Kebijakan PolitikWawasan

Strategi Dakwah Transformatif ‘Aisyiyah pada Masyarakat Marjinal

Dakwah Transformatif
Dakwah Transformatif

Dakwah Transformatif

Oleh: Siti Noordjannah Djohantini

Spirit dasar gerakan al-Maun yang diteladankan oleh Kiai Ahmad Dahlan adalah dakwah transformatif. Sebuah strategi dakwah yang tidak sekadar dilakukan di atas mimbar-mimbar masjid, tapi lebih dari itu adalah dakwah yang punya spirit pembebasan, pemberdayaan, dan pemajuan masyarakat yang terpinggirkan, lemah, dan tertindas.

***

‘Aisyiyah dalam melaksanakan dakwahnya dituntut untuk semakin membumi kepada sasaran dakwah yang digarapnya. Keberhasilan dakwah ‘Aisyiyah didukung oleh banyak faktor, salah satunya adalah strategi dakwah yang mengenai sasaran. Strategi dan langkah dakwah, baik bil lisan maupun bil hal harus bervariasi tergantung pada sasaran dakwahnya, termasuk dakwah untuk kaum marjinal.

Masyarakat marjinal dengan kondisi dan varian yang cukup kompleks memerlukan strategi dan metode dakwah yang berbeda dengan kelompok lainnya. Kondisi masyarakat marjinal memerlukan dakwah yang membawa perubahan ke arah kemajuan, yakni melalui strategi dakwah transformatif.

Dakwah Transformatif

Dakwah transformatif identik dengan gerakan pencerahan dalam Muhammadiyah, yaitu dakwah yang membebaskan, memberdayakan, dan memajukan kehidupan kelompok sasaran dakwah sampai ke akar masalahnya. Dakwah transformatif menurut Kuntowijoyo (2000) memiliki sifat/etos humanisasi (amar ma’ruf), emansipasi dan liberasi (nahi munkar), dan transendensi (tu’minuna billah).

Dakwah transformatif yang dilakuan ‘Aisyiyah harus terwujud dalam praksis sosial yang bersifat strategis, yakni berbagai kegiatan aksi dakwah yang berbasis Islam yang berkemajuan dan membawa pada perubahan yang membebaskan, memberdayakan, dan memajukan kehidupan di semua bidang. Dakwah yang bersifat praksis bagi ‘Aisyiyah merupakan langkah strategis karena akan membawa pada kesejahteraan, keadilan, dan keadaban masyarakat yang didakwahi. Sejumlah langkah strategis dari dakwah transformatif yang bersifat praksis adalah sebagai berikut:

Pertama, dakwah transformatif merupakan strategi dakwah untuk perubahan sosial yang menyeluruh dengan orientasi memecahkan masalah yang dihadapi sasaran dakwah. Dakwah di lingkungan kaum marjinal harus membantu memecahkan masalah-masalah mereka, seperti kemiskinan, alienasi, keterbatasan akses, dan kondisi ketertindasan sehingga bersifat problem solving.

Dakwal bil hal dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat, yakni kegiatan dakwah yang lebih diarahkan pada melibatkan masyarakat kepada gerakan nyata pembangunan yang bersifat pemberdayaan (empowering). Kegiatan dimulai dari mengidentifikasi problem-problem masyarakat, potensi yang dimiliki, dan melakukan analisis sehingga dapat dipetakan kondisi atau permasalahan dan kebutuhan masyarakat.

Kedua, melakukan dakwah bil hal dengan strategi dan metode yang lebih tepat sasaran. Dakwah bil hal selain melalui pemberdayaan masyarakat, dapat juga dilakukan melalui program jaring pengaman sosial (social safety net) yang diarahkan pada pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat marjinal dengan menumbuhkan rasa solidaritas kesetiakawanan, memperkuat rasa keberagamaan, dan kebangsaan.

Oleh karena itu, dakwah semestinya hadir dalam berbagai ruang lingkup dan aspek kehidupan masyarakat sebagai upaya pembebasan, pemberdayaan, dan pemajuan menuju pada pencerahan umat. Gerakan dakwah bil hal yang tercermin dalam amal usaha dan amal kegiatan ‘Aisyiyah merupakan pengejawantahan dari teologi al-Maun, sebagaimana digerakkan langsung oleh Kiai Dahlan, yang selanjutnya melahirkan institusi Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO) di tahun 1922.

Ketiga, dalam dakwah transformatif (dakwah bil lisan  dan bil hal yang membebaskan, memberdayakan, dan memajukan) untuk kaum marjinal diperlukan para dai dan fasilitator pengembangan masyarakat dalam berbagai profesi dan bersifat lintas sektor di masing-masing daerah dan cabang dengan memanfaatkan sumber daya Muhammadiyah dari lembaga yang berada di Muhammadiyah, termasuk dari amal usaha. Pendekatan partisipatif dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat yang mensyaratkan pelibatan masyarakat dalam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi dan melakukan upaya-upaya perubahan untuk mencapai kebutuhan mereka.

Keempat, dakwah bagi kaum marjinal juga memerlukan pemetaan kondisi dan analisis sosial sasaran dakwah terhadap permasalahan dan kebutuhan masyarakat sebagai upaya transformasi sosial. Dari situ dapat dipilih pendekatan, metode, dan langkah-langkah dakwah yang lebih akurat dan tepat sasaran. Dalam pemetaan tersebut dapat dilakukan sekaligus dengan langkah-langkah dakwah sehingga memiliki corak Participation Action Research (PAR), yang memadukan riset dan aksi pemberdayaan.

Kelima, menciptakan model-model kegiatan pemberdayaan masyarakat bagi kelompok marjinal yang lebih bercorak ‘bottom-up’ dan ‘partisipatoris’ yang terpadu, seperti pemberdayaan untuk masyarakat petani dan buruh tani, model pemberdayaan nelayan, pemberdayaan ekonomi komunitas perempuan dengan model BUEKA (Bina Usaha Ekonomi Keluarga) dan gerakan koperasi, model pemberdayaan kelompok PSK dengan pendekatan pendidikan dan ekonomi, model pemberdayaan pedagang kecil melalui koperasi, model shelter, rumah singgah, rumah aman bagi anak-anak telantar, model pemberdayaan buruh migran dengan usaha ekonomi dan koperasi, dan model dakwah transformatif lainnya yang disusun berdasarkan pemetaan dan pengalaman lapangan serta berbasis komunitas.

Keenam, melakukan advokasi, yakni menyuarakan dan melakukan pembelaan atas ketidakadilan yang terjadi pada kelompok marjinal. Hal ini dilakukan dengan penyiapan data kondisi masyarakat yang termarjinalkan dalam berbagai aspek, yang didesakkan kepada pihak-pihak pengambil kebijakan agar terjadi perubahan kebijakan yang berpihak kepada mereka.

Membela Kaum Dhu’afa dan Mustadh’afin

Pendekatan dakwah transformatif berarti dakwah yang dilakukan untuk pembelaan terhadap kelompok kaum dhu’afa (lemah) dan mustadh’afin (tertindas) atas berbagai tindakan ketidakadilan, kesewenang-wenangan, kedhaliman, kekerasan, pemiskinan, dan berbagai tindakan lainnya yang berdampak pada peminggiran individu maupun kelompok untuk mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara, sebagai perwujudan ajaran Islam yang mengajarkan umatnya untuk berbuat adil serta melarang penindasan, kekerasan, dan tindakan keji lainnya.

Dengan enam langkah strategis tersebut, gerakan dakwah ‘Aisyiyah dapat dipadukan secara menyeluruh melalui berbagai program, kegiatan, dan amal usaha yang dilakukan oleh seluruh institusi organisasi dari Pusat hingga Ranting dan Jamaah. Setiap wilayah, daerah, cabang, ranting, dan jamaah, termasuk di lingkungan amal usaha ‘Aisyiyah dapat dikembangkan model-model praksis gerakan dakwah, khususnya untuk kaum marjinal secara terpadu.

Dalam hal ini dapat dimobilisasi potensi dana, fasilitas, sumber daya manusia, dan jaringan organisasi di seluruh lingkungan ‘Aisyiyah untuk melakukan praksis gerakan bagi kaum marjinal. Dengan keterpaduan dan mobilisasi potensi tersebut, maka akan jauh lebih mudah dan saling mendukung, sehingga tercipta gerakan yang tersistem secara rapi dan terorganisasi laksana satu bangunan yang kokoh sebagaimana diperintahkan Allah dalam berjihad di jalan-Nya (QS. as-Shaf [61]: 4).

Optimalisasi Spirit, Komitmen, dan Kebersamaan

Namun, untuk mencapai keberhasilan gerakan dakwah transformatif dan praksis untuk masyarakat marjinal pada khususnya dan sasaran dakwah lainnya pada umumnya diperlukan semangat/spirit, komitmen, dan kebersamaan secara terorganisasi di seluruh institusi ‘Aisyiyah. Jika lembaga-lembaga kecil atau lokal, termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat maupun komunitas-komunitas setempat dapat berbuat lebih gesit dan progresif dalam melakukan usaha-usaha pemberdayaan bagi kaum dhu’afa dan mustadh’afin termasuk bagi masyarakat marjinal, maka ‘Aisyiyah sesungguhnya dan seharusnya jauh lebih dapat berkiprah secara optimal dan berhasil melebihi yang lain.

Apabila pihak lain dalam keadaan yang terbatas banyak berbuat yang optimal dalam kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat marjinal, kenapa ‘Aisyiyah tidak mampu? ‘Aisyiyah sungguh mampu. Karenanya diperlukan optimalisasi spirit, komitmen, dan daya juang yang lebih tinggi dari seluruh anggota, kader, dan pimpinan ‘Aisyiyah.

Kerja-kerja praksis yang dirasakan manfaatnya secara langsung dan nyata oleh masyarakat marjinal, dhu’afa, dan mustadh’afin tidak cukup dengan dakwah bil lisan. Kerja-kerja pembebasan, pemberdayaan, dan pemajuan masyarakat yang terpinggirkan, lemah, dan tertindas itu sungguh memerlukan dakwah bil hal yang langsung dan konkret melalui program-program praksis sosial yang membawa efek perubahan ke arah kemajuan yang dirasakan oleh masyarakat yang menjadi sasaran dakwah.

Dakwah praksis berbasis transformasi seperti itulah yang terkandung dalam spirit dasar gerakan al-Maun yang telah diteladankan oleh pendiri Muhammadiyah Kiai Ahmad Dahlan.

Sumber: Majalah Suara ‘Aisyiyah Edisi 10 Tahun 2012

Related posts
Lensa OrganisasiSejarah

Di Mana Aisyiyah Ketika Masa Revolusi Indonesia?

Oleh: Ghifari Yuristiadhi Masyhari Makhasi* Tahun ini, Indonesia telah memasuki usia yang ke-79. Hal ini menjadi momentum untuk merefleksikan perjuangan para pendahulu…
Berita

107 Tahun Aisyiyah, Perkuat Komitmen Menjawab Berbagai Problem Kemanusiaan Semesta

Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Mengusung tema “Memperkokoh dan Memperluas Dakwah Kemanusiaan Semesta” ‘Aisyiyah  akan memperingati miladnya yang ke-107 tahun pada 19 Mei…
Berita

Tekad bulat Aisyiyah Tahunan Kembangkan Kegiatan Santunan Menjadi Kegiatan Pemberdayaan

Jepara, Suara ‘Aisyiyah – Selasa, (26/3) kemarin atau 17 Ramadan 1445H, PRA Tahunan menggelar kegiatan santunan 27 anak yatim bersama kegiatan buka…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *