Oleh: Hajar Nur Setyowati
“Orang laki-laki Islam wajib membantu akan kemajuan perempuan Islam. Harus memberi izin kepada perempuan mencari ilmu. Cara yang dahulu itu salah sekali, tiada setujuh dengan Kur’an. Dahulu dikatakan bahwa orang perempuan itu ‘suargo nunut’… begitu juga nerakanya (neroko katut). Hal ini sekali-sekali tiada setujuh dengan Kur’an, sebetulnya semua yang mempunyai tanggungan masing-masing, tiada ada orang dapat menanggung orang lain, baik laki-laki ataupun perempuan. Perempuan harus seilmu dengan laki-laki. Perempuan wajib juga amar ma’ruf dan nahi munkar seperti laki-laki. … Dunia Islam tiada akan menjadi baik kalau yang maju hanya laki-lakinya saja. Perempuan harus maju juga…”.
Hal tersebut disampaikan Siti Hajinah (Siti Hayinah) dalam Kongres Muhammadiyah Bagian ‘Aisyiyah Tahun 1930 di Minangkabau, saat ia menjelaskan pandangan tentang kemajuan muslimat dan gerak ‘Aisyiyah di Hindia Timur. Keprihatinan yang disampaikan Siti Hajinah ini nantinya relevan dengan salah satu hasil kongres yang meminta ‘Aisyiyah di berbagai cabang untuk mengadakan Studie Fonds ‘Aisyiyah.
Program Studie Fonds atau Beasiswa ‘Aisyiyah merupakan ikhtiar untuk mengatasi persoalan minimnya akses pendidikan bagi perempuan lantaran terkendala biaya. Apalagi dalam konteks sosial budaya saat itu, anak perempuan dalam keluarga tidak mendapat prioritas untuk mengenyam pendidikan. Toh, ujung-ujungnya akan berkutat dalam urusan keluarga seperti sumur, dapur, dan kasur; surga nunut neraka katut atau ‘masuk surga ikut suami dan masuk neraka pun terbawa suami’. Perempuan tidak memiliki otoritas atas dirinya, bukan saja di dunia, tragisnya, kehidupan di akhirat pun ikut ditentukan oleh laki-laki.
Kedirian perempuan atau keberadaan perempuan sebagai subjek tidak diakui oleh nilai-nilai sosial budaya masyarakat masa itu, sehingga hak-hak dasarnya tercerabut, termasuk hak pendidikan. Pandangan tersebut tidak selaras dengan nilai-nilai Islam tentang kesetaraan beramal saleh antara laki-laki dan perempuan, sebagaimana menjadi spirit gerakan ‘Aisyiyah sejak awal berdiri. Seorang utusan ‘Aisyiyah berbicara tentang ‘Peran Perempuan’ di depan forum Kongres Muhammadiyah pada 1924,
Kelahiran ‘Aisyiyah sendiri merupakan buah dari pendidikan bagi para perempuan muda yang didorong oleh Kiai Ahmad Dahlan. Muhammadiyah pantas berbangga mempunyai pendiri Ahmad Dahlan yang memiliki kesadaran akan kesetaraan, melalui bersemboyan, “Tuntut ilmu setinggi mungkin, hak memiliki pengetahuan bukan monopoli kaum lelaki”. Pendidikan memang diyakini sebagai media untuk meningkatkan derajat kehidupan perempuan dan memutus mata rantai kemiskinan.
Tidak heran jika ‘Aisyiyah mengawali gerakannya dari sektor pendidikan, baik formal maupun nonformal, seperti Bustanul Athfal, kursus pemberantasan buta huruf, dan berbagai pengajian bagi perempuan. Pengajian diadakan untuk semua kalangan, baik pengajian untuk orang tua, ada pula pengajian bagi remaja, juragan batik, hingga buruh batik.
Dalam struktur kerja ‘Aisyiyah tahun 1928, misalnya, terdapat ‘Aisyiyah bagian Sekolahan. Bagian tersebut memiliki peran untuk memajukan pendidikan dengan menyediakan sekolahan bagi anak maupun perempuan dewasa, seperti sekolah siang bagi anak-anak yang bersekolah di pagi hari, diadakan Siswa Tama bagi perempuan desa yang bekerja di kota, Madrasah Tsanawiyah pada siang hari, hingga berbagai kursus, termasuk kursus menjahit.
Dalam pidatonya di hadapan 5000 kaum istri pada Kongres ‘Aisyiyah di Minangkabau, Hajinah juga menyebut tentang sekolah-sekolah ‘Aisyiyah yang tidak bisa dibilang mundur. Ia menyebut bahwa banyak cabang-cabang yang membuka Standaardschool dan Meijesschoool.
Pada sidang umum terbuka Kongres ‘Aisyiyah tersebut, dilaporkan perkembangan sekolah ‘Aisyiyah mencapai 30 buah, baik dalam bentuk Standaard-Volk-Meisjes School, Ibtidaiyah, Maghribi School, Tsanawiyah, Siswo Oetomo, Woestha, ‘Ashri, maupun ‘Aisyiyahschool, dengan jumlah murid hingga 1086 anak. Belum lagi adanya kursus Islam sejumlah 202 buah dengan jumlah muballighat sebanyak 324 orang.
Banyaknya jumlah muballighat ‘Aisyiyah ini menjadi penting. Selain menjadi ujung tombak tabligh ‘Aisyiyah, hal ini juga menjadi penanda bahwa perempuan dapat menjadi subjek dalam dakwah. Perempuan bukan hanya menjadi penerima manfaat dakwah, sebagaimana jamaknya perempuan saat itu. Anak perempuan biasa dipingit dalam rumah, kesempatan keluar rumah diperbolehkan untuk keperluan belajar mengaji di lingkungan terdekat. Anak perempuan hanya diperkenankan belajar mengaji di kampung sendiri, membaca al-Qur’an, dan belajar ibadah praktis. Sementara itu, anak laki-laki disarankan “menyantri” di luar dan belajar ilmu agama setinggi-tingginya.
Baca Juga: Fonds-Dachlan: Program Internasional Pertama Muhammadiyah
Salah satu inovasi ‘Aisyiyah pada masa awal kelahirannya, tepatnya sejak 1922, ialah keberadaan musala perempuan di Kauman yang terus meluas hingga berbagai gerombolan dan cabang ‘Aisyiyah di Hindia Timur termasuk di Sigli, Aceh. Pada majalah berbahasa Arab Mir`ah Muhammadiyah (cerminnya Muhammadiyah) terbitan 10 Rabi’ul Awwal 1345 H atau 1927 M, terdapat foto masjid (musala) perempuan.
Pada majalah tersebut tertulis keterangan bahwa kebangkitan atau pembaharuan yang digagas oleh Kiai Ahmad Dahlan, tidak ditujukan bagi laki-laki semata, tetapi juga diperuntukkan bagi kebangkitan atau kemajuan perempuan. Dengan kerja keras dan sungguh-sungguh, kaum perempuan mendirikan musala perempuan yang menelan biaya 15 ribu rupiah. Mereka memakmurkan musala itu pada setiap salat lima waktu, di tempat itu pula para perempuan belajar agama.
Keberadaan musala perempuan selanjutnya menjadi ciri khas kegiatan ‘Aisyiyah, dan direplikasi oleh ‘Aisyiyah di daerah, cabang, dan grup atau gerombolan ‘Aisyiyah. Dalam Verslag ‘Aisjijah Hindia Timur 1931, yang dibacakan dalam pidato Congres Moehammadijah Bahagian Aisjijah ke-21, di Makassar, tahun 1932, dilampirkan tabel perkembangan ‘Aisyiyah per daerah, termasuk di dalamnya jumlah musala dan surau ‘Aisyiyah.
Dalam verslag tersebut tercantum adanya 13 musala, yaitu 5 di Sumatera dan 8 di Jawa. Selain itu, ‘Aisyiyah juga memiliki 44 surau, yaitu 30 di Sumatera dan 14 di Tanah Jawa. Dalam Kongres Muhammadiyah ke-26, di Yogyakarta tahun 193 diputuskan, bagi cabang atau grup bagian ‘Aisyiyah yang telah mendirikan musala supaya tidak hanya difungsikan sebagai tempat salat, tetapi supaya dipergunakan untuk menjalankan kebaikan, seperti kursus, mempelajari Islam, dan sebagainya.
Musala ‘Aisyiyah adalah ruang publik perempuan; ikon gerakan ilmu perempuan; dan harapan perempuan agar dapat beramal saleh seluas-luasnya. Keberadaan musala ‘Aisyiyah bukan hanya diperuntukkan bagi kegiatan ibadah, tetapi juga aktivitas belajar bagi para perempuan. Sebagaimana idealnya peran masjid dalam Islam, musala ‘Aisyiyah juga berfungsi sebagai ruang sosial. Masa itu, perempuan memiliki keterbatasan dalam mengakses ruang untuk beribadah maupun ruang untuk belajar.
Aktivitas perempuan di tempat ibadah terbatas di sisi masjid atau langgar, tentu tak seleluasa dibandingkan musala perempuan. Sebelum musala perempuan ini selesai dibangun, kaum perempuan biasanya salat berjamaah di rumah orang tua Ibu Hajinah Mawardi, menempati serambi rumah Nyai Dahlan, atau berpindah-pindah tempat. Musala ‘Aisyiyah menjadi inovasi wadah keilmuan perempuan di masa itu.
Demikian halnya dengan program Studie Fonds yang banyak dilakukan oleh berbagai pergerakan nasional untuk memfasilitasi akses pendidikan kaum bumiputera. Dalam Kongres Perempuan Indonesia I Tahun 1928 yang diinisiasi oleh berbagai gerakan perempuan termasuk ‘Aisyiyah, salah satu putusan kongres menyebutkan adanya Studie Fonds bagi anak perempuan untuk menjawab problem minimnya pendidikan bagi perempuan bumiputera yang dibicarakan pula dalam agenda kongres.
Baca Juga: Sejarah Berdirinya Musala Perempuan Pertama di Indonesia
‘Aisyiyah pun melakukannya melalui Studie Fonds ‘Aisyiyah. Dalam putusan Congres Besar Muhammadiyah ‘Aisyiyah ke-19 di Minangkabau tahun 1930, perihal Studie Fonds ‘Aisyiyah, disebutkan bahwa masing-masing cabang bagian ‘Aisyiyah supaya berdaya upaya mengadakannya. Adapun caranya mengadakan dan reglement-nya, diserahkan pada tanggung jawab bagian ‘Aisyiyah yang mengadakan.
Studie Fonds didirikan oleh Hoofdt Bestuur (HB) atau Pengurus Besar Muhammadiyah bagian ‘Aisyiyah pada bulan 7 ‘Sja’ban 1343 bertempat di Yogyakarta. Sementara pengelolaan Studie Fonds diserahkan kepada Urusan Wal’ashri. ‘Aisyiyah bagian Wal’ashri merupakan bagian yang awalnya memiliki tugas untuk berikhtiar dalam pengajaran akhlak, dan selanjutnya berkembang termasuk dalam pengelolaan Studie Fonds ‘Aisyiyah.
Pendirian Studie Fonds dimaksudkan untuk memikul beban biaya anak perempuan Islam di Yogyakarta yang meneruskan pelajarannya ke sekolah pertengahan sampai ke sekolah tinggi maupun di luar Yogyakarta. Hal tersebut termuat dalam Reglement Studie Fonds ‘Aisyiyah Djokdja. Adapun pembiayaan Studie Fonds berasal dari berbagai sumber, seberti kontribusi anggota ‘Aisyiyah urusan Wal’Ashri, sokongan dari donatur, derma, perusahaan, uang yang telah dikembalikan dari anak atau orang yang telah dipikul biayanya, dan uang yang datangnya tidak terkira.
Siapa yang dapat memperolah sokongan dari Studie Fonds? Setidaknya terdapat dua kriteria yang diatur dalam reglement kecil Studie Fonds: pertama, anak yang telah putus pelajarannya dari sekolah rendah yang hendak meneruskan di luar atau di dalam Yogyakarta untuk mencapai kepandaian agama atau hal umum dalam sekolah pertengahan selanjutnya. Kedua, anak ‘Aisyiyah di Yogyakarta yang orang tuanya tidak mampu, serta sanggup menetapi perjanjian yang telah ditetapkan oleh Studie Fonds ini.
Pada pidato pembukaan Kongres ke-27 di Malang, tahun 1928, yang bertajuk ‘Pemandangan terhadap Pergerakan Kaum Ibu Umumnya dan ‘Aisyiyah Khususnya’, Siti Badilah Zuber menyampaikan pula perihal Studie Fonds, “Sudah tidak kekhilafan lagi, tentang guna dan faedah studiefonds itu, lebih-lebih di dalam zaman kesukaran mencari rezeki, yang menyebabkan beberapa anak kita tidak dapat meneruskan pelajarannya.”