Kepedulian ‘Aisyiyah terhadap pendidikan anak usia dini memang bukan main-main. Buktinya, ‘Aisyiyah kini mengelola lebih dari 22.000 Taman Kanak-Kanak di seantero negeri. Dari sekian banyak jumlah itu, beberapa di antaranya berdiri di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal).
***
Suku Loinang merupakan suku terasing yang mendiami Dusun Tombiobong, Desa Maleo Jaya, Kecamatan Batui Selatan, Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah. Mereka menempati rumah-rumah yang dibangun Dinas Sosial pada 2013 silam.
Dari 35 unit rumah yang tersedia, hanya 30 rumah yang dihuni. Ketua Pimpinan Daerah ‘Aisyiyah (PDA) Banggai Sri Moxsa Djalamang menuturkan, beberapa keluarga memilih kembali ke hutan untuk hidup secara nomaden karena merasa tidak betah.
Kepada mereka yang memilih tinggal itulah Sri Moxsa dan ibu-ibu ‘Aisyiyah berusaha memberikan pendampingan dan pelayanan maksimal, mulai dari aspek sosial, keagamaan, ekonomi, kesehatan, sampai pendidikan.
Dari aspek pendidikan, Sri Moxsa menjelaskan bahwa animo anak-anak Dusun Tombiobong untuk menempuh pendidikan formal masih terbilang rendah. Apalagi akses untuk ke sekolah –yang jaraknya sekitar 3 kilometer– terbilang berat. Setidaknya ada empat sungai yang harus mereka lewati, dan satu di antaranya adalah sungai induk yang lebarnya mencapai enam puluh meter.
Sebelum dibuatkan jembatan gantung, pada musim hujan, untuk pergi ke sekolah anak-anak itu harus menghanyut mengikuti arus sungai untuk menyeberang. “Biasanya anak laki-laki menyeberang dulu sambil membawa barang anak perempuan,” terang Sri Moxsa.
Kondisi alam yang ekstrem itulah yang menimbulkan kekhawatiran orang tua terhadap anak-anaknya. Kondisi itu jugalah yang membuat anak-anak Dusun Tombiobong baru menempuh pendidikan dasar (SD) di usia 10 tahun.
Mendirikan PAUD dan SD
Per-Agustus 2019, anak-anak Dusun Tombiobong baru mendapatkan akses atas pendidikan di kampung sendiri. Ada satu gedung Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang didirikan ‘Aisyiyah. Satu tahun berikutnya, tepatnya pada Juni 2020, lembaga pendidikan di sana bertambah dengan berdirinya Sekolah Dasar (SD) Muhammadiyah Tombiobong.
Berdirinya gedung PAUD dan SD itu tak dapat dilepaskan dari bantuan beberapa pihak. Di atas tanah hibah pemerintah desa, pembangunan gedung sekolah dibantu oleh lembaga zakat dan perusahaan minyak.
Menurut Sri Moxsa, sebab utama yang mendasari pihak-pihak itu memberikan bantuan melalui tangan ‘Aisyiyah adalah karena peran dan kontribusi ‘Aisyiyah untuk mencerdaskan, mensejahterakan, dan memajukan masyarakat Dusun Tombiobong telah terbukti hasilnya.
“…In tanshuru Allaha yanshurkum…” Janji Allah yang termaktub dalam Q.S. Muhammad [47]: 7 itulah yang dipegang betul oleh Sri Moxsa. “Mereka melihat kita istikamah. Jadi benar itu, kalau kita menolong agama Allah, akan ada banyak kemudahan,” ujarnya.
Baca Juga: Mengenal Siti Umniyah: Sosok Pendiri TK ABA
Saat ini, PAUD ‘Aisyiyah mempunyai 9 orang murid yang dididik oleh 2 orang guru. Kedua guru ini kini tengah “dikuliahkan” di Program Studi Pendidikan Islam Anak Usia Dini (PIAUD) Universitas Muhammadiyah Luwuk.
Adapun SD Muhammadiyah saat ini mempunyai 13 murid yang terdiri dari tiga murid kelas satu, tujuh murid kelas dua, dan tiga murid kelas tiga. Murid kelas satu dan dua, kata Sri Moxsa, adalah murid lulusan PAUD ‘Aisyiyah Tombiobong. Sementara murid kelas tiga adalah murid pindahan.
Murid-murid SD ini dididik oleh dua orang guru. Satu guru merupakan penduduk desa transmigrasi, sedangkan satu lainnya adalah penduduk yang awalnya datang untuk berkebun. Keduanya adalah para sukarelawan yang menyisihkan sebagian waktunya untuk mencerdaskan kehidupan anak bangsa. Dalam beberapa kali kesempatan, para pimpinan ‘Aisyiyah dan pimpinan Organisasi Otonom juga terlibat di dalam proses pendampingan dan pengajaran itu.
