnya sangat sedikit). Soeara ‘Aisjijah tidak hanya menjadi ruang untuk memenuhi kebutuhan literasi kaum perempuan Muslim, tetapi juga berperan dalam menyebarluaskan pengetahuan geografi tentang wilayah Hindia Belanda, yang kemudian menjadi wilayahnya Indonesia.

Majalah ini membangun kesadaran tentang ruang atau tempat dan posisi manusia Indonesia di dalamnya. Ini bukan hanya dalam pengertian berupa pengetahuan soal lokasi-lokasi di muka bumi, tetapi juga pengetahuan tentang keragaman budaya dan manusia yang ada di tempat-tempat itu. Pada tahun 1930, majalah ini berkantor di Kauman, Yogyakarta. Akan tetapi, isi beritanya pada edisi-edisi yang terbit di tahun itu mengulas tempat-tempat yang sangat jauh dari Kauman, yang asing bagi banyak orang Yogyakarta sendiri. Salah satu contohnya adalah berita tentang pendirian cabang ‘Aisyiyah di Gorontalo di ujung Utara Pulau Sulawesi di Soeara ‘Aisjijah edisi No. 5 (Oktober 1930). Jarak antara Yogyakarta-Gorontalo mencapai lebih dari 1600 km dan di era ketika transportasi modern jarak jauh masih sangat minim, jarak ini luar biasa jauh.

Namun,  majalah ini mendekatkan pembacanya di Yogyakarta maupun di bagian Hindia Belanda lainnya dengan suatu tempat bernama Gorontalo, termasuk juga tentang masyarakatnya, kaum Muslimnya, tradisinya, dan pergerakan-pergerakan yang sedang berlangsung di sana. Dengan cara ini, ada kesadaran bahwa kaum perempuan Muslim modernis di Jawa berbagi aspirasi yang sama menuju kemajuan kaum perempuan seperti kaum Muslimah di Sulawesi.

Masih panjang daftar daerah di luar Yogyakarta yang diperkenalkan Soeara ‘Aisjijah kepada pembacanya, termasuk Kendal, Tegal, Madura (Sampang, Bangkalan, Pamekasan,  Sumenep, Pakong, Plakpak), Palembang, hingga Minangkabau (yang berjarak sekitar 1300 km dari Yogyakarta). Majalah ini bahkan menempatkan orang Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia, umpamanya melalui berita tentang perbandingan perkembangan pergerakan kaum perempuan di Hindia Belanda dengan di Mesir yang diterbitkannya tahun 1930.

Ketiga, membangun kesadaran bahwa kaum perempuan adalah elemen kunci dalam kemajuan suatu komunitas. Soeara ‘Aisjijah menggunakan frasa ‘bangsa perempuan’ untuk menggambarkan bahwa perempuan adalah suatu komunitas bahkan suatu dunia tersendiri, yang mempunyai aspirasinya sendiri dan patut mengusahakan sendiri kemajuannya. Di edisi-edisi awal majalah ini dapat ditemukan berbagai seruan kepada kaum perempuan untuk turut menempuh pendidikan formal. Di masa sekarang, ajakan ini mungkin sudah biasa saja. Akan tetapi, ajakan tersebut harus ditempatkan dalam konteks 1920-an dan 1930-an, masa ketika kaum perempuan umumnya sepanjang hidupnya berada di rumah.

Selain itu, keputusan ‘Aisyiyah untuk menerbitkan sebuah majalah di tengah suatu masyarakat pribumi yang sebagian besar masih buta huruf adalah suatu langkah besar dalam hal pemberdayaan kaum perempuan. Bahan bacaan untuk kaum pribumi di era kolonial amat terbatas, dan dari yang terbatas itu, tidak cukup banyak pula pilihan yang tersedia yang secara khusus memberi tempat yang signifikan pada isu-isu seputar perempuan. Karena itu, kelahiran Soeara ‘Aisjijah harus dilihat tidak hanya sebagai dokumentasi sejarah yang membuat orang  zaman sekarang dapat membaca tentang perdebatan soal kemajuan kaum perempuan, tetapi juga sebagai bentuk bukti dari kemajuan itu sendiri.

Baca Juga: Suara Aisyiyah Tahun 1932: Kesetaraan Gender Jangan Hanya Dimaknai Pemenuhan Hak Perempuan di Ruang Publik

Sebuah majalah adalah buah dari modernitas, terutama mesin cetak, salah satu revolusi terbesar dalam sejarah umat manusia. Dalam konteks ini, Soeara ‘Aisjijah tidak hanya berperan membangun opini publik tentang perlunya kaum perempuan bervisi maju, tetapi juga mempercepat penyebaran ide kemajuan itu sendiri, menciptakan suatu komunitas pembaca yang khas (perempuan pribumi Muslim di dunia kolonial), dan meluaskan jangkauan geografis dari diseminasi ide itu hingga melewati batas-batas lokal dan kultural Yogyakarta.

Majalah ini tidak hanya menjadi saksi dari munculnya kesadaran kebangsaan di Indonesia, namun juga saksi dari peristiwa besar lain yang mengubah wajah Hindia Belanda untuk seterus-nya, yakni invasi Jepang atas koloni Belanda itu. Ini terjadi di masa akhir kolonial, tepatnya di tahun 1941-1942. Invasi Jepang ini adalah bagian dari Perang Dunia Kedua. Invasi ini menandai berakhirnya penjajahan Belanda yang sangat lama di Indonesia dan memunculkan Jepang sebagai penguasa baru yang masa kekuasaannya singkat, tetapi kejam, di Indonesia. Nazi Jerman menginvasi negeri induk Hindia Belanda, Belanda, pada Mei 1940, dan pada Januari 1942 sekutu Jerman di Asia, Jepang, menginvasi Hindia Belanda. Perang di berbagai belahan dunia berlangsung hingga Agustus 1945.

Orang mungkin akan membayangkan bahwa perkembangan tentang peperangan di seluruh dunia di atas hanya akan bisa dibaca di koran atau majalah umum pada masa itu. Nyatanya, Soeara ‘Aisjijah, yang umumnya dipandang sebagai majalah internal organisasi serta majalah khusus kaum perempuan, juga turut berpartisipasi dalam merespons perang global itu. Apabila dari edisi-edisi Soeara ‘Aisjijah di tahun 1920-an dan 1930-an orang bisa mendapatkan ide tentang perkembangan sosial di tengah masyarakat pribumi, khususnya kaum perempuan, di Hindia Belanda (soal pendidikan, kesehatan, literasi, dan sebagainya), maka di edisi-edisi majalah ini pada dua tahun pertama dekade 1940-an orang dapat menangkap kesadaran mondial dari redaksi majalah ini.

Saat itu, Suara ‘Aisjijah tidak hanya bicara tentang kemajuan kaum perempuan, tetapi juga memberi peringatan kepada publik soal bahaya bangkitnya fasisme di Eropa, hingga serangan-serangan dari sekutu Jerman di Asia, Jepang, dan dampak buruknya di Asia Timur dan Asia Tenggara. Pendudukan Jepang memaksa majalah ini undur diri, tetapi kelahiran negara Indonesia secara formal di tahun 1945, dan situasi yang mulai damai di tahun 1950-an, menjadi kesempatan bagi majalah ini untuk kembali eksis dan berkontribusi bagi masyarakat, seperti yang sudah dilakukannya di sekitar satu setengah dekade terakhir era kolonial.

Majalah ini dapat dikatakan merupakan salah satu dari sedikit sumber sejarah primer yang tersedia dari perspektif perempuan, khususnya Muslim, dalam upaya sejarawan untuk merekonstruksi sejarah pergerakan kaum perempuan Indonesia di masa kolonial hingga masa invasi Jepang atas Hindia Belanda. Dari halaman-halaman majalah ini pula orang akan dapat melihat bagaimana kaum perempuan Muslim Indonesia bervisi maju melihat dan merespons berbagai perubahan di level lokal, nasional dan global pada periode itu. Dengan demikian, merekonstruksi sejarah Indonesia dan dunia pada paruh pertama abad ke-20 niscaya akan lebih lengkap dengan mengkaji diskursus-diskursus yang ada di majalah Soeara ‘Aisjijah dari sejak 1926 hingga runtuhnya Hindia Belanda pada tahun 1942.

* Staf Pengajar Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta

Related posts
Berita

Suara 'Aisyiyah Institute Sukses Gelar Bedah Buku Fiqh Perempuan Berkemajuan

Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Pada Sabtu (21/12), Suara ‘Aisyiyah Institute sukses menggelar acara Bedah Buku Fiqh Perempuan Berkemajuan secara daring melalui Zoom…
Berita

Peserta IP-COS Summer Course 2024 UMY dari USIM Kunjungi Suara Aisyiyah

Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Pemimpin Perusahaan Malajah Suara ‘Aisyiyah Khusnul Hidayah, ditemani Bendahara Ni’mah Af’idati, dan Hajar Nur Setyowati selaku Pemimpin Redaksi…
Berita

Pendidikan Politik Perempuan Berkemajuan

Pekalongan, Suara ‘Aisyiyah – Dalam rangka menjelang Pesta Demokrasi, Pilpres dan Legislatif yang Insyaallah akan berlangsung tanggal 14 Februari 2024 Pimpinan Daerah…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *