KesehatanPerempuan

Sunat Perempuan dan Dampaknya pada Kesehatan

Ilustrasi: ADIRA FInance
  • Tulisan ini dalam rangka memperingati Hari Tanpa Toleransi terhadap Pelukaan dan Pemotongan Genital Perempuan (P2GP) Internasional
Ilustrasi: ADIRA FInance

Ilustrasi: ADIRA Finance

Sunat perempuan, atau yang dikenal secara global sebagai Female Genital Mutilation (FGM), adalah praktik yang telah berlangsung selama berabad-abad di berbagai budaya dan komunitas di belahan dunia. Meskipun sering kali dilakukan dengan dalih menjaga kesucian, tradisi, atau bahkan alasan agama, praktik ini sesungguhnya membawa dampak yang mendalam bagi kesehatan fisik dan mental perempuan yang mengalaminya.

WHO mengklasifikasikan FGM ke dalam empat kategori utama:

  1. Tipe I (Clitoridectomy): Pengangkatan sebagian atau seluruh klitoris.
  2. Tipe II (Excision): Pengangkatan klitoris dan sebagian atau seluruh labia minora.
  3. Tipe III (Infibulation): Penyempitan lubang vagina dengan menjahit atau menyatukan labia, sering kali dengan hanya menyisakan lubang kecil untuk keluarnya urine dan darah menstruasi.
  4. Tipe IV: Prosedur lain yang merusak genitalia perempuan, seperti menusuk, menggores, atau membakar.

Sunat perempuan membawa dampak yang serius terhadap kesehatan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Prosedur yang melibatkan pemotongan sebagian atau seluruh organ genital eksternal perempuan ini, sering kali dilakukan tanpa anestesi dan dalam kondisi yang tidak steril. Akibatnya, risiko komplikasi kesehatan sangat tinggi dan bisa membahayakan nyawa.

Dalam jangka pendek, salah satu dampak yang paling sering terjadi adalah rasa sakit yang luar biasa. Karena prosedur ini dilakukan dengan alat sederhana seperti pisau, silet, atau kaca tanpa anestesi, rasa sakit yang dirasakan sangat intens dan bisa menyebabkan syok.

Selain itu, pendarahan hebat sering kali menjadi ancaman serius, terutama jika pemotongan dilakukan secara tidak hati-hati dan mengenai pembuluh darah besar. Banyak kasus di mana anak perempuan mengalami kehilangan darah dalam jumlah besar, yang bisa berujung pada kematian.

Infeksi juga menjadi risiko utama. Karena alat yang digunakan tidak steril, luka yang terbuka bisa menjadi pintu masuk bagi berbagai bakteri, menyebabkan infeksi luka, tetanus, atau bahkan sepsis—infeksi sistemik yang bisa berakibat fatal. Selain itu, retensi urine atau kesulitan buang air kecil juga sering terjadi akibat pembengkakan di area genital yang menyebabkan nyeri luar biasa saat buang air.

Baca Juga: Khitan Perempuan, Tradisi atau Syar’i?

Namun, dampak yang lebih besar muncul dalam jangka panjang. Salah satunya adalah gangguan fungsi seksual. Karena sunat perempuan sering kali melibatkan pengangkatan klitoris, yang merupakan pusat sensasi seksual pada perempuan, banyak korban yang mengalami penurunan atau bahkan hilangnya kenikmatan seksual. Hal ini bisa berdampak pada hubungan pernikahan dan kesehatan mental perempuan yang mengalaminya.

Selain itu, luka akibat sunat perempuan sering kali meninggalkan jaringan parut dan perlengketan yang menyebabkan rasa sakit kronis, terutama saat menstruasi dan berhubungan seksual. Pada kasus yang lebih ekstrem, perempuan yang mengalami infibulasi—di mana lubang vagina disempitkan dengan menjahit labia—akan menghadapi kesulitan besar saat melahirkan. Risiko komplikasi persalinan meningkat drastis, termasuk kemungkinan robekan yang luas saat bayi keluar, pendarahan hebat, dan meningkatnya angka kematian ibu dan bayi.

Dampak psikologis juga tidak bisa diabaikan. Banyak perempuan yang mengalami trauma mendalam akibat pengalaman ini, yang bisa berkembang menjadi gangguan kecemasan, depresi, atau bahkan Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) Mereka sering kali mengalami ketakutan terhadap proses medis, hubungan intim, atau bahkan kehidupan pernikahan secara keseluruhan.

Di berbagai belahan dunia, terutama di Afrika, Timur Tengah, dan beberapa bagian Asia, sunat perempuan masih dilakukan karena dianggap sebagai simbol kehormatan atau syarat menuju kedewasaan. Namun, semakin banyak negara dan organisasi internasional yang menentang praktik ini. WHO, UNICEF, dan UNFPA, misalnya, telah mengkampanyekan penghapusan FGM. Karena dengan berbagai dampak negatif yang ditimbulkannya, sunat perempuan tidak hanya menjadi persoalan kesehatan, tetapi juga masalah hak asasi manusia.

Dalam konteks agama, tidak ada dalil yang benar-benar mewajibkan sunat perempuan, terutama dalam Islam. Sebaliknya, banyak ulama dan organisasi keislaman, termasuk Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah yang menegaskan bahwa praktik ini tidak memiliki dasar yang kuat dalam ajaran agama dan lebih banyak mendatangkan mudarat daripada manfaat. Oleh karena itu, Indonesia telah mengambil langkah untuk membatasi atau bahkan melarang praktik ini demi melindungi hak-hak perempuan. (salma)

Related posts
Berita

MPKU PP Muhammadiyah dan UNFPA Helat Rapid Assessment Keputusan Khitan Perempuan

Depok, Suara ‘Aisyiyah — Majelis Pembinaan Kesehatan Umum (MPKU) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah bersama United Nations Population Fund (UNFPA) menggelar Rapid Assessment…
Fikih PerempuanHikmah

Khitan Perempuan: Tradisi atau Syar’i?

Oleh: Siti ‘Aisyah* Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) RI Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun…
Berita

Hilangkan Praktik Sunat Perempuan, MKes PWA Sumbar Gelar Komitmen dengan Kader Aisyiyah

Padang, Suara ‘Aisyiyah – Tindak lanjuti Memorandum of Understanding (MoU) Pimpinan Pusat (PP) ‘Aisyiyah bersama Kementrian Kesehatan (Kemenkes) tentang penghapusan praktik sunat…

2 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *