Oleh: Tria Astika Endah Permatasari dan Chairunnisa
Balita stunting atau balita ‘pendek’ adalah balita dengan panjang badan atau tinggi badan (PB/U atau TB/U) yang tidak sesuai dengan pertambahan umurnya. Penentuan kategori ‘pendek’ dinilai dengan standar baku WHO-MGRS (Multicentre Growth Reference Study), yaitu nilai z-scorenya kurang dari -2 Standar Deviasi (SD). Sedangkan ‘sangat pendek’ jika nilai z-scorenya kurang dari -3 SD. Normalnya, pertumbuhan tinggi badan seiring dengan pertambahan umur. ‘Pendek’ dijadikan indikator masalah gizi karena lebih mudah dan lebih dini dikenal dibandingkan dengan ekspresi hambatan organ tubuh lainnya.
Sebagian besar balita ‘pendek’ mengalami gagal tumbuh pada periode 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Periode ini dimulai sejak dari fase kehamilan (270 hari) hingga anak berusia 2 tahun (730 hari) yang disebut periode ‘emas’. Periode tersebut juga disebut sebagai ‘window of opportunity’, karena status kesehatan pada periode 1000 HPK menentukan derajat kesehatan pada periode kehidupan berikutnya. Gagal tumbuh yang dialami pada periode ‘kritis’ ini bersifat permanen dan tidak dapat diperbaiki pada masa yang akan datang (WHO, 2017).
Makanan Halal dan Thoyyib Cegah Stunting (‘Pendek’)
Generasi ‘emas’ dihasilkan dari keluarga yang berkualitas. Terjadinya stunting balita atau ‘pendek’ dipengaruhi oleh unsur terkecil, yaitu keluarga dan lingkungan masyarakat sebagai unsur yang lebih luas. Lingkungan keluarga berpengaruh terhadap asupan makanan, baik pada ibu dan balita. Lingkungan terkecil ini juga menstimulasi munculnya faktor risiko lain yang secara langsung berdampak pada terjadinya stunting, seperti penyakit infeksi dan pola asuh.
Islam secara lugas mengatur konsep makanan halal dan thayyib dalam QS. al-Maidah: 88 (yang artinya), “dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya”.
Makanan halal hakikatnya adalah makanan yang ‘didapat’ dan ‘diolah’ dengan cara yang benar menurut agama. ‘Makanan yang baik belum tentu halal’ dan ‘makanan halal belum tentu baik’. Makanan yang diperbolehkan oleh agama adalah halal dari segi hukumnya, baik halal dzatnya, misalnya telur, buah-buahan, sayur-sayuran dan lain-lain, juga halal dalam proses memperoleh makanannya, yaitu diperoleh dengan usaha yang benar seperti sapi yang disembelih dengan menyebut nama Allah dan lain-lain.
Sementara makanan yang thayyib atau ‘baik’ yaitu makanan yang dikonsumsi dapat memberikan manfaat untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan tubuh. Makanan yang baik tidak membahayakan bagi kesehatan tubuh manusia. Konteks thoyyib bersifat kondisional sesuai dengan kebutuhan dan kecukupan asupan gizi yang diperlukan untuk setiap individu sesuai dengan kelompok usia, jenis kelamin, status kesehatan, maupun faktor fisiologis lainnya.
Baca Juga: Stunting: Masalah Bangsa, Masalah Kita
Islam tidak hanya mengajarkan tata cara makan yang sesuai tuntunan sunnah, namun juga memperhatikan kecukupan di mana terdapat batasan sepertiga diisi oleh makanan, sepertiga minuman, dan sepertiga oleh udara. Hal ini juga sejalan dengan konsep asupan gizi seimbang yang diperlukan bagi balita.
Asupan gizi seimbang dapat mencegah terjadinya stunting atau pendek, yaitu asupan makanan harus sesuai dan tepat dalam hal: pertama, jumlah atau porsinya, sesuai yang diperlukan tubuh berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) harian, kedua, kombinasi zat gizinya, antara konsumi sumber karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral dan kebutuhan cairan tubuh anak (1-1,5 liter/hari), serta ketiga, tahap pertumbuhan dan perkembangan anak, artinya kebutuhan kalori anak sesuai dengan berat badan dan tinggi badan menurut umurnya.
Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG), ibu hamil memerlukan tambahan asupan sebesar 300 kkal dari 2250 kkal dengan, dan tambahan asupan sekitar 330-400 kkal bagi ibu menyusui. Asupan tersebut harus seimbang, baik untuk zat gizi makro (karbohidrat, lemak, dan protein) maupun mikro (vitamin dan mineral) serta kebutuhan cairan untuk tubuh. Begitupun untuk balita. Kecukupan gizi disesuaikan dengan berat dan tinggi badan menurut umurnya, yang semakin meningkat seiring dengan pertambahan umur dan perkembangannya. Balita memerlukan kalori 550 kkal bagi bayi berusia 0-6 bulan (cukup terpenuhi dengan ASI eksklusif) dan meningkat seiring pertambahan usia hingga 1600 kkal saat berusia 5 (lima) tahun.
Penyebab Stunting
Stunting atau ‘pendek’ disebabkan oleh multifaktor, selain asupan makanan. Organisasi kesehatan dunia, WHO menetapkan kerangka konsep penyebab terjadinya stunting yang berasal dari tingkat rumah tangga (keluarga) maupun komunitas (masyarakat). Pada tingkat rumah tangga, stunting disebabkan oleh 8 (delapan) faktor.
Pertama, kondisi rumah, yaitu faktor yang berasal dari kelayakan dan kondisi sosio-ekonomi keluarga yang meliputi sanitasi dan air yang tidak memadai, rendahnya penghasilan keluarga, kurangnya ketersediaan makanan, dan rendahnya pendidikan ibu atau pengasuh.
Kedua, rendahnya kualitas asupan makanan, yaitu kurangnya kandungan zat gizi vitamin dan mineral, kurangnya keanekaragaman makanan dan asupan sumber pangan hewani. Ketiga, sanitasi dan higiene makanan dan minuman, yaitu berasal dari tingginya kontaminasi makanan dan minuman di rumah tangga, rendahnya praktik Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), dan penyimpanan serta penyajian makanan yang tidak aman.
Keempat, penyakit infeksi, yaitu seperti diare, Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), kecacingan, kurangnya nafsu makan akibat adanya infeksi, dan peradangan. Kelima, status kesehatan ibu, yaitu terjadinya Kekurangan Energi Kronis (KEK) baik sebelum hamil serta saat hamil dan menyusui, ibu yang ‘pendek’, infeksi, kehamilan remaja, jarak kelahiran yang pendek, melahirkan dengan kondisi pertumbuhan janin yang terhambat (Intra Uterine Growth Retardation) dan prematur, serta hipertensi.
Baca Juga: Membangun Ketahanan dan Kemandirian Pangan Berbasis Nilai-Nilai Islam
Keenam, pola asuh yang kurang baik, mencakup praktik perawatan anak yang buruk, kurangnya stimulasi dan aktivitas anak yang membantu perkembangan, dan buruknya pola pemberian makan (anak tidak mau makan). Ketujuh, pemberian ASI yang tidak memadai, hal ini disebabkan tidak dilakukannya Inisiasi Menyusu Dini (IMD), tidak diberikannya ASI eksklusif, dan menyapih secara dini, pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang sidak sesuai kecukupan gizinya
Kedelapan, penyebab balita stunting pada tingkat masyarakat atau negara disebabkan oleh beberapa faktor yaitu politik ekonomi, sistem pertanian dan pangan, ketersediaan air bersih dan sanitasi lingkungan, kesehatan dan pelayanan kesehatan, masyarakat dan budaya, dan tingkat pendidikan.
Dampak Stunting
Masalah beban gizi, yaitu masih tingginya masalah gizi kurang yang seiring dengan terjadinya gizi lebih, dialami oleh berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia. Stunting atau ‘pendek’ menimbulkan dampak buruk dalam jangka pendek, yaitu terganggunya perkembangan otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme dalam tubuh.
Dampak jangka panjang stunting adalah menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi belajar, menurunnya kekebalan tubuh sehingga rentan sakit, serta berbagai penyakit degeneratif, disabilitas saat lansia yang menurunkan kualitas SDM dan rendahnya produktivitas kerja dan status ekonomi.
Upaya Mengatasi Stunting
Gerakan perbaikan gizi untuk mengatasi masalah stunting dilakukan secara global dengan fokus terhadap kelompok 1000 HPK, yaitu Scaling Up Nutrition (SUN) Movement. Di Indonesia ditetapkan sejak tahun 2013 yang disebut Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi dalam Rangka 1000 HPK. Target perbaikan gizi ini adalah untuk ‘mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan meningkatkan gizi, serta mendorong pertanian yang berkelanjutan’.
Berbagai upaya intervensi yang dilakukan, yaitu: pertama, pada ibu hamil dengan memperbaiki gizi dan kesehatan seperti pemberian makanan tambahan dan pemberian minimal 90 tablet tambah darah selama kehamilan. Kedua, pada saat bayi lahir, yaitu dengan pemberian IMD dan pemberian ASI eksklusif.
Ketiga, pada saat bayi berusia 6-24 bulan yaitu pemberian MP-ASI yang tepat, pemberian kapsul vitamin A dan imunisasi lengkap. Keempat, memantau pertumbuhan balita di posyandu untuk mendeteksi secara dini terjadinya stunting. Kelima, meningkatkan perilaku PHBS. Perbaikan gizi juga perlu dilakukan sejak periode remaja untuk mempersiapkan periode kehidupan selanjutnya terutama saat kehamilan dan menyusui.
Selain itu, melalui ‘Gerakan Masyarakat Hidup Sehat’ (GERMAS) yang secara fokus dilakukan oleh pemerintah dan seluruh elemen di masyarakat termasuk ‘Aisiyyah, juga dapat mengakselerasi program percepatan perbaikan gizi terutama pada 1000 HPK di Indonesia. Pilar yang terdapat pada GERMAS juga menekankan asupan makanan (konsumsi sayur dan buah) serta sanitasi lingkungan yang berkontribusi mencegah terjadinya stunting. Hakikatnya, masyarakat sehat akan mencipatakan generasi-generasi emas, yaitu generasi muslim yang memiliki akhlak yang baik, sehat, cerdas dan berkualitas yang dicintai oleh Allah swt.