Sejak remaja, Soekarno sudah mempunyai kedekatan dengan Muhammadiyah. Muasalnya adalah kebiasaan Kiai Ahmad Dahlan mengunjungi indekos milik H.O.S Tjokroaminoto di Gang Peneleh, No. VII, Genteng, Surabaya. Selain untuk bertukar pikiran dengan Tjokroaminoto, Kiai Dahlan juga mengajar penghuni indekos sekaligus murid Tjokroaminoto, yang salah satunya adalah Soekarno.
Pertemuannya dengan Kiai Dahlan itu pernah ia ceritakan di hadapan peserta Muktamar Setengah Abad Muhammadiyah tahun 1962 di Jakarta. “Dalam suasana yang remang-remang itu datanglah Kiai Ahmad Dahlan di Surabaya dan memberi tabligh mengenai Islam. Bagi saya (pidato) itu berisi regeneration dan rejuvenation daripada Islam,” kenangnya.
Pemahaman Islam yang dijabarkan Kiai Dahlan memantik kesadaran Soekarno: bahwa ada pertautan antara pemahaman agama Islam dengan kemajuan suatu masyarakat dan bangsa. Dari pertemuan dengan pemikiran dan kepribadian Kiai Dahlan itulah kedekatan dan kecintaan Soekarno kepada Muhammadiyah menguat.
Lelaki yang lahir pada 6 Juni 1901 dengan nama Koesno Sosrodihardjo itu semakin dekat dengan Muhammadiyah ketika pada 1938-1942 ia diasingkan ke Bengkulu. Di sana ia bertemu dengan tokoh Muhammadiyah setempat.
Baca Juga: Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah di Mata James L Peacock
Tokoh Muhammadiyah Bengkulu yang memainkan peran keterlibatan struktural Soekarno di Muhammadiyah adalah Hassan Din. Awalnya, ia melihat bahwa Soekarno mempunyai corak pemikiran Islam yang senada dengan organisasi yang didirikan Kiai Ahmad Dahlan.
Selama masa pengasingan itu, Soekarno tidak hanya tercatat sebagai Ketua Dewan Pengajaran Muhammadiyah Daerah Bengkulu, tetapi juga menjadi anggota resmi Muhammadiyah. Beberapa kali ia juga mengkritik pemahaman keagamaan anggota Muhammadiyah, seperti penggunaan tabir pemisah antara anggota laki-laki dan perempuan. Resmi menjadi anggota Muhammadiyah tak membuatnya segan mengkritik Muhammadiyah.
Di Bengkulu pula Soekarno bertemu dan mempersunting Fatmawati. Fatmawati merupakan putri Hassan Din yang aktif sebagai anggota Nasyiatul ‘Aisyiyah. Ibu Fatmawati, Hadijah, juga merupakan tokoh ‘Aisyiyah setempat.
Bertemu Tokoh ‘Aisyiyah
4 Januari 1946, ibu kota Indonesia dipindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Soekarno yang tahu betul bahwa Yogyakarta merupakan tempat kelahiran sekaligus basis gerakan Muhammadiyah-‘Aisyiyah segera memanfaatkan momentum itu untuk mempertemukan istrinya, Fatmawati, dengan tokoh ‘Aisyiyah.
Soekarno lantas mengundang beberapa tokoh ‘Aisyiyah ke Gedung Agung. Tiga tokoh ‘Aisyiyah yang memenuhi undangan tersebut adalah Siti Aisyah Hilal, Siti Hayinah Mawardi, dan Siti Badilah Zuber.
Baca Juga: Sejarah ‘Aisyiyah: Kelahiran Perempuan Muslim Berkemajuan
Dalam pertemuan itu, Soekarno meminta agar ibu-ibu ‘Aisyiyah mengajak Fatmawati terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan ‘Aisyiyah. Bagi Fatmawati, pertemuan tersebut adalah nostalgia. Kepada tokoh ‘Aisyiyah itu, Fatmawati menceriterakan pengalamannya ketika menjahit bendera merah putih. Dalam momentum bersejarah itu, Fatmawati mengaku menyenandungkan lagu Nasyiahku Sayang.
Hubungan yang Merenggang
Pada tahun yang sama, ada perbedaan paham politik antara Soekarno dan Muhammadiyah. Perbedaan paham tersebut membuat nama Soekarno hampir dicoret dari keanggotaan Muhammadiyah. “Tahun ’46 saya minta jangan dicoret nama saya dari Muhammadiyah,” ujarnya.
Pada tahun-tahun berikutnya, tepatnya awal tahun 1960-an, sikap politik Soekarno dinilai menyudutkan umat Islam. Meski begitu, Soekarno dengan tegas menyatakan bahwa dirinya tetaplah kader Muhammadiyah.
Selain hubungan yang merenggang dengan Muhammadiyah sebagai entitas organisasi, Soekarno juga pernah bersitegang dengan tokoh Muhammadiyah. 27 Januari 1964, tokoh Muhammadiyah asal Minangkabau Buya Hamka menjadi salah satu korban sikap politik Soekarno.
Baca Juga: Muhammadiyah Tidak Anti Budaya
Buya Hamka ditahan atas tuduhan upaya pembunuhan. Tuduhan yang menurut Buya Hamka sangat kelewat batas. Akhirnya, setelah melalui pemeriksaan selama 15 hari berturut-turut, ia ditahan selama 2 tahun 4 bulan. Meski begitu, Buya Hamka tak menaruh dendam pada sosok yang memenjarakannya itu. Ketika Soekarno wafat, Buya Hamka menjadi imam salat jenazahnya.
Kader Ideologis, Kader Biologis
Di tengah panas-dingin hubungan politik Soekarno dengan Muhammadiyah, pada 7 Juli 1953, Soekarno memberikan pengakuan atas besarnya sumbangsih Muhammadiyah kepada bangsa Indonesia melalui sebuah surat resmi. Selanjutnya, pada 16 Februari 1965, Soekarno juga memberikan pengakuan atas berdirinya organisasi otonom Muhammadiyah di tingkat mahasiswa, yakni Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah.
Peristiwa demi peristiwa itu menunjukkan bahwa Soekarno sangat bangga dengan identitas kemuhammadiyahannya. Suatu ketika, tidak cukup dengan meminta agar kontribusinya untuk Muhammadiyah ditagih, ia bahkan pernah mengatakan, “jikalau saya meninggal, supaya saya dikubur dengan membawa nama Muhammadiyah atas kain kafan saya”.
Perjumpaan dan kecocokan Soekarno dengan pemikiran/visi, tokoh, dan keluarga aktivis Muhammadiyah membuatnya tak sekadar sebagai kader ideologis Muhammadiyah, tetapi juga kader biologis. Dalam momentum Muktamar Muhammadiyah ke-35 di Jakarta (Muktamar setengah abad), Soekarno yang waktu itu merupakan Presiden Republik Indonesia mendapat sambutan hangat dari warga Muhammadiyah.
Kedatangan Presiden disambut dengan sebuah spanduk besar bertuliskan, “Bung Karno: Sekali Muhammadiyah, Tetap Muhammadiyah”. Atas sambutan luar biasa itu, dalam pidatonya Soekarno berujar, “sewaktu saya sampai di pintu masuk, mata saya langsung tertangkap oleh tulisan di sana, “Bung Karno: Sekali Muhammadiyah, Tetap Muhammadiyah”. Dan saya kepada Muhammadiyah, makin lama makin cinta”. (brq)
*Diolah dari berbagai sumber
2 Comments