Oleh: Mustofa W. Hasyim
Waktu anaknya masih satu sampai tiga, Bu Amanah aktif menjadi guru taman kanak-kanak. Apalagi rumahnya ada di dekat gedung taman kanak-kanak itu. Umur tiga anaknya terpaut dua tahun dan di rumah ada ibu mertua yang masih kuat mengasuh anak kecil. Anak nomor satu dan dua diajak sekalian ikut bergembira, aktif di taman kanak-kanak itu. Adik kecil nomor tiga ditinggal di rumah bersama nenek sampai kemudian ketika sudah berumur tiga tahun dia minta sendiri ikut ibunya mengajar.
Sepulang dari mengajar, Bu Amanah menjahit. Ada saja kenalan dan tetangga yang menjahitkan baju anak-anak atau busana untuk remaja dan ibu-ibu. Keterampilan menjahit dia peroleh dari ibunya. Ibunya mewariskan mesin jahit onthel yang diputar dengan tangan. Suaranya khas, mula-mula keras pada awal putaran roda lalu pelan-pelan melemah, kemudian mengeras lagi karena rodanya diputar lagi dengan sekuat tenaga.
Anak-anak berikutnya terus lahir, keempat, kelima, dan keenam yang masing-masing dengan selang waktu dua tahun berturut-turut. Setelah lahir yang keenam itu, Bu Amanah memutuskan untuk berhenti mengajar. Alasannya sederhana. Di rumah sendiri dia sudah repot punya “murid” sebanyak enam orang. Anak-anak yang besar belajar di sekolah dasar. Adik-adik mereka belajar di taman kanakkanak. Mereka semua seolah tak capai-capainya berkatakata, bertingkah ke sana kemari, kadang bertengkar dengan gaduh.
Suami Bu Amanah, Pak Satrio, sebenarnya lulusan perguruan tinggi dan mengantongi gelar sarjana ekonomi dari sebuah kampus ternama. Namun, ia tidak menggunakan ijazahnya untuk mendapatkan kerja kantoran. Ini terjadi karena beberapa waktu sehabis Pak Satrio diwisuda, ayahnya meninggal dunia. Ibu dari Pak Satrio memintanya untuk terjun langsung mempraktikkan ilmu ekonomi bisnisnya dengan mengelola sebuah toko kelontong.
Itu adalah toko kelontong milik keluarga dan satu-satunya di kampung mereka. Letaknya di pinggir jalan kampung yang mulai ramai karena terhubung dengan pusat kota. Keluarga pun bersepakat untuk memberikan toko kelontong itu kepada Pak Satrio sebagai warisan karena semua saudara Pak Satrio tidak ada yang mau mengelola toko itu. Waktu itu Bu Amanah dan Pak Satrio sudah menikah dan punya anak satu.
Pak Satrio adalah pekerja tekun. Dia bekerja mengelola toko kelontong mulai pukul delapan pagi sampai pukul sembilan malam. Siang istirahat, makan siang di rumah kemudian kembali ke toko. Sebenarnya, sudah berkali-kali Pak Satrio minta agar istrinya berhenti menjahit. Cukup bekerja menjadi guru swasta. Bu Amanah memilih meneruskan kerja menjahit di rumah. Toh tidak begitu mengganggu pengasuhan anak-anaknya meskipun anak-anak mereka banyak. Begitu pikirnya.
Memang mereka punya banyak anak. Setelah anak keenam pun kemudian masih bertambah menjadi tujuh, dan baru berhenti setelah angka delapan. Agar anak-anak itu bisa tumbuh wajar dan giat belajar, masing-masing anak dibuatkan kamar yang dibangun secara berderetan dalam bentuk huruf U di halaman belakang.
Baca Juga: Literasi Keuangan Anak: Menyiapkan Generasi Bijak dalam Mengelola Uang
Di tengah bangunan yang mirip asrama ini ada taman dengan kolam ikan yang airnya selalu jernih. Di depan tiap-tiap kamar ada teras tempat kursi dan meja kecil. Tiap anak mendapat giliran untuk membersihkan kamar, teras, kolam, dan taman. Pada hari libur sekolah, semua bekerja bakti membersihkan tempat itu berikut rumah induk yang dihuni oleh orang tua dan nenek mereka.
Pada saat anak keenam lahir, suami Bu Amanah membelikan mesin jahit genjot kaki. Maka dia dapat menggerakkan roda mesin jahit dengan duduk di kursi. Bunyi mesin jahit juga menjadi lebih halus. Para tetangga awalnya heran karena bunyi mesin jahit di rumah itu berbeda dari harihari sebelumnya. Mereka datang melihat dan setelah tahu Bu Amanah mendapat hadiah ulang tahun dari suaminya berupa mesin jahit genjot, mereka memberi selamat. Bu Amanah pun gembira mendapat sambutan dari tetangga dengan tetap menjahitkan baju kepadanya.
Beberapa bulan setelah anak kedelapan lahir, Pak Satrio membelikanmesin jahit listrik untuk istri. Saat itu toko kelontong makin berkembang, dibangun menjadi dua tingkat dan Pak Satrio membeli tanah di sebelah tokonya untuk dibangun sebagai tempat parkir yang cukup luas. Pak Satrio juga menambah karyawan toko yang diambil dari anakanak tetangga yang telah selesai sekolah menengah dan belum mendapat pekerjaan, termasuk tukang parkir yang sering bercerita kepada orang
tuanya bahwa Toko Kelontong Satrio selalu ramai pembeli. “Tempat parkir kendaraan selalu penuh. Lebih-lebih saat menjelang hari libur,” katanya.
Dengan datangnya mesin jahit listrik maka suara yang keluar saat mesin jahit dipergunakan menjadi lebih halus. Hampir-hampir tidak kedengaran dari luar rumah. Lagi-lagi para tetangga berdatangan karena merasa ada suasana aneh dari rumah Bu Amanah. Mengapa sepi? Tidak terdengar suara mesin jahit? Setelah mereka tahu kalau di keluarga ini telah ada mesin jahit listrik yang nyaris tanpa bunyi, mereka pun ikut bergembira. Lalu, ada tetangga yang nyeletuk,
“Lantas untuk apa mesin jahit yang lama, Dik?”
“Tetap kami pergunakan, Mbakyu. Untuk latihan anak-anak menjahit. Semua anak saya harus bisa menjahit walau setelah besar tidak harus menjadi penjahit. Dengan memiliki keterampilan menjahit kan mereka bisa percaya diri jika suatu ketika mereka merantau atau hidup di tempat lain,” jawab Bu Amanah.
Pada hari-hari di bulan Ramadan, terdengar suara ramai sekali. Suara mesin jahit tiga generasi. Mesin jahit onthel berbunyi karena rodanya diputar oleh anak yang besar. Lalu terdengar suara mesin jahit genjot, dilengkapi dengan suara mirip desis dari suara mesin jahit listrik. Para tetangga terkejut dan heran mendengar suara ramai dari rumah Bu Amanah. Mereka berdatangan, bertanya, “Ada apa ini?”
Bu Amanah menjelaskan bahwa sebelum bulan puasa dia sekeluarga dengan naik mobil pergi ke toko kain. Pak Satrio memberi hadiah lebaran berupa kain baju yang jenis dan warnanya boleh dipilih sendiri. Bu Amanah dan suami juga membeli bahan pakaian. Setelah sampai rumah, kain itu dipotong sesuai dengan ukuran dan selera mode anak-anaknya. Nah, waktu bulan puasa mereka bergantian menjahit bajunya sendiri kecuali anak bungsu dan kakaknya. Karena masih terlalu kecil, baju mereka dijahit oleh ibunya sendiri. Para tetangga kagum mendengar penjelasan itu.
Pada kemudian hari, ketika delapan anak itu sudah dewasa, sudah bekerja dan berkeluarga, kamar-kamar mereka disewakan menjadi kamar kos karena mereka sudah punya rumah sendiri dan selalu berkumpul menjelang Idul Fitri. Mereka harus melakukan perjalanan mudik, mereka mengenang pengalaman istimewa dalam keluarga—menjahit baju lebaran sendiri, kurang-kurang rapi sedikit tidak apa.
“Yang paling sulit adalah memasang ritsleting di punggung. Saya hampir gagal memasangnya,” kata anak perempuan nomor tiga disambut suara tawa saudaranya.
Bagi para tetangga, yang istimewa adalah suara mesin jahit tiga generasi yang terus terdengar siang malam, seperti berlomba cepat. Kadang diseling suara ramai komentar anak-anak itu ketika melihat ada saudara mengalami kesulitan dalam menjahit baju sendiri karena modenya meniru busana artis yang canggih dan kainnya harus dipotong rumit. Untung selalu hadir ibu mereka, memberi bantuan.
“Bergaya sekadarnya boleh, tapi harus bertanggung jawab,” kata Bu Amanah.