
Sc: Baladena.ID
Oleh: Elis Zuliati Anis*
Hampir tidak percaya, hari itu, akhir Juni 2017, saya berdiri di depan bangunan megah Winthrop Hall, University of Western Australia (UWA). Perjalanan panjang ini mengingatkan saya pada Ikal dan Arai dalam adegan film Laskar Pelangi: Edensor—saat mereka tiba di Kampus Sorbonne, sembari berucap bangga, “Kampus Sorbonne sekarang di depan mata. Sepotong mimpiku akan kumasuki.”
Betapa belajar di luar negeri dengan beasiswa adalah mimpi besar bagi pelajar Indonesia. Sebagian dari mereka adalah perempuan berkeluarga dan membawa serta putra-putrinya. Mengapa? Apalagi jika bukan lantaran kita ingin meraih pendidikan bermutu di negara-negara maju.
Perth, kota kecil di Australia Barat, menjadi pilihan saya untuk studi doktoral pada jurusan Media dan Komunikasi di UWA. Alasan saya sederhana, pembimbing yang ahli di bidang riset itu ada di kampus tersebut.
Melewati milestone tahun pertama sebagai mahasiswa S3, sebelas tahun berselang setelah S2, merupakan perjalanan intelektual yang penuh tantangan. Terlebih, S3 by research menuntut kemandirian penuh. Pembimbing hanya memberi arahan. Mahasiswalah yang menyusun disertasi: gagasan dengan kedalaman analisis.
Kampus Ramah Parenting
Perth adalah kota yang indah, bersih serta nyaman. Taman-taman yang tertata apik menyejukkan. Kemudahan akses transportasi menambah daya tarik kota ini. Siapa pun akan merasa nyaman tinggal di kota ini. Kampus UWA terletak persis di seberang Matilda Bay yang menawan. Terkadang, kita bisa melihat lumba-lumba bermain, mendekat sampai ke tepian. Ditambah lagi, kehadiran ratusan burung Pied Cormorant dan Seagull yang berebut ikan dengan lumba-lumba menghadirkan pemandangan alam yang sungguh menakjubkan.
Hampir semua mahasiswa S2 dan S3 menghabiskan waktu di perpustakaan atau ruang kerja di kampus, terkadang hingga larut malam. Lalu bagaimana dengan anak-anak—bagi mahasiswa berkeluarga? Sebagai solusi, kampus UWA menyediakan family room di perpustakaan, dilengkapi dengan tempat dan fasilitas bermain, microwave, meja belajar, dan toilet. Jika harus bertemu pembimbing, maka para ibu ini akan berbagi tugas dengan suami, atau menitipkannya kepada teman Indonesia. Selain itu, anak-anak juga bisa bermain di taman-taman area kampus, tentu dengan pengawasan orang tua masing-masing.
Tidak hanya kampus yang ramah parenting, para ibu juga mendapatkan kebaikan dari komunitas Perth. Misalnya, seorang mahasiswa S3 yang hendak melahirkan di Perth mendapatkan banyak donasi dari grup Facebook Buy Nothing. Di sini “tersedia” tidak hanya baju bayi, tetapi juga boks bayi, selimut, mainan, dan banyak kebutuhan lainnya. Sangat menyenangkan sekaligus mengharukan.
Uniknya, Perth memiliki “Verge Collection” setiap empat bulan sekali, memberi kesempatan kepada orang-orang untuk memberikan atau mengambil barang yang tidak lagi mereka butuhkan di trotoar. Menariknya, tidak hanya alat-alat rumah tangga sederhana yang dibuang, tetapi juga ada TV, kulkas, monitor, radio, sepeda, tas, dan baju. Saya pernah beruntung mendapatkan dua iPod yang masih sangat bagus.
Covid-19 dan Kesehatan Mental
Ketika Covid-19 mewabah, kehidupan akademis terguncang karena lockdown. Mahasiswa tidak dapat bertemu dengan pembimbing, konferensi dilakukan online, dan akses ke perpustakaan dibatasi. Semua orang cemas karena mengetahui tingkat kematian akibat Covid-19 demikian besar. Pemerintah Australia Barat menerapkan closed border policy yang tidak memungkinkan siapa pun untuk keluar masuk Australia Barat.
Baca Juga: Kampus Ramah Difabel
Kesehatan mental menjadi sangat penting dan menentukan keberhasilan mahasiswa doktoral. Kampus memfasilitasi mahasiswa untuk berkonsultasi dengan psikolog di klinik. Bahkan, sebuah gedung Shenton House didedikasikan sebagai tempat “curhat”.
Mahasiswa boleh bercerita apa saja dan ada relawan yang akan menjadi pendengar yang baik serta memberikan masukan jika diminta. Selain itu, ada kampanye “R U OK” yang meminta setiap orang untuk memberikan perhatian kepada orang lain dan memastikan orang di sekitar kita baik-baik saja.
Untuk pertama kalinya setelah empat tahun di Australia, saya ke dokter dan didiagnosis “blurry vision headache”. Yakni, kepala sering sakit, bersamaan dengan penglihatan yang kabur, dan sulit berkonsentrasi. Dokter menyarankan saya untuk istirahat dua pekan. Akibatnya deadline terlewatkan dan memperlambat kemajuan studi. Untungnya, LPDP memberikan tambahan beasiswa selama enam bulan akibat pandemi Covid-19.
Tantangan dan Tips Sukses
Tantangan terbesar selama masa studi adalah memenuhi standar disertasi S3 universitas yang tinggi. UWA masuk dalam 100 kampus terbaik dunia. Pembimbing juga memiliki reputasi riset yang andal. Meski ada fasilitas academic writing dari Graduate Research School, menulis disertasi bukan hal mudah. Tidak jarang saya merasa tersesat, tidak yakin apakah yang saya tulis ini benar, dan merasa tertekan ketika deadline terlewatkan. Rasanya sering overthinking, stres, dan sulit tidur. Kata seorang teman, itulah PhD life, Permanent headache. Dan benar, terutama pada dua tahun terakhir, saya sering mengonsumsi obat pereda nyeri.
Ketika sedang down dan under pressure, pembimbing utama selalu mengingatkan pentingnya riset yang saya lakukan. Dukungan LPDP, keinginan untuk membuat bangga keluarga, dan harapan untuk memberikan masa depan yang lebih baik bagi anak-anak saya, menjadi motivasi saya untuk tidak menyerah.
Saya selalu berusaha untuk disiplin dan mengerjakan disertasi di pagi hari. Kadang tidak selalu dapat ide, tapi saya terus membaca, membuat catatan penting, memahami, dan menulis. Komunikasi dengan pembimbing selalu saya jaga, dan yang tidak kalah pentingnya, selalu meminta doa dari keluarga dan bermunajat kepada Allah SWT. Setelah kesulitan, akan datang kemudahan dan saya meyakini itu.
Tidak hanya menghadapi tantangan secara akademis, saya yang membawa anak sulung juga harus membagi waktu dengan baik untuk memberikan perhatian, menyiapkan bekal anak, dan mendampingi belajar. Tak terlupakan perhatian untuk bungsu saya, meski sebatas melalui video call. Pada kesempatan lain saya akan menceritakan anak sulung yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang beragam di Perth selama lima tahun.
Bulan Juli 2023, di Winthrop Hall UWA, nama saya, negara, dan judul disertasi saya disebut. Alhamdulillah saya lulus. Saya melihat ekspresi bangga pada wajah Nauval yang hadir di acara wisuda tersebut. Juga pembimbing saya yang terus tersenyum saat saya melangkah menerima ijazah S3. Terbayar sudah semua pengorbanan, rasa lelah, segala emosi ups and down selama 4,5 tahun studi S3. Saatnya berkontribusi dan mengabdi untuk mengembangkan pendidikan di Indonesia. [4/24]
*Dosen UAD, Anggota LPPA PP ‘Aisyiyah
2 Comments