Oleh: Laili Isna Fatkhurrahmah*
Kartini tidak pernah gagal menjadi simbol perempuan berdaya bagi Indonesia. Di tengah situasi masyarakat dan feodalisme Jawa yang membelenggu perempuan pada masa itu, Kartini muncul serupa pelita dalam gelap bagi orang-orang di sekitarnya.
Setiap manusia baik laki-laki atau perempuan terlahir dalam keadaan suci. Tidak menanggung apapun kecuali janji primordial untuk beriman hanya kepada Allah SWT (Al A’raf 172; Ar Rum 30). Maka apa yang terbangun dalam diri manusia setelah ia dilahirka ke dunia adalah sebuah konstruksi yang tersusun dari banyak faktor. Faktor tersebut bisa jadi berasal dari keluarga, standar moral masyarakat, pengetahuan dan yang lainnnya.
Dunia terdiri dari banyak hal yang kompleks. Batas antara adil dan untung seringkali terlihat abu bagi orang yang diuntungkan saja. Sedangkan, kesama-rataan hak semestinya terakses bagi semua orang. Di sinilah semestinya egalitarianisme hadir sebagai cara pandang yang mengantarkan manusia pada kehidupan yang berkesetaraan. Egaliter bisa disebut sebagai salah satu elemen dari suatu masyarakat madani. Egalitarian merupakan suatu kata sifat bagi individu yang ditunjukkan melalui perilaku dan keyakinan tentang persamaan derajat manusia.
Konsep kesama-rataan dalam ide egalitarianisme sejalan dengan yang Islam tuntunkan. Dalam konsep tauhid dijelaskan bahwa posisi semua hamba adalah sama. Satu-satunya yang lebih tinggi dari status ‘aabidun adalah ilaahun. Maka sebagai hamba, manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama baik laki-laki maupun perempuan.
Kehidupan Kartini Muda yang Non-Egaliter
Lahir pada 21 April 1879, Kartini adalah anak dari pasangan Raden Mas (R.M.) Sosroningrat dan Mas Ajeng Ngasirah. Mas Ajeng Ngasirah bukan berasal dari golongan bangsawan, ia adalah seorang putri dari seorang ulama yang tersohor di Jepara kala itu, Kyai Haji Modirono dan Nyai Haji Siti Aminah. Dalam pernikahannya, Raden Mas (R.M.) Sosroningrat menikah lagi dengan Raden Ajeng Moerjam yang berasal dari keluarga Bangsawan.
Peristiwa poligami dan kungkungan feodalisme memposisikan ibu kandungnya pada situasi yang terpinggirkan. Peraturan pemerintah Kolonial Belanda mensyaratkan seseorang Bupati wajib menikah dengan sesama bangsawan. Raden Ajeng Moerjam yang berasal dari keluarga bangsawan menduduki posisi sebagai istri utama atau garwa padmi, sedangkan ibu kandung Kartini, Mas Ajeng Ngasirah menjadi garwa ampil. Anak-anak R.M. Sosroningrat, termasuk Kartini, diwajibkan memanggil Ibu kepada garwa padmi dan menggunakan panggilan Yu kepada garwa ampil. Kendati demikian, pada beberapa kesempatan, Kartini kecil menolak memanggil Mas Ajeng Ngasirah dengan panggilan Yu.
Baca Juga: Silaturahim KemenPPA dan ‘Aisyiyah Perkuat Sinergi Penanganan Isu Perempuan Anak
Kartini mendapatkan pendidikan formal pertamanya di ELS (Europese Lagere School) sebelum ia dipingit pada usia 12 tahun. Kendati hak pendidikan Kartini dipangkas saat ia berusia 12 tahun, dalam masa pingitannya ia belajar secara mandiri. Waktu luang yang ada ia gunakan untuk menulis surat kepada Abendanon dan keluarganya, yang sudah ia kenal dengan baik. Mereka pun membalasnya, mengirimkan bacaan dan koran berbahasa Belanda kepada Kartini.
Interpretasi Status Kehambaan Manusia dalam Perjuangan Kartini
Semasa hidup Kartini, setidaknya ada 3 hal yang ia inginkan berkaitan dengan isu kemanusiaan.
Pertama, pendidikan yang bisa diakses oleh semua kalangan. Hal ini sejalan dengan sebuah hadits “Menuntut ilmu wajib atas setiap muslim” (HR Ibnu Majah).
Bagi Kartini tidak ada alasan bagi perempuan untuk lebih tidak terpelajar dibanding laki-laki mengingat perempuan akan menjadi sekolah pertama bagi anak-anaknya. Sebagaimana yang ia tulis dalam suratnya untuk Prof. G.K. Anton, seorang Guru Besar Ilmu Kenegaraan di Yena (Jerman).
“….ciptakanlah ibu-ibu yang cakap serta berpikir, maka tanah Jawa pasti akan mendapat pekerja yang cakap. Peradaban dan kepandaiannya akan diturunkannya kepada anak-anaknya. Anak-anak perempuannya akan menjadi ibu pula, sedangkan anak-anak yang laki-laki kelak pasti akan menjadi penjaga kepentingan bangsanya”. (4 Oktober 1902)
Kedua, Kartini berpendapat bahwa pemberian gelar kemuliaan seseorang bisa dilakukan atas prestasinya, bukan disebabkan oleh sesuatu yang tidak pernah diusahakan. Hal ini terlihat ketika Kartini menolak dipanggil Raden Ajeng kendati ia memang berhak mendapatkan gelar tersebut. Terabadikan dalam surat yang ia tulis untuk Estelle Zeehandelaar.
“Panggil aku Kartini saja, itu namaku. Kami orang Jawa tidak punya nama keluarga. Kartini adalah sekaligus nama keluarga dan nama kecilku”. (25 Mei 1899)
Semangat meritokrasi dan egalitarianisme Kartini menjadikan ia luwes bergaul dengan masyarakat
berbagai kalangan. Sehingga lebih mudah bagi Kartini menebar kebaikan. Ia meyakini bahwa setiap orang baik laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kewajiban yang setara sebagai manusia. Hal ini sejalan dengan ayat “Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun” (QS An Nisaa’ 124)
Ketiga, Kartini berpendapat bahwa perempuan berhak memiliki keinginan, termasuk untuk menolak pernikahan yang tidak diinginkan. Bagi Kartini, posisi perempuan dalam pernikahan bukan hanya sekedar menuruti keinginan laki-laki, menjadi kanca wingking dan bahkan mendapatkan perlakukan-perlakuan yang membelenggu kehidupannya sebagai perempuan. Relasi antara suami-istri seharusnya adalah relasi yang saling menumbuhkan satu dan yang lainnya.
Dalam ketidak-inginan Kartini untuk menikah, ia akhirnya tidak memiliki banyak pilihan kecuali untuk menerima lamaran Bupati Rembang yaitu K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat sebagai istri ke-empat. Kendati demikian, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat menyetujui dan mendukung gagasan-gagasan dan cita-cita Kartini tentang pendidikan. K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat juga mengizinkan Kartini membuka sekolah dan mengajar puteri-puteri bangsawan di Rembang.
Keinginan-keinginan Kartini sepenuhnya mencita-citakan bahwa seluruh umat manusia baik laki-laki dan perempuan sejatinya sama-sama berhak mendapatkan hidup yang layak dan mulia. Hal ini tentu harus diiringi oleh usaha dalam kesempatan yang sama dan setara tanpa menutup pintu-pintu kemungkinan bagi sebagian golongan dan membuka pintu selebar-lebarnya bagi golongan yang lain. Sebagai hamba Allah SWT, sudah seharusnya manusia sama-sama berusaha untuk mendekat kepada ma’ruf dan menjauh dari yang munkar.
*Penulis adalah Anggota Pimpinan Wilayah Nasyi’atul ‘Aisyiyah Daerah Istimewa Yogyakarta
2 Comments