Sri Moxsa memaparkan, oleh karena hanya ada satu ruang kelas, alih-alih menggunakan metode klasikal, metode pengajaran yang diterapkan guru lebih bersifat perorangan. “Jadi lebih privat, intens, dan mendalam,” katanya ketika dihubungi Suara ‘Aisyiyah.
Keberadaan lembaga pendidikan di Dusun Tombiobong –beserta metode ajar yang diterapkan—itu sudah terbukti memberi nilai kemanfaatan bagi masyarakat sekitar. Jika sebelumnya sebagian anak baru bisa membaca ketika di kelas empat SD, ujar Sri Moxsa, kini anak kelas satu dan dua sudah dapat membaca.
Ruang lingkup pendampingan ‘Aisyiyah juga tidak hanya sebatas pendidikan saja, tetapi juga mencakup pelayanan kesehatan, ekonomi, sosial, dan keagamaan. Setidaknya ada empat majelis di PD ‘Aisyiyah Kabupaten Banggai yang secara intens terlibat dalam pendampingan dan pelayanan masyarakat Dusun Tombiobong, yakni Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah, Majelis Ekonomi dan Ketenagakerjaan, Majelis Tabligh, dan Majelis Kesehatan.
“Di Tombiobong ada pula TPQ (Taman Pendidikan Al-Quran) ‘Aisyiyah yang dikelola oleh 1 orang ustadz pengasuh. Ustadz ini juga kita berdayakan sebagai guru agama di SD Muhammadiyah dan PAUD ‘Aisyiyah Tombiobong,” papar Sri Moxsa.
Kepedulian Berbuah Kepercayaan
Kontribusi nyata inilah yang membuat ‘Aisyiyah kian dipercaya oleh berbagai pihak untuk mendirikan PAUD dan mengelola lembaga sosial-keagamaan di tempat-tempat lain. Ketua Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) PD ‘Aisyiyah Banggai, Hayati Monoarfa menyebut, saat ini PD ‘Aisyiyah Banggai mengelola 27 TK dan 14 PAUD. Dalam beberapa waktu ke depan, jumlah PAUD itu akan bertambah tiga seiring adanya permintaan dari pemerintah desa.
Tiga PAUD itu ada di: (a) Pulau Poat, tepatnya di Desa Balai Gondi, Kecamatan Pagimana; (b) Desa Obo Balingara, Kecamatan Nuhon, dan; (c) Desa Sampaka, Kecamatan Bualemo. Menurut Sri Moxsa, beberapa desa tersebut dulunya sudah mempunyai PAUD, hanya saja sering mengalami kendala tidak adanya Sumber Daya Manusia (SDM) yang menjadi guru.
“Untuk daerah-daerah terpencil,” kata Sri Moxsa, “SDM guru harusnya memang diambil dari orang-orang sana (penduduk sekitar, -red), bukan mengirim utusan, karena tidak akan betah”.
Baca Juga: Wajah Dakwah Islam di Pedalaman
Selain soal jumlah, menurut Hayati, kendala lain yang dialami oleh PAUD ‘Aisyiyah di Kabupaten Banggai adalah soal honorarium guru. Hayati menceriterakan, ada beberapa Kepala Desa yang tidak mau memberikan honor kepada guru PAUD yang dikelola ‘Aisyiyah karena menilai PAUD tersebut bukan milik Pemerintah Desa, tetapi milik yayasan. Padahal, lanjutnya, PAUD itu didirikan atas permintaan Desa. “Tapi begitu ganti Kepala Desa, alasannya yayasan bukan milik Desa,” ujar Hayati.
Bantuan-bantuan yang diberikan, seperti mobil dari Pemerintah Kabupaten Banggai, dana dari Asia Muslim Charity Foundation (AMCF) untuk pembangunan masjid, dan santunan dari Baznas memang sudah cukup membantu keberlangsungan proses dakwah ‘Aisyiyah. Bantuan dan pendampingan dari Pimpinan Pusat dan Wilayah ‘Aisyiyah Sulawesi Tengah juga sudah banyak.
Akan tetapi, yang tidak kalah penting kata Hayati adalah pemberian honorarium untuk guru. Ia berharap PP ‘Aisyiyah lebih memperhatikan nasib guru di daerah-daerah 3T. “Yang paling dibutuhkan guru adalah tunjangan,” pungkas Hayati. (Sirajuddin)