Tokoh

Sukainah binti Husain, Membela Kehormatan Perempuan dengan Sastra

muslimah

Oleh: Alfandi Ilham Safarsyah*

Namanya jarang terdengar. Padahal, ia merupakan perempuan terhormat dan terkemuka pada masanya. Kefasihannya dalam mengolah kata tidak perlu diragukan. Lebih istimewa lagi karena kemampuannya itu ia gunakan untuk memperjuangkan harkat martabat dan kemuliaan perempuan. Nama perempuan itu adalah Sukainah binti Husain.

***

Sayyidah Sukainah merupakan sosok perempuan yang memiliki banyak keistimewaan. Ia merupakan putri dari Husein bin Ali, cucu dari Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah, serta cicit dari Rasulullah Muhammad saw. Nama aslinya adalah Aminah. Ia lahir pada tahun 47/48 Hijriah. Ibunya bernama Rabab, anak dari Raja Bani Kalb Umru’ al-Qais al-Kindi. Ia diberi laqab (julukan) Sukainah, yang merupakan bentuk isim tashghir dari سكن yang bermakna tenang, aman, tenteram, dan ridha.

Sukainah merupakan putri kesayangan Sayyidina Husain bin Ali. Hal ini sebagaimana diungkapkan dalam sebuah syair yang terdapat dalam kitab al-Aghani karya Abu al-Faraj al-Ishfahani:

لعمرك إنني لأحب دارا تكون بها سكينة و الرباب

أحبهما وأبذل جل مالي وليس لعاتب عندي عتاب

Artinya, “Demi hidupmu, sungguh aku sangat mencintai rumah, yang di dalamnya terdapat Sukainah dan Rabab. Aku mencintai keduanya, dan kukorbankan sebagaian besar hartaku, dan tidak ada celaan dariku bagi orang yang mencelaku”.

Sukainah banyak menarik perhatian para ulama karena merupakan perempuan terhormat, berkepribadian bersih, dan yang paling terkemuka pada zamannya. Ia merupakan pribadi yang berakhlak mulia, bersahaja, pandai bersastra, dan tinggi ilmu.

Dalam buku Perempuan Ulama di Atas Panggung Sejarah, Husain Muhammad mengutip sebuah riwayat dari Sufyan ats-Tsauri yang menceritakan kemuliaan Sukainah: “Ia (Sukainah) rajin bangun malam untuk beribadah salat tahajud. Ia juga merupakan sosok yang dermawan. Ketika berangkat haji, ia sering memberikan sedekah kepada jamaah haji lain yang berangkat bersama dengannya”.

Banyak hal menarik yang dapat diambil dari kisah perjalanan hidup Sayyidah Sukainah. Salah satu yang paling menyita perhatian adalah tatkala ia meminta adanya perjanjian pra-nikah yang harus disetujui oleh calon suaminya. Apabila suaminya kelak melanggar perjanjian tersebut, maka Sukainah berhak untuk menentukan pilihan; apakah meminta gugatan cerai atau melanjutkan pernikahannya.

Di antara isi perjanjian pra-nikah yang diajukan Sukainah adalah sebagai berikut: pertama, tidak boleh mengambil perempuan lain, yaitu tidak boleh melakukan poligami; kedua, tidak boleh ada rahasia dalam hal keuangan antara suami dan istri; ketiga, tidak boleh melarang keluar untuk beraktivitas di luar rumah jika dirinya menghendaki.

Sastra dan Kehormatan

Sejak kecil sudah terlihat kecerdasan dan kefasihan Sukainah dalam mengolah kata. Karena itulah di masa dewasanya, ia juga terkenal sebagai seorang ahli sastra, orang yang paling fasih bersyair. Bahkan di kediamannya, terdapat ruang khusus yang ia gunakan untuk berdiskusi sastra, baik dengan ahli sastra di masanya maupun dengan masyarakat umum.

Sayyidah Sukainah tidak hanya menikmati puisi semata sebagai sebuah karya sastra, tetapi ia menggunakannya untuk memperjuangkan dan membela harkat martabat serta kemuliaan perempuan. Pada masa itu, banyak para penyair yang menggambarkan perempuan lewat karya sastra dengan pandangan stereotip negatif.

Hal inilah yang membuat Sukainah resah dan angkat bicara untuk membela kehormatan perempuan. Ia mengkritik karya sastra yang tidak menggambarkan citra perempuan seperti sebagaimana mestinya, yakni sebagai makhluk yang beradab dan berperasaan lembut. Ia mengembalikan citra perempuan dengan berlandaskan pada sabda Rasulullah saw:

ما هان النساء إلا لئيم وما أكرمهن إلا كرام

Artinya, “Hanya orang tercela yang merendahkan perempuan, dan hanya orang mulai yang memuliakan perempuan”.

Baca Juga: Qasim Amin, Pembebas Perempuan untuk Kemajuan

Tidak hanya terkenal dengan keahliannya dalam bersastra, Sayyidah Sukainah juga memiliki akhlak yang mulia. Sukainah merupakan pribadi yang sangat menjaga kehormatan diri dan sederhana dalam hidupnya. Diriwayatkan dari Husain bin Ali, bahwa suatu ketika ada seorang pelayan laki-laki yang masuk ke ruangan Sukainah, ia lantas menundukkan kepalanya untuk menjaga si pelayan agar tetap dapat mengendalikan hawa nafsunya.

Beliau juga orang yang sabar dan tegar dalam menjalani cobaan berat semasa hidupnya. Ujian terberat dalam hidupnya adalah tatkala harus menyaksikan kematian sang ayah pada saat peristiwa karbala. Walau penuh dengan air mata, namun ia tetap tabah dan menyerahkan semua kepada Allah atas dasar iman yang kuat.

Sukainah juga dikenal sebagai pribadi yang memiliki tingkat kesalehan spiritual yang tinggi. Ia merupakan seorang yang zuhud kepada Allah, senantiasa mengingat Allah dalam setiap waktu, serta taat dalam menjalankan perintah-perintah syariat. Bahkan, salah satu alasan mengapa ia diberi julukan “sukainah” adalah karena ia selalu menggerakkan anggota badannya untuk membersamai hatinya mengingat Allah dengan penuh kekhusyukan.

Sayyidina Husain juga memuji kesalehan putrinya dengan mengatakan:

وأما سكينة فغالب عليها الإستغراق مع الله تعالى فلا تصلح لرجل

Artinya, “Sukainah selama hidupnya telah disibukkan dengan Allah, sehingga tidak lagi pantas seorang pendamping hidup baginya”.

Ungkapan Husain ini menunjukkan betapa Sukainah dalam hidupnya senantiasa memikirkan urusan akhirat dan menjauhi hal-hal dunia yang bersifat fana. Walaupun demikian Sukainah, tetap menikah dengan niatan menegakkan sunnah Rasulullah Muhammad saw.

Banyak kisah yang dituliskan oleh para ulama mengenai kemuliaan Sayyidah Sukainah. Di antaranya adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh Umar Rida Kahhala dalam kitab A’lamu an-Nisa’ fi ‘Alami al-‘Arab wa al-Islam. Sukainah punya keutamaan dari segi nasab, keahlian dalam bersyair, kedermawanan, kecantikan, dan keluhuran akhlak.

Tidak berlebihan jika ia dikatakan sebagai perempuan paling masyhur di zamannya. Mengenai wafatnya Sukainah, ada dua riwayat yang muncul. Pertama, ia wafat di Madinah pada tanggal 5 Rabiul Awal 117 Hijriah. Kedua, ia wafat di Makkah pada tanggal 5 Rabiul Awal 126 Hijriah. [6/23]

*Mahasiswa Magister Ilmu Al-Quran dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Pengajar di Panti Asuhan Muhammadiyah Ashabul Kahfi Moyudan Sleman

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *