Anak

Stop Kekerasan Psikis pada Anak

kekerasan psikis pada anak
kekerasan psikis pada anak

kekerasan psikis pada anak (foto; istockphoto)

Oleh: Primatia Yogi Wulandari*

“Dasar anak malas! Kerjaannya cuma tidur, main, tidur, main. Gak pernah sekalipun bantu ibu dan ayah!”

“Kamu tuh emang nakal banget ya! Ayo, bersihkan kamarmu. Mau jadi apa kamu kalo dari kecil gak pernah nurutin omongan orang tua!”

“Maumu sebenarnya apa sih? Sudah kecil, bodoh pula! Disuruh belajar gak mau, disuruh mandi males. Pergi sana! Kamu bukan anak Mama!”

Seberapa sering kita mendengarkan dialog-dialog di atas di lingkungan kita? Atau justru kita sendiri sebagai orang tua yang sering mengucapkan kata-kata tersebut pada anak-anak kita? Bila iya, maka mulai dari sekarang, sudah sebaiknya kita berpikir ulang dan mempertimbangkan lebih jauh tentang dampak perkataan dan perbuatan kita kepada anak, karena apa yang kita lakukan itu sebenarnya telah termasuk dalam kekerasan pada anak, yaitu kekerasan psikis, yang notabene berdampak terhadap perkembangan anak.

Apa itu Kekerasan Psikis?

Bila melihat definisinya, kekerasan dapat diartikan sebagai suatu tindakan yang dilakukan oleh individu terhadap individu lain yang dapat mengakibatkan gangguan fisik maupun psikologis. Bentuk kekerasan sendiri biasanya dibagi menjadi kekerasan fisik, psikis, dan seksual.

Kekerasan fisik adalah agresi fisik yang dilakukan orang dewasa kepada anak seperti memukul dan menyubit, sedangkan kekerasan psikis merupakan kekerasan verbal atau tindakan simbolis oleh orang tua atau pengasuh yang berpotensi besar menyebabkan kerugian secara psikologis terhadap anak. Adapun kekerasan seksual adalah bentuk kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa atau individu yang lebih tua terhadap seorang anak untuk mendapatkan stimulasi seksual.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kekerasan tidak hanya bersifat fisik dan seksual, namun juga dapat berbentuk psikis. Adapun kekerasan psikis biasanya meliputi perilaku yang ditujukan untuk mengintimidasi dan menganiaya, mengancam atau menyalahgunakan wewenang, membatasi keluar rumah, mengawasi, mengambil hak asuh anak, merusak benda-benda anak, mengisolasi, agresi verbal dan penghinaan yang dilakukan secara konstan (Unicef, 2000).

Kekerasan psikis pada anak memang lebih banyak ditemui di lingkungan rumah di mana anak itu tinggal. Dalam kehidupan sehari-hari, bentuk kekerasan psikis itu dapat berupa verbal seperti membentak dan menghina anak dengan kata-kata kasar, memberi julukan pada anak dengan sebutan yang tidak pantas (cerewet, tolol, dan sebagainya), memanggil anak dengan kelemahan-kelemahan fisik yang dimiliki (kerdil, ceking, dan sebagainya), serta mengancam anak karena merasa sebagai orang tua yang berkuasa dan memiliki otoritas terhadap anak.

Di samping itu, kekerasan psikis juga dapat berupa perilaku atau tindakan seperti mempermalukan anak di hadapan umum, mengabaikan anak, tidak memenuhi kebutuhan fisik dan emosional anak, dan membandingkan anak dengan saudara atau orang lain.

Kekerasan Psikis pada Anak di Indonesia

Dari tahun ke tahun, tingkat kekerasan yang terjadi pada anak mengalami kenaikan. Banyaknya kasus kekerasan, terutama kekerasan psikis di atas sebenarnya seperti fenomena gunung es. Hanya sedikit kasus kekerasan psikis yang kelihatan dan dilaporkan oleh media massa, tetapi sebenarnya lebih banyak lagi kasus yang terjadi di lingkungan keluarga, mulai dari kasus yang ringan hingga yang berat.

Untuk itu, pemerintah memang telah berusaha membuat suatu program yang diselipkan di lembaga-lembaga nonformal di masyarakat seperti posyandu, agar masyarakat dapat melaporkan kasus-kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi di lingkungannya. Bagaimanapun, solusi tersebut lebih bersifat interventif dan kurang bersifat preventif untuk dapat mengurangi tingkat kekerasan pada anak.

Dampak Kekerasan Psikis pada Anak

Pertanyaan berikutnya adalah sebenarnya seberapa besar dampak negatif dari kekerasan psikis yang dilakukan terhadap anak? Bukankah anak tidak mendapat perlakuan-perlakuan fisik seperti dipukul, ditampar, dan sebagainya? Akankah anak mendapat pengaruh negatif dari perkataan dan perbuatan yang termasuk kekerasan psikis di atas?

Adapun dampak kekerasan psikis terhadap anak cukup variatif. Dari segi kepribadian, anak dapat menjadi kurang percaya diri, cemas, putus asa, pemurung, penakut, merasa tidak berdaya, dan kurang mampu bertindak ataupun memutuskan sesuatu. Pada diri anak, dapat pula muncul perilaku-perilaku yang destruktif, baik terhadap diri sendiri, seperti depresi dan bunuh diri ataupun terhadap lingkungan seperti membakar barang atau bertindak kejam terhadap binatang.

Baca Juga: Kesehatan Spiritual: Penting Tapi Sering Dilupakan

Dalam relasi sosial, anak mungkin mengalami kesulitan membina relasi sosial, menarik diri dari lingkungan. Dalam skala berat, anak dapat mengalami gangguan tidur, gangguan makan, bahkan gangguan jiwa dalam bentuk hilangnya kontak dengan realita seperti schizophrenia.

Di tahapan perkembangan berikutnya, bukan tidak mungkin anak akan melakukan hal yang sama terhadap keluarganya. Ia akan meniru perilaku yang sama seperti yang dilakukan orang tuanya. Hal ini tentu saja akan seperti lingkaran setan yang tidak dapat diputuskan alurnya.

Penelitian psikologi di tahun 2017 menunjukkan bahwa kekerasan psikis pada anak justru membawa dampak jangka panjang dibandingkan kekerasan fisik. Seorang ahli psikologi, Catherine Naughton dari University of Limerick, Ireland, menunjukkan bukti bahwa pemanggilan nama-nama yang tidak pantas, intimidasi, isolasi, manipulasi dan kontrol yang berlebihan kepada anak berdampak terhadap kesejahteraan psikologis anak.

Penelitian ini bahkan membandingkan dampak yang paling buruk terjadi pada anak-anak yang mengalami kekerasan psikis saja daripada mereka yang mengalami kekerasan psikis yang disertai fisik. Hal ini terjadi karena efek kekerasan psikis yang memang tidak tampak membuat dukungan terhadap anak cenderung terabaikan. Orang-orang di sekitar anak pun seringkali tidak sadar bahwa anak mengalami kekerasan psikis, terlebih anak biasanya memang tidak mampu atau tidak berani untuk menceritakan pikiran dan perasaan yang dialaminya.

Apa yang Harus Dilakukan?

Mencermati dampak-dampak kekerasan psikis di atas, sudah saatnya para orang tua berpikir ulang untuk memberikan julukan, ancaman, ataupun intimidasi pada anak. Anak sebenarnya akan lebih dapat berkembang dengan baik bila orang tua mengarahkan secara positif, misalnya dengan memberikan pujian-pujian kepada anak bila ia telah melakukan hal yang seharusnya dilakukan seperti belajar dan membersihkan kamar.

Adanya dialog dan komunikasi dengan anak juga lebih dapat membuat anak berkembang dengan lebih konstruktif. Selain itu, lebih berfokus pada kelebihan akan dapat memotivasi anak untuk meraih masa depan yang lebih baik daripada hanya mengeluhkan kelemahan yang dimilikinya.

Perlu diingat bahwa dibalik kekurangan yang dimiliki anak, pasti ada kelebihan-kelebihan yang dapat dikembangkan dengan lebih optimal. Mari mulai dari diri kita sendiri untuk mengatakan STOP pada kekerasan psikis terhadap anak!

*Dosen Fakultas Psikologi Unair

Related posts
Berita

Masa Depan Dunia di Tangan Anak, Abdul Mu’ti Sebut Tiga Pihak yang Bertanggung Jawab pada Anak

Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Abdul Mu’ti menyebutkan bahwa masa depan dunia ada di tangan anak. Hal…
Anak

Membawa Anak ke Masjid, Salahkah?

Oleh: Aninda Khairunnisa Sudiaji* Membawa anak kecil ke masjid merupakan keputusan baik dan bermanfaat untuk membangun landasan keimanan yang kuat sejak dini….
Liputan

Tantangan Anak Masa Kini Menghadapi Dunia Digital

Oleh: Syifa Rosyiana Dewi Pesatnya perkembangan teknologi digital memberikan dampak positif maupun negatif bagi para penggunanya. Tidak dapat dimungkiri, dampak tersebut menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